Mohon tunggu...
Roman Rendusara
Roman Rendusara Mohon Tunggu... Petani - Memaknai yang Tercecer

Roman Rendusara lahir dan tumbuh sebagai anak kampung di Rajawawo, Kec.Nangapanda, Ende-Flores, NTT. Kini, menetap di kampung sebagai seorang petani, sambil menganggit kisah-kisah yang tercecer. Kunjungi juga, floreside.wordpress.com.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama FEATURED

Belum ke Flores Kalau Belum Tenggak Moke atau Sopi

1 September 2016   11:07 Diperbarui: 4 Maret 2021   08:32 2937
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pangkal buah enau yang siap diiris. Foto: Roman Rendusara

Meneguk arak ditemani ikan kuah asam terasa 'nendang'. Foto: Roman Rendusara
Meneguk arak ditemani ikan kuah asam terasa 'nendang'. Foto: Roman Rendusara
Sebotol arak seukuran 620 ml dijual seharga Rp 25.000 atau lebih. Ia sangat laris. Terlebih musim pesta dan upacara adat. Selain untuk bersenang-senang dan meringankan sentak-sentakan berirama ja’i (tarian khas Ngada), arak juga simbol kebersamaan, kekuatan dan keramahan. Seperti di wilayah Manggarai, sebotol arak berguna dalam acara ‘kepok’ (sapaan dengan bahasa adat saat menerima tamu terhormat).

Beberapa petani di Flores sangat mengandalkan pohon enau sebagai penopang kebutuhan ekonomi. Juga untuk menyekolahkan dan membiayai kuliah anak-anak. Walau demikian beberapa petani melihat profesi ini sebagai sampingan. Hanya untuk membunuh waktu di sela-sela berkebun dan berladang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun