Istilah "akuntansi" berasal dari kata Perancis: "compter", yang mengambil kata Latin: "computare" yang berarti 'cara berhitung'. Dalam bahasa Inggris: "accomptant", dengan 'p' tak terdengar saat diucapkan, dan secara bertahap berubah baik pengucapan maupun ortografinya hingga saat ini (Peter Baofu,2014:4).
Secara historis, akuntansi dapat ditemukan di zaman kuno. Misalnya, catatan akuntansi awal ditemukan di antara reruntuhan Babel, Asyur dan Sumeria sejak 7.000 tahun yang lalu.Â
Akuntansi digunakan untuk mencatat pertumbuhan tanaman dan ternak, sehingga bisa mengetahui hasil panen dan ternak muda yang disapih.
Pada milenium ke-4 hingga ke-3 SM, di Iran kuno, perubahan sosial ekonomi menghasilkan distribusi kekayaan yang tidak merata, sehingga para pemimpin dan imam berkuasa. Mereka memiliki orang untuk mengurus keuangan. Jejak pembukuan ditemukan pada skrip tanah liat, yang berisi tabel dengan angka dan grafis.
Di zaman Kekaisaran Romawi, "Res Gestae Divi Augusti" (bahasa Latin: perbuatan Ilahi Augustus) adalah kisah penata layan kaisar Augutus yang hebat.Â
Ia berisikan daftar dan biaya pengeluaran yang terdiri dari distribusi kepada orang-orang, hibah tanah, subsidi untuk aerarius (bendahara), pembangunan kuil, persembahan keagamaan, dan pengeluaran untuk pertunjukan teater dan gladiator.
Abad ke-13, terobosan penting terjadi, sudah mengenal pembukuan entri ganda: debet dan kredit. Debet untuk jumlah yang terutang oleh pelanggan (debitur), sedangkan kredit untuk jumlah yang terutang kepada pelanggan (kreditur).
Pada 1494 diterbitkan dan dipublikasikan 'Particularis de Computis et Scripturis' (bahasa Latin: rincian perhitungan dan pencatatan), sebagai cikal bakal praktek pembukuan modern. Simbol plus (+) dan minus (-) pertama kali diperkenalkan.
Kemudian, abad ke-19, profesi akuntan pertama muncul di Skotlandia. Akuntan awalnya cenderung menganggap diri sebagai pengacara.Â
Untuk meningkatkan status dan memerangi kritik, badan profesional lokal di Inggris bergabung, membentuk Institute of Chartered Accountants di Inggris dan Wales pada 1880. Di Amerika, Institut Akuntan Publik didirikan pada 1887.
Pada zaman kita, defenisi akuntansi dipengaruhi oleh perdagangan nasional dan perjanjian internasional. Sebagian besar negara memiliki kosakata "administrasi bisnis", yang prakteknya tidak diatur jelas. Sementara di negara yang lain, "cara berhitung" (akuntansi) direduksi dalam kebijakan pajak dan apa tujuan sebuah laporan keuangan.
Era digital 4.0 ini, kita mengenal akuntansi elektronik. Lembaga keuangan seperti bank dan Kopdit (CU) di Eropa dan Amerika, misalnya, mulai menolak uang tunai. Aplikasi internet banking memungkinkan perubahan akuntansi sebagai cara menghitung secara virtual.
Perubahan praktek akuntansi, dari manual ke komputerisasi hingga digitalisasi, tidak serta merta membawa kita keluar dari mental accounting, yakni: fenomena membagi uang dalam beberapa akun/rekening terpisah berdasarkan tujuan dan sumber uang.
Ini memang terkesan disiplin dalam manajemen keuangan kita, namun cenderung tidak rasional dalam penggunaannya.
Misalnya, kalau kita mendapat uang dari hadiah/bonus, kita didorong keinginan kuat untuk segera menghabiskan, dengan mengajak teman-teman makan malam bersama.Â
Berbeda ketika mendapat gaji bulanan/hasil keringat kita sendiri: mengatakan bahwa kita sedang punya uang pun terasa risih. Mental accounting memperlakukan uang yang sama sesuai sumbernya.
Dalam gerakan Kopdit (CU) sedang 'ngtren' fenomena ini. Bertahun-tahun menyisihkan pendapatan untuk membeli mobil, misalnya. Dana tersedia sudah Rp 100 juta, hanya butuh lagi Rp 20 juta untuk membeli mobil pelayanan.Â
Namun datang tawaran dari lembaga keuangan lain untuk deposito Rp 1 milyar, selama 2 tahun, dengan bunga diberikan di muka berupa mobil Avanza yang harganya mungkin Rp 100 juta lebih.
Bagaimana kalau tambahkan Rp 20 juta untuk beli mobil? Bagaimana kalau Rp 1 milyar itu diedarkan kepada anggota, sehingga Kopdit (CU) mendapat bunga, yang mungkin jauh lebih untung dari harga sebuah Avanza? Ah, cape deh!
Kita merayakan dengan sukacita dan sorak-sorai jika mendapat 'cashback' mobil dan laptop, tapi kemudian akhir tahun mengeluh pendapatan menurun, sebab harga mobil/laptop jauh lebih kecil dari proyeksi pendapatan bila uang diedarkan.
Pesannya jelas, insan Kopdit (CU) mesti tahu cara berhitung yang logis, sebagai cara kita berakuntansi. Baik juga kita menghindari bias negatif mental accounting (sebab mental accounting punya bias positif) dalam setiap kebijakan keuangan kita. Biar ke depan, semaju apapun sistem keuangan, kita tetap cerdas dan bijak memberi peran pada keuangan kita.
Dirgahayu Koperasi Indonesia ke-73.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H