Tepat hari ini, 20 Oktober 2016, Indonesia di bawah pemerintahan Presiden Ir H. Joko Widodo dan Wakil Presiden H. Jusuf Kalla berusia dua tahun. Pasangan ini sekuat tenaga berdiri, menata pertumbuhan ekonomi. Mempercepat pembangunan infrastruktur. Meningkatkan kualitas SDM dengan program KIP. Meningkatkan kualitas hidup dan kesehatan yang baik dengan program KIS. Perlahan mengikis habis mental korup dan pungutan liar (Pungli). Dan yang terakhir, menegakkan prinsip keadilan sosial bagi seluruh Indonesia, seperti pemerataan harga bahan bakar minyak di seluruh pelosok RI termasuk di Papua dan Nunukan, Kalimantan Timur.
Pemerintahan Jokowi dan JK membalut semangat gerakan revolusi mental dalam bingkai ‘Kabinet Kerja’. Tampak semangat dan menggebu di awal star. Seluruh warga Indonesia menyambut gembira ketika nama-nama mereka dipanggil. Satu demi satu berlari kecil di istana kala itu. Sungguh bersemangat. Seakan memupuk rasa percaya diri hebat, sehebat Indonesia hebat.
Di sinilah, saya bangga. Terbersit harapan kuat dari kami yang menghuni jauh di pelosok Timur Indonesia. Saya tersenyum sumringah. Seraya memanjatkan doa, di tangan Jokowi-lah, Indonesia jaya. Paling tidak, Flores khususnya bisa mengecapnya itu.
Bukan berarti tidak sama sekali, selain program KIS dan KIP yang sudah kami nikmati, harapan masih menjadi segepok harapan. Bahkan kian menumpuk. Doa masih seutas doa. Kian menjadi keluh kesal yang tak ada ujungnya.
Meski demikian, geliat lancarnya kapal-kapal laut ini belum membawa dampak positif bagi kami. Harga gula justru semakin mahal. Telur naik. Harga semen dan besi engan turun. Kami semakin miris, harga hasil-hasil bumi Flores, pertanian dan perkebunan melorot tajam. Cengkeh dibeli dengan Rp 83.000. Padahal di masa belum ada tol laut sangat menukik di atas Rp 150.000 per Kilonya. Lebih sedih, kakao hanya tiarap pasrah di Rp 30.000 per Kilogram. Harga ini jauh lebih ‘lunglai’ sebelum program Tol Laut.Â
Kami petani di kampung tidak butuh kapal-kapal besar meski sebesar Pulau Flores. Kami hanya butuh kehadirannya bisa membuat harga cengkeh naik, harga kemiri loncat, harga kopra mengoprol-koprol. Kami ini seperti dulu jauh sebelum Tol Laut, harga vanili bisa menyenggol satu juta rupiah per kilogram. Selebihnya, baru dijadikan obyek wisata baru, foto-foto narsis di atas kapal, sambil melambai-lambai tangan seolah hendak pergi jauh. Maklum kami orang kampung.
Sekali lagi, program Tol Laut adalah produk gagal. Kuat dugaan, pemerintahan Jokowi-JK belum punya nyali memutuskan mata rantai busuk dan licik oknum tertentu yang ‘bermain’ harga. Mereka bereforia di atas Tol Laut. Mereka menikmati dengan rakus. Hingga pemerintah bersama Dinas Koperindag seakan mengangguk-angguk setuju, jika harga barang ditentukan oleh kelompok mereka. Sungguh miris, harga sembako melambung. Sementara hasil-hasil bumi Flores dibeli sangat murah. Justru, dampak positif terlihat semakin jelas, hanya sebatas murah meriahnya harga ‘selangkangan’ yang semakin ramai didatangkan dari luar Flores. Sesungguhnya, inikah dampak Tol Laut yang diharapkan? Oh, no.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H