Mohon tunggu...
Roman Rendusara
Roman Rendusara Mohon Tunggu... Petani - Memaknai yang Tercecer

Roman Rendusara adalah nama pena. Tinggal di Kepi, Desa Rapowawo, Kec. Nangapanda, Ende Flores NTT. Mengenyam pendidikan dasar di SDK Kekandere 2 (1995). SMP-SMA di Seminari St. Yoh. Berchmans, Mataloko, Ngada (2001). Pernah menghidu aroma filsafat di STF Driyarkara Jakarta (2005). Lalu meneguk ilmu ekonomi di Universitas Krisnadwipayana-Jakarta (2010), mengecap pendidikan profesi guru pada Universitas Kristen Indonesia (2011). Meraih Magister Akuntansi pada Universitas Widyatama-Bandung (2023). Pernah meraih Juara II Lomba National Blog Competition oleh Kemendikristek RI 2020. Kanal pribadi: floreside.wordpress.com.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Malafai

11 Oktober 2016   22:19 Diperbarui: 11 Oktober 2016   22:28 356
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Cerpen Roman Rendusara

Pagi ini, kau begitu keruh. Muka luruh. Rambut dibiarkan panjang tak terurus. Jambang menjalar seenak arah,  dengan jenggot seperti akar beringin. Berpakaian kusut hingga tak terlihat warna dasarnya. Sepatu hitam Castello disemir lumpur, ditinggal mengering. Nampak jelas tanpa kaus kaki. Mungkin ini penampilan tergantengmu ketika masuk Kota Bajawa, sebagai guru muda, yang mengabdi di kampung terisolir, Malafai.

Banyak orang-orang yang melintas, melirik dan memandangmu lirih. Kau jalan menggonta, tak pusing peduli. Kau pasti bergundah dalam hati; enak kamu di Kota, tak becek, tak ada lecek. Musim hujan aman. Jalan aspal mulus. Dengan sepeda motor saja beberapa menit sudah tiba di kantor.

Tak sedikit pula kagum. Penampilan adalah ketak-putusasaanmu. Luruh mukamu adalah guratan perjuangan. Rambut, jambang dan jenggot yang tak terurus mengisahkan kau jauh dari silet dan alat cukur. Sahabat terbaikmu adalah alam dengan segala perilakunya. Kau pernah ‘kasih’ cerita; hujan dan lumpur tak membuatmu surut, panas terik tak menjadikanmu lari, mencerdaskan generasi  adalah spirit terdalammu.

“Om guru, Om guru ada mau beli hp apa?” sapa seorang gadis remaja, pelayan yang ramah saat kau masuk ke toko jual handphone itu.

“Tidak le, saya mau isi pulsa saja”, kau jawab sambil mengeluarkan hp senter, dari saku celana itu.

Gadis pelayan toko itu sigap mengambil handphone khusus untuk menjual pulsa, lalu memencet-pencet tombolnya.

“Om guru, sebut nomor sudah”, kata gadis pelayan itu untuk meminta nomor handphonemu.

“Nol, delapan, satu, dua, tiga, enam, empat, empat dua,....(dst.)”

“Om guru, saya sebut ulang ew, biar tidak salah isi”, kata pelayan itu lagi.

“Iya, nona.”

Gadis pelayan toko itu menyebutkan ulang, “kosong, delapan, satu...”

“Hah, tidak, nona” cegat kau pasang muka sedikit bingung. “Nol, delapan, satu, dua, tiga, enam, empat, empat dua,....(dst.)”

“Iya, om guru, sama saja, nol dengan kosong tu, om guru”

“Haaaaahhhh.” Kau nampak agak kaget sendiri.

Seketika ledakan tawa pengunjung lain memecah di toko jual handphone itu. Gadis pelayan itu hanya mengulum senyum simpul-simpul renyah, entah sekedar menahan tawa. Dan kau tetap kuat bertahan tanpa tersenyum. Sebagai guru matematika, kau tahu ‘nol’ dan ‘kosong’ itu beda jauh bermil-mil. Bisa juga  memperdebatkan dengan dalil filsafatmu dari Bukit Rita, yang kau dalami kandas di semester empat dulu.

Kecewa, itu pasti karena di toko jual handphone tak butuh logika dan filsafat. Mereka hanya butuh untung dan rugi. Dan itu wilayah ekonomi ‘kan. Bukan matematika, apa lagi filsafat.

Jauh di dasar hati, kau kuatkan tekad, agar pulang ke Malafai, mengajarkan tak hanya sekedar mereka lulus UN. Kau janji, matematika adalah seni keseharian hidup. Dan kau menemukan analogi ini; misalkan ada  keranjang berisikan 10 telur kalau dikeluarkan kesepuluh telur tersebut, maka keranjang itu menjadi kosong, dan banyaknya telur dikeranjang yang kosong itu adalah nol.

Kau sangat paham tentu. Logika matematika tak sesulit menebak arus banjir kali menuju Malafai. Kau gusar menunggu banjir surut. Anak didikmu di sana, di Malafai, sedang menunggu. Ini sulit.

***

Di suatu pagi yang lain, kau datang lagi ke Kota Bajawa. Dan kita bertemu di sebuah tempat, yang biasa kita sebut tempat inspiratif. Tersaji gaya bicara dan canda khas mantan penghuni Lembah Sasa. ‘Baku de’i’ (kelakar) dan ‘maki’ keluar otomatis, begitu cara kita mengeratkan persahabatan. Meramu cerita lucu semasa berseragam putih abu-abu, dibumbu hiperbola setinggi tiang jemuran asrama, itu membuat kita tertawa lepas.

Kau begitu riang. Kau gembira. Tak tampak lagi urat-urat beban berat, yang melilit di dahimu. Kau puas. Sambil kau berkata,  ‘kopi’ selalu nikmat. Lalu menyeruput kopi Bajawa, yang aromanya kuat dan berani itu. Kau benar, seteguk rasa kopi adalah persahabatan. Aromanya adalah rasa rindu kita ‘tuk berbagi kisah.

Tentang orang-orang dengan karakter dan budayanya, gigihmu merengkuh alam Malafai, dan lagi, tentang teman-teman gurumu yang selesai mengajar, harus bekerja sawah, daripada berpangku tangan menunggu dana bantuan Pemda cair. Semuanya, kau ajarkan saya, vita est militia – hidup adalah perjuangan.

Dan sampai matahari mulai condong ke Barat, kau pamit dan pergi, meninggalkan sebatang rokok leher kuning. Terima kasih, sahabat, om guru, sebab mendengarkan kisahmu yang tercecer, ibarat saya telah membaca puluhan buku, dengan berbagai judul. Penulisnya kau, pengabdi di Malafai. Sungguh, kaya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun