Bersamaan dengan HUT Nusa Tenggara Timur (NTT) yang ke-59 kemarin, Rabu (20/12), salah satu paket bakal calon (balon) Gubernur dan Wakil Gubernur NTT periode 2018 - 2023 dalam pemilihan kepala daerah 2018 mendeklarasikan diri di hadapan ribuan pendukung dan simpatisan. Pasangan ini didukung oleh Partai Nasional Demokrat (Nasdem), Golongan Karya (Golkar) dan Hati Nurani Rakyat (Hanura). Mereka adalah Viktor Bungtilu Laiskodat (VBL) sebagai calon gubernur dan Josef Nae Soi calon wakil gubernur.
Hemat saya pasangan ini merupakan paket "pulang kampung". VBL adalah politisi Partai Nasdem. Ia saat ini aktif sebagai anggota DPR RI, berasal dari daerah pemilihan (dapil) 2 NTT. Sedangkan JNS merupakan politisi senior Partai Golkar. Ia pernah menjabat anggota DPR RI selama dua periode sejak 2004 hingga 2014, berasal dari dapil 1 NTT.
Acara deklarasi dimeriahkan oleh penampilan Dewi Persik, penyanyi dangdut yang terkenal dengan "goyang gergaji"-nya dan pelantun lagu "Terima Kasih", lagu kemenangan The Voice Indonesia 2016, Mario G. Klau.
Sebelum cagub VBL menyampaikan pidato politik yang membakar semangat massa pendukung, adik kandung mantan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama, Leti Inda Purnama, didaulat membacakan surat yang ditulis dengan tinta emas oleh Ahok dari balik bilik penjara Mako Brimob Kelapa Dua, Depok, Jakarta.
Massa dihipnotis menjadi hening saat mendengar cerita Leti. "Sejak Pak Ahok divonis oleh majelis hakim 2 tahun penjara, Pak Josef dan keluarga selalu bersama kami. Mereka sudah kami anggap keluarga sendiri. Karena itu, saya ada di panggung deklarasi ini untuk membacakan surat dari Pak Ahok untuk Pak Josef juga Pak Viktor, yang akan menjadi pemimpin di NTT."
Begini isi surat Ahok, kata Leti, "Terima kasih atas dukunganya selama ini kepada saya dan keluarga saya. Semoga selalu sehat dan berada dalam sukacita dan damai sejahtera, yang melampaui segala akhlak. Dan, Tuhan Yesus senantiasa menyertai seluruh aspek dalam hidup kita semua. Semoga sukses dipakai Tuhan untuk menjadi berkah bagi Provinsi NTT. Wujudkalah keadilan sosial untuk NTT. Bantulah yang miskin dan yang membutuhkan agar mereka melihat kasih Tuhan dalam diri bapak sebagai pribadi maupun pejabat. Tuhan memberkati rencana bapak untuk memimpin NTT. Salam. Ahok." Surat itu ditulis di Mako Brimob, tertanggal Senin 18 Desember 2017.
Suasana nampak haru, beberapa meneriakan dukungan kepada Pak Ahok dan meminta untuk datang ke Kupang NTT. Emosi massa pendukung ini menyentil saya untuk bertanya lebih menukik, mengapa mesti ada surat Ahok? Ditulis dengan tinta emas pula, hanya demi sekadar meraup suara dan merebut kursi NTT 1.
Mengapa paket VBL - JNS tidak membaca saja salah satu pasal, atau ayat, dan atau perikop tertentu dari Kitab Suci (Alkitab) yang menjadi keyakinan mereka. Apakah surat dari Ahok lebih "mujarab" dari ayat-ayat (pesan-pesan) suci Alkitab. Sedemikian hebatkah Ahok, sampai-sampai surat tulisan tangannya dari bilik penjara yang pengap lebih dimaknai ketimbang sabda Tuhan dalam Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru. Toh, isinya sama, substansinya tidak beda dengan pesan Yesus, tentang cinta kasih, dan tentang membantu yang miskin.
Sampai di sini, hemat saya, kita sedang mendidik masyarakat tentang politik kepura-puraan. Saya memang mengagumi karya-karya Pak Ahok ketika memimpin DKI Jakarta, sebagaimana saya juga mendukung program-program Pak Jokowi yang pro rakyat. Namun, ketika sosok dan sepak terjang Pak Ahok "dibawa-bawa" ke dalam pilkada NTT, bukankah kita sedang membangun kemunafikan dibalik topeng sosok orang lain bernama Pak Ahok, biar masyarakat berilusi ria bahwa JNS sama dengan Ahok, dan NTT kemudian disulap seperti DKI Jakarta ketika dipimpin Pak Ahok.
Kita cenderung membangun citra diri dengan sosok orang lain, dengan karya tokoh lain, dengan sejumlah prestasi orang lain yang terkenal di masyarakat. Saat bersamaan, kita lupa, kita sedang mempertontonkan citra diri kita yang lemah, rapuh, dan tak berprestasi. Kita sedang menampilkan politik kepura-puraan, kemunafikan yang bodoh.
Saya tidak mencurigai, bahwa tiga paket lainnya akan berpolitik dengan cara yang sama; dengan "mengojek" sosok/pribadi terhebat/tertentu. Misalnya; pasangan Benny K Harman (BKH) dan Benny Litelnoni yang didukung Partai Demokrat menggandeng SBY, ketua umum Demokrat dan mantan presiden 2 periode. Pasangan Marianus Sae dan Emi Nomleni yang didukung PDIP dan PKB mungkin akan mengajak Presiden Jokowi ikut berkampanye di NTT, sambil melihat infastruktur, lalu berswa-foto di Bukit Cinta (Km 17 arah Barat Ende) untuk masuk vlog, lumayan 'kan turut mempromosikan keindahan Flores.
Kemudian pasangan Cagub dan Cawagub Eston Foenay dan Chris Rotok yang telah mendapat dukungan Partai Gerindra dan PAN bisa saja mengajak Pak Prabowo Subianto ke NTT, dengan menunggang kuda Sumba menyelusuri setiap lekukan tanah Flobamora, dari tanah Timor ke Pulau Sumba, masuk Labuan Bajo hingga Larantuka, dan berakhir di Lembata dengan makan jagung titi.
Inilah fakta, politik kita sedang jauh dari mempromosikan kualitas diri. Politik telah hengkang dari mempresentasikan seluruh prestasi yang sudah kita berikan kepada masyarakat. Politik yang dibangun, tidak lagi mengandalkan kerja nyata. Tidak didominasi dengan keberhasilan dan kerja keras. Politik kita lebih mengutamakan kekuatan citra, ketimbang kekuatan (potensi) riil diri.
Dunia politik yang didominasi kekuatan citra seperti ini disebut Jean Baudrillard dalam In the Shadow of the Silent Majorities (1981) sebagai dunia politik patafisika (pataphysics), di mana menampilkan kelemahan diri di balik topeng sosok lain sebagai "mesin pencitraan", bukan potensi diri dan kekuatan kerja nyata yang telah dirasakan masyarakat. Politik seperti ini adalah sandiwara, manipulatif, seduksi dan ilusi.
Nah, mari kita berpolitik yang jujur, apa adanya dengan kerja nyata kita, bukan kerja nyata orang lain.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H