“Yesterday was a history. Today is a story, and tomorrow will be a mystery”. Seperti inilah kata peribahasa asing. “Kemarin adalah sejarah. Hari ini adalah cerita dan besok akan menjadi sebuah misteri”. Ketiga bentuk waktu di atas adalah alur pengalaman kita manusia, yang saling berkaitan. Sejarah masa lalu menjadi dan berakibat cerita hari ini, dan esok akan menjadi misteri. Tak ada yang tahu, bagaimana setting dan alur cerita seorang manusia di hari esok. Hanya, yang pasti, sesuatu yang terjadi nanti tergantung bagaimana kita memaknai sejarah masa lalu, menentukan langkah sejak saat ini, lalu dengan tekad kuat ‘tuk menggapai asa di hari nanti.
Seperti tadi malam, di Taman Ria Ende, saya bertemu lagi dengan teman sekolah semasa SMP dulu. Delapan belas tahun kami tak pernah bertemu. Hanya bertegur sapa lewat dunia maya. Dulu, kami sekelas. Juga semeja belajar di asrama Lembah Sasa (Seminari Mataloko, Ngada, Flores) penuh asa itu. Dia orang Ende dan saya juga. Kalau bicara, logat Ende-nya ‘dapat banget’. Dia pendiam dan cool abis, tanpa melupakan ke-Ende-annya yang otentik, yakni ‘tukang jodho’ (memuji-muji sangat berlebihan) yang jago.
Sama seperti saya, nilai rapornya ‘rata net’ (standar) saja, bukan golongan yang biasa juara kelas, dan juara umum. Dalam seminar bulanan OSIS kami, ia tak acap bicara dan berdiskusi. Ia lebih memilih diam. Ia tak hebat menulis. Juga seperti saya, setiap tulisan untuk mading sekolah selalu dikusak di tong sampah ruang redaksi.
Sepak bola memang bukan hobinya. Menendang bola cenderung pakai lutut. Namun sudah ada tanda-tanda menjadi pemain voli yang hebat. Tosser yang lihai dan lincah. Setamat SMP, ia hijrah ke non calon pastor. Saya tidak heran, kemudian mendengar cerita, anak Paroki Wolonio ini, jadi dedengkot keenaman voli SMAK Ndao di masanya. Spike-nya selalu tajam dan menukik di garis serang.
Tapi, teman Yohanes Japa Ole, demikian nama lengkapnya, tetap memilih sabar. Tekun belajar. Giat bekerja. Rajin sapu dan slaber (mengepel) kamar makan setiap jadwal kerja. Tak jijik spulen (bersihkan) tempat cuci piring dan toilet. Ia tak perlu menunggu titah pembina asrama tuk menyiram taman depan kelas setiap pagi. Dan yang pasti, dia calon pastor (seminaris) yang setia dalam doa kala itu.
Ia biasa disapa Anis. Sebuah nama yang berkhasiat ketika menulis surat kores (cinta) ke anak-anak Khar-Math (penghuni asrama putri) di Mataloko. Sebagaimana bagian NB lebih panjang dan penting daripada isi suratnya. Terdapat ‘Salam ANIS’ – Andai Ngantuk Ingat Saya. Dan untuk soal surat cinta, teman Anis adalah berperan penting di belakang layar. Ia juru tulis yang setia. Dipilih karena hurufnya yang indah dan lentur, bak pinggang penari dangdut.
Itulah teman Anis. Entah lantaran tuntutan profesi, kini namanya diganti dengan Djoe. Katanya, biar lebih bernilai jual tinggi. Djoe dengan segala sejarah masa lalu, yang kuat direkam dalam layar ingatan. Bagi saya, ia telah melukiskan ‘yesterday was a history’ secara serius. Pengalaman-pengalaman semasa di Lembah Sasa itu adalah pelajaran mahal dan bermakna. Berkat keuletan, ketekunan dan kesabarannya, cerita malam tadi (today is a story) menjadi sangat bernas.
Sambil meneguk teh hangat, Djoe yakin, cerita-cerita itu adalah serpihan-serpihan pecah dan rusak, yang dikumpulkannya dengan keringat dan airmata. Ada tangis dan tawa. Terlebur dalam ngarai dan jurang harus dilalui. Kerikil dan jalan berlubang mesti ditapaki. Djoe dibentuk menjadi pribadi yang pantang menyerah. Tak kenal putus-asa. Hingga, saat ini menjadi marketer yang hebat.
