Seiring perkembangan zaman yang semakin maju semestinya menuntut perubahan dari kita. Perubahan ke arah yang lebih baik dalam semua sisi kehidupan kita. Terutama perubahan tata pikir dan tata tindak dalam dalam pergaulan dengan sesama . Bahkan di era media sosial ini, perlunya menata kembali bentuk komunikasi kita yang lebih elegan dan etik.
Komunikasi yang elegan dalam dunia maya dapat membangun sikap menghargai, terutama yang berbeda suku, agama, ras dan budaya. Hal ini dapat terwujud, bila kita memahami dengan sungguh, makna komunikasi dan toleransi yang sejatinya.
Komunikasi berasal dari kata bahasa Latin, dua suku kata, ‘cum’ berarti dengan atau bersama dengan, dan kata ‘unicare’ berarti menyatukan. ‘Cum-unicare’ berarti bersama menyatukan dan bersama menyetujui. Komunikasi lebih bermakna sebagai penyatuan dua hati yang berbeda ide, gagasan, dan pandangan hidup. Komunikasi berarti juga menyetujui adanya perbedaan pandangan. Komunikasi yang ideal adalah mengakui juga adanya ketidaksamaan suku, agama dan ras sesama yang lain.
Sedangkan toleransi berasal dari kata ‘tolerare’ yang berarti menyabar, menahan diri, membiarkan orang lain berpendapat lain. Toleransi berarti membuka diri terhadap orang-orang yang berbeda dengan kita. Lebih dari itu, toleransi adalah mengakui dan menghargai perbedaan-perbedaan suku, agama, ras dan budaya. Toleransi mengandaikan kita menghormati keberagaman dengan sikap rendah hati.
Saya berteguh yakin, andai semua kita memahami makna komunikasi dan toleransi yang sesungguhnya, maka tidak akan ada caci maki dan penghinaan, tidak ada pembakaran rumah/tempat ibadah, tidak saling ejek menjurus penghinaan, bahkan tidak akan terjadi penistaan terhadap suku, agama dan ras tertentu.
Kenyataan berbicara sangat ngeri di dunia maya, pada laman-laman media sosial justru caci-maki, saling menghina dan saling mengejek yang mengarah penghinaan terhadap suku, agama dan ras bertumbuh sangat subur. Saya sangat kuatir andai dibiarkan, kehancuran tidak tertunggu lama. Perpecahan menjadi nyata. Pertikaian atas nama suku, agama dan ras merajalela. Terlebih saat menjelang pesta demokrasi, kata-kata penghinaan akan suku, agama dan ras melejit tajam. Hinaan berbau SARA menjadi menu sarapan pagi membosankan di laman, status, dan komentar media sosial.
Hemat saya, gejala-gejala intoleransi dalam media sosial adalah riak-riak yang muncul. Kita mesti melihatnya berbagai aspek secara keseluruhan. Jauh lebih dalam, hemat saya, pembentukan nilai-nilai komunikasi (media sosial) dan toleransi yang belum tepat (untuk tidak mengatakan; salah) sejak dalam keluarga dan bangku sekolah. Sangat penting adalah penanaman nilai yang sedini mungkin, sejak dalam keluarga dan sekolah dasar hingga sekolah menengah.
Sedangkan peran pemerintah adalah menata ulang aturan dan sistem sambil menggandengan beberapa lembaga dan instansi yang berkaitan, sebagaimana diejahwantahkan dalam beberapa poin di bawah ini.
Pertama, memperkuat peran keluarga sebagai tempat persemaian nilai-nilai komunikasi dan toleransi. Pihak terkait seperti BKKBN mesti diperluas fungsinya. BKKBN semestinya tidak hanya mengurus ‘dua anak cukup’, kondom dan ‘atur-mengatur’ masa subur calon ibu. Peran lembaga ini mesti diperkaya. BKKBN perlu memberikan pendidikan bagi keluarga multi aspek, termasuk terkait peran keluarga membentuk nilai-nilai keberagaman dalam masyarakat. BKKBN bukan untuk merencanakan jumlah anak, tetapi juga merencanakan kualitas anak.
Kedua, menata ulang pendidikan kita. Kembalikan butir-butir pedoman penghayatan dan pengamalan pancasila (P4) sebagai pelajaran wajib di sekolah. Kembalikan PMP (Pendidikan Moral Pancasila). Dan kembalikan PSPB (Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa) agar menjadi generasi yang menghargai setiap tetes darah pejuang bangsa, yang berjuang demi kemerdekaan RI tanpa melihat suku, agama dan ras. Beberapa pahlawan dari berbagai suku dan agama mestinya menjadi pelajaran berharga dalam kaitan pemaknaan toleransi yang sesungguhnya.
Ketiga, menguatkan pendalaman pendidikan agama di sekolah. Pelajaran agama bukan hanya soal hafal ayat-ayat Kitab Suci. Lebih dari itu pengamalan dan penghayatan pesan setiap ayat-ayat itu dalam keberagaman hidup bersama. Di sinilah peran Departemen Agama diperkuat, tidak hanya mengurus pergi haji dan membagi-bagi Kitab Suci gratis. Depag perlu mengawasi lebih ketat pendidikan agama di sekolah-sekolah berjalan benar, tidak memupuk benih-benih permusuhan terhadap keberagamaan di tanah air.
Akhirnya, jika ada tikus dalam rumah, kita tidak perlu membakar rumah itu. Upaya pemblokiran akun media sosial tidak cukup memberantas sikap intoleransi. "Laws alone can not secure freedom of expression; in order that every man present his views without penalty there must be spirit of tolerance in the entire population.”― Albert Einstein.
Sedini mungkin perlu membentuk karakter anak bangsa yang peka, hormat dan respek terhadap yang lain. Toleransi harus dimulai dari keluarga dan sekolah. Hanya dengan demikian kita menjadi generasi yang terbuka memandang orang lain. Menerima perbedaan dengan lapang. Merawat toleransi yang elegan dalam hidup berbangsa dan bernegara, termasuk tata tutur berkomunikasi dalam sosial media.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H