Jangan dulu bangga sudah pernah menginjakkan kaki di tanah Flores, jika belum meneguk minuman beralkohol masyarakatnya. Selain menikmati keindahan alam sembari menyelami pesan atraksi budaya yang mengagungkan, terasa lebih lengkap bila sudah menikmati sensasinya yang berani minuman khas Flores.
Di Flores sangat mudah mendapatkannya, ketimbang di beberapa daerah lain justru menjadi target operasi pihak berwenang. Ketika melintas jalur Aimere hingga Waelengga, di daerah perbatasan Kabupaten Ngada dan Manggarai Timur, misalnya, saya hampir terkecoh saat membeli bensin. Di pinggir jalur itu, kiri dan kanan memajang beberapa botol, dengan diisi air jernih. Sama jernih dengan bensin eceran tanpa campuran.
Masyarakat menyebutnya arak, hasil proses penyulingan tuak atau aren. Flores bagian tengah dikenal dengan ‘moke’. Orang Manggarai menyebutnya ‘sopi’. Orang Maumere lebih menyebutnya ‘BM’ (Bakar Menyala). Beberapa tempat di Ngada sering menyebutnya ‘ciu’, sekaligus menunjuk pada ajakan untuk meminumnya bersama-sama.
Sejak kecil saya sudah diingatkan, tidak boleh bertanya-tanya atau mengajak bicara bila bertemu pembuat arak sedang memukul-mukul pangkal tandan di atas pohon enau. Entah sebatas mitos, katanya, nanti niranya tidak mau keluar. Sore itu saya patuh menuruti nasihat sang kakek. Saya cukup menyaksikan dengan diam. Tidak ada suara terdengar, selain bunyi pemukul sebesar pentung permainan kasti itu, dan seirama jarum detik.
Beberapa hari kemudian pangkal tandan siap diiris, dengan pisau khusus yang sangat tajam. Nira pun keluar setetes demi setetes. Wadah penampung nira kami namakan ‘bhoku’, (Bahasa Ende) dari seruas bambu. Digantung saja di atas pohon enau hingga menunggu penuh. Sehari kemudian baru dicek. Jika sudah terisi penuh dan niranya tidak menetes lagi, maka ‘bhoku’ diturunkan.
Proses penyulingan menjadi arak dilakukan di kebun. Terdapat pondok khusus disiapkan. Nira dimasukan ke dalam belanga besar, periuk dari tanah liat. Selama proses pemasakan, belanga ditutup dengan bambu yang sudah dilubangkan bukunya. Seukuran diameter 5 cm dan membentuk seperti pipa sepanjang tiga sampai lima meter.
Di ujung pipa bambu digantungkan sebuah botol kaca untuk menadah setetes demi setetes uap yang mengembun. Proses penyulingan telah selesai. Arak lalu disimpan dalam sebuah tembikar dari tanah, dan siap diminum.
Untuk menghasilkan arak yang lebih berani, biasanya sebelum dimasak, nira dibumbui beberapa ramuan, yang berasal dari daun dan kulit pohon tertentu. Sangat jarang para pembuat ‘moke’ membagi resep dan tips kepada orang lain.
Beberapa petani di Flores sangat mengandalkan pohon enau sebagai penopang kebutuhan ekonomi. Juga untuk menyekolahkan dan membiayai kuliah anak-anak. Walau demikian beberapa petani melihat profesi ini sebagai sampingan. Hanya untuk membunuh waktu di sela-sela berkebun dan berladang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H