Pernah suatu waktu, lewat pesan inbox, Djoe mengatakan, tantangan yang paling berat menjadi seorang marketer adalah melawan diri sendiri. Ia sadar, menjadi penjual sebuah produk, menawarkannya dari toko ke toko, dari kios ke kios dan dari orang ke orang bukanlah pekerjaan mudah – semudah mengedipkan alis mata. Pekerjaan ini banyak acap kali dianggap sinis. Terlebih saat itu di tahun 2005, ketika PNS masih menjadi profesi kebanggaan yang menaikkan status sosial. Djoe tak mundur selangkah pun. Musuh terbesar hanya dirinya sendiri. Bukan orang lain. Dan terbukti, ia melakoninya sudah lebih dari sepuluh tahun.
Kesuksesan tak dilihat dengan uang, harta dan jabatan. Bagi Djoe, kesuksesan adalah menikmati setiap proses dengan sabar. Hanya orang-orang setia yang bisa meraih sukses. Sebab, “ada tertulis, baik sekali perbuatanmu itu, hai hambaku yang baik dan setia; engkau telah setia dalam perkara kecil, aku akan memberikan kepadamu tanggung jawab dalam perkara yang besar. Masuklah dan turutlah dalam kebahagiaan tuanmu,” kata Djoe mengutip kata Kitab Suci (Matius 25:21).
Di sinilah, pria kelahiran Juni 1983 itu berteguh prinsip, setitik rezeki selalu dimulai dengan setetes keringat. Makin banyak keringat yang dikucurkan, makin besar rezeki diterima. Djoe yakin, guta cavat lapidem non vi sed saepe cadendo – titik air melubangkan batu bukan dengan kekuatan tetapi jatuh setetes demi setetes. Itulah sebabnya, ia memulai dari yang terkecil, seribu dua ribu, tapi penuh gigih. Pelari marathon yang hebat selalu dimulai dari langkah pertama yang kuat.
Sontak saya kagum, ketika tadi malam, Djoe meminta penjelasan detail dari seorang pramusaji. Soal sepele. Pramusaji ‘dipaksa’ harus menjelaskan apa bedanya, mie goreng special dan mie goreng non special. Termasuk soal bumbu masakannya, cara masak sampai cara penyajiannya. Sang pramusaji agak bingung, garuk-garuk kepala. Saya membisik, “Eja Djoe, pertanyan itu terlalu sulit.”
Bagi kita, pertanyaan ini sepintas sepele-sepele angin saja. Tak penting-penting amat. Namun bagi seorang marketer sejati seperti Djoe, ini pertanyaan sekaligus gugatan cerdas. Bahwa, seorang penjual harus tahu sungguh produk yang ditawarkanya. Sebab, bukan semata produk yang ditawarkan melainkan skill dan kemampuan diri, sejauh mana memahami keseluruhan produk dan pelayanannya. Bagi Djoe, mie goreng special hanya alat dan sarana. Kualitas dirilah (mutu diri) ‘mie goreng special’ yang sesungguhnya. Tentu semuanya diketahui, dari cara menawarkan secara profesional, menjelaskan secara cerdas lalu menyajinya secara elegan.
Karl Arbrecht (Munaldus, 2015) membagi empat tingkat kepuasan sesuai yang dirasakan dan diterima oleh pelanggan, dari seorang penjual/marketer. Pertama, kepuasan dasar. Basic satisfaction; accepted ‘others are better’. Kedua, expected satisfaction; average – ‘same as other’. Ketiga, desire satisfaction: ‘prefered the way the customers want it’. Dan keempat, un-anticipated satisfaction: ‘pleasant surprises’ (not expected every time).
Terhadap pengalaman-pengalaman indah yang dituturkan secara jujur tadi malam, saya harus berani mengatakan Djoe adalah marketer yang tahu melayani lebih dari yang diharapkan pelanggan. Potensi diri dikerahkan. Karakter terbaik ditampilkan. Wawasan luas ditebarkan. Skill ditunjukkan. Mutu diri dipertontonkan. Rasa dan empati disemaikan. Sungguh, Djoe marketer yang mampu memenuhi un-anticipated satisfaction pelanggan. Marketer tipe ini sanggup membasuh kepecayaan, meyakinkan trust pelanggan yang sudah luntur, bahkan pupus.
Akhirnya, sukses Eja Djoe. Ini hanya cerita (today is a story) kita tadi malam. Entah kapan kita akan saling berbagi pengalaman di hari nanti. Meski cerita esok selalu menjadi misteri (tomorrow will be a mistery). Kusemogakan tetap selalu indah dan berkualitas. Amin.
======
Catatan: Eja = sapaan akrab untuk teman lelaki seusia (Bah Ende). Tulisan ini dibuat sebagai bentuk bangga dan salut atas kesuksesan teman sahabat semasa SMP. Ia memulai karir dari seorang sales hingga kini menjadi manajer pemasaran sebuah produk susu terkenal, di Flores, NTT.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI