Mohon tunggu...
Roman Rendusara
Roman Rendusara Mohon Tunggu... Petani - Memaknai yang Tercecer

Roman Rendusara lahir dan tumbuh sebagai anak kampung di Rajawawo, Kec.Nangapanda, Ende-Flores, NTT. Kini, menetap di kampung sebagai seorang petani, sambil menganggit kisah-kisah yang tercecer. Kunjungi juga, floreside.wordpress.com.

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

Terkesan dengan Flores: Dari Labuan Bajo Hingga Pantai Cincin Ende

23 Agustus 2016   15:13 Diperbarui: 24 Agustus 2016   21:12 136
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pantai Batu Cincin di Desa Raporendu, Kec Nangapanda, Ende, Flores. Foto: Roman Rendusara

Saya sedang asyik menikmati hari libur, Minggu (21/8) kemarin, dengan memanfaatkan wi-fi gratis di sebuah hotel di Jalan Melati Ende. Om Hanes datang terengah-engah, meminta bantuan saya. Ada tamu hotel yang ingin menggunakan jasa motor, buat mereka jalan-jalan dan melihat Kota Ende. Saya mengangguk kepala tanda setuju.

Tidak berselang lama, datanglah tamu hotel dimaksud. Saya berkenalan dengan Mas Tomy dan Mbak Dwi. Mereka bukan pasangan kekasih, tapi sebatas sahabat petualangan merengkuh Pulau Flores. Mas Tomy berdarah asli Dayak, tetapi lahir dan bertumbuh besar di Kota Yogya. Mbak Dwi sangat manis. Saya memanggilnya ‘neng geulis’ karena ia dilahirkan di Bandung, meski sudah lama menetap di Yogya juga.

Tanpa perlu bersepakat soal harga jasa ojek, kami siap berangkat. Mas Tomy diboncengi Om Hanes dan Mbak Dwi menumpang di atas motor saya.

Waktu menunjukkan pukul 15.00 WITA. Kami menelusuri Kota Rahim Pancasila itu. Saya menawarkan ke Taman Renungan Bung Karno (TRBK), sambil melihat lima pohon sukun, yang menjadi tempat inspirasi Bung Karno mencetuskan lima sila, tapi dijawab sudah pernah. Ternyata tadi paginya mereka sudah ke TRBK itu.

Fasilitas Umum, ‘Epen kah’
Mereka menyuruh kami mengantar ke situs Bung Karno. Saya mengangguk secepat kilat. Sepeda motor meluncur ke Jalan Perwira. Dan, ah. Kerinduan Mas Tomy dan Mbak Dwi melihat bekas rumah proklamator itu harus dibuang sekuat tenaga ke Laut Sawu. Persis di depan rumah pengasingan pendiri bangsa itu, dilangsungkan sebuah acara. Kami tidak perlu tahu acara apa itu. Kami hanya tahu, jalan diblokir dengan tanda dilarang masuk. Di depan situs itu ada tenda. Mungkin ada hajatan atau ramah tamah nikah.

Bekas rumah pengasingan Bung Karno, Jl Perwira, Ende, Flores. Foto: travel.kompas.com
Bekas rumah pengasingan Bung Karno, Jl Perwira, Ende, Flores. Foto: travel.kompas.com
Saya tahu, dua sahabat saya yang sudah datang jauh-jauh dari Yogya itu kecewa. Kesal. Apa boleh buat. Mesti dengan memberikan alasan sangat diplomatis, dalam hati kecil saya turut menggerutu. ‘Inilah Flores, tidak pusing banyak dengan orang, mau jalan umum atau tempat umum, epen (emang penting) kah!’

Seketika tujuan kami mengelilingi Kota Ende mentok. Tidak kehilangan akal, saya mengajak mereka ke Pantai Batu Cincin. Berada di luar Kota Ende. Sekitar 17 Km arah barat. Terletak di Desa Raporendu Kecamatan Nangapanda. Seperti Hari Minggu dan libur, pantai ini ramai dikunjungi. Tempat rekreasi dan mandi yang tepat. Pantai yang indah. Air lautnya sangat jernih. Saking jernihnya, ikan pacaran saja kita bisa lihat.

Pesona Pantai Batu Cincin
Dinamakan Batu Cincin karena batu berbentuk cincin, melubang di bibir pantai. Gelombang laut masuk dan mengempas lewat lubang cincinnya. Ketika senja perlahan merapat ke peraduannya, kita akan menyaksikan sunset yang menakjubkan dari lubang cincin. Sungguh memesona.

Kami pun tiba di Pantai Batu Cincin. Tidak lebih dari 20 menit perjalanan. Banyak pengunjung saat itu. Kami tidak sempat mandi. Cukup menikmati batu berlubang seperti cincin yang ajaib. Mas Tomy mengamati dengan teliti. Memotret dengan kameranya. Sesekali ia memilih batu ceper yang berwarna biru muda. Terbersit kagum disertai anggukan.

Batu Hijau Penggajawa
Saya meyakinkan Mas Tomy dan Mbak Dwi. Biar mereka semakin kagum. Ada hamparan pantai berbatu biru muda. Banyak orang terlanjur menyebutnya Pantai Batu Hijau. Mungkin lebih tepat warna biru dan biru muda. Tidak jauh dari Pantai Batu Cincin, sekitar 4 Km arah barat. Berada di Desa Penggajawa Kecamatan Nangapanda. Kami segera ke sana.

Hamparan pantai berbatu hijau di Penggajawa, Kec Nangapanda, Ende, Flores. Foto: Roman Rendusara
Hamparan pantai berbatu hijau di Penggajawa, Kec Nangapanda, Ende, Flores. Foto: Roman Rendusara
Mas Tomy terlihat asyik bertanya-tanya dengan seorang bapak setelah kagum hamparan pantai berbatu ceper nan indah, dengan berbagai ukuran. Saya turut menimbrung. Soal harga sekilo, ke mana jual dan perusahaan yang membelinya menjadi pokok penting pertanyaan Mas Tomy. Batu hijau atau biru muda Penggajawa juga diekspor dan dibawa ke Pulau Jawa, sebagai batu hiasan taman dan tembok.

Waktu di handphone saya sudah menujuk angka 17:46 WITA. Marahari perlahan merayap, meninggalkan jejak-jejak temaram. Gelap segera menyapa. Kami pun harus pulang. Singgah makan malam di Pantai Ria. Di sini kami disajikan menu masakan khas Ende, ikan bakar dan ikan kuah asam. Rasanya sangat ‘nendang’. Sedapnya membayar tuntas kesal tidak mengunjungi situs Bung Karno, dan nikmatnya ikan kuah asam menghapus lelah seperempat hari menikmati kota hingga pesisir baratnya.

Flores itu Indah
Flores itu indah. Indah. Indah. Luar biasa indah,” decak Mas Tomy sambil menghabiskan teh panasnya. Ia mengangkat jempol. Pesona alam dan budaya Flores sangat menarik, kagumnya. “Kalau orangnya gimana,” tanya saya.

Mas Tomy mulai bercerita panjang tentang perjalanan mereka, sesekali dibumbui Mbak Dwi. Persis seminggu lebih satu hari mereka menyelami alam Flores. Hanya sayang dua Kabupaten ke timur; Sikka dan Flores Timur tidak sempat dijelajahi. Kata Mbak Dwi, "Mungkin lain kali baru ke Maumere dan Larantuka".  “Biar saya bisa dapat jodoh orang Sikka. Hehe..'kan kata temanku nona Sikka itu manis-manis ya?”, gurau Mas Tomy.

"Labuan Bajo itu indah," lanjutnya. Pemandangan pantainya bagus. Banyak pulau-pulau sekitar yang menawan. Pasir pantai berwarna pink. Air laut bersih dan jernih. Puas menikmati Pulau Padar. Masyarakatnya yang ramah semakin membuat betah dan tidak ingin berpindah.

Antara Waerebo dan Bena
Suasana demikian tidak mereka dapatkan di kampung tradisional Waerebo. Kata Mas Tomy, di Waerebo mereka harus menginap. Semalam menghabiskan tiga ratus lima puluh ribu rupiah perorang. Tidur di rumah adat. Makan pagi dan malam harus bersama dengan anggota keluarga seisi rumah itu. Toiletnya sangat bagus dan bersih. Tapi nampak sekali, menurutnya, gaya hidup sudah modern. Anak-anak sudah menggunakan tas bermerk ke sekolah. Dan, tambah Mbak Dwi, anak-anak itu tidak lagi terlihat polos. Tak segan-segan meminta-minta uang kepada pengunjung.

Kampung tradisional Waerebho, Manggarai. Foto: travel.detik.com
Kampung tradisional Waerebho, Manggarai. Foto: travel.detik.com
Sambil mengangkat jempol, menurut Mas Tomy, jauh lebih asli Bena, kampung megalitikum, yang terletak di Desa Tiwuriwu Kec Jerebu’u, Ngada. Sekitar 19 Km arah selatan Ibu Kota Kab Ngada, Bajawa via Kampung Langa. Kampung Bena berada di lereng gunung Inerie.

Cerita Mas Tomy, anak-anak tidak ada yang meminta-minta uang. Para penghuninya bersahaja. Sangat original. Berdaya seni tinggi, alias artistik. Bahagianya, tambah Mbak Dwi, mereka melihat langsung ibu-ibu menenun kain adat. Senyum mereka membungkus ketulusan. Tawa renyah menyapa, seperti umumnya orang Ngada. Sepintas sangar, tapi hati sangat ramah. Mas Tomy dan Mbak Dwi membeli beberapa lembar sarung di Bena.

Selain Bena, Mas Tomy dan Mbak Dwi sempatkan menghapus letih di pemandian air panas Mangeruda, Soa. Mereka mandi sepuasnya. Dan menginap di Kota Bajawa yang dingin. Walau hanya dua hari, kata mas Tomy, Kota Bajawa itu tenang. Bikin betah. Rasanya pingin hidup seribu tahun di Bajawa. Ini sungguh, katanya semangat.

Kampung adat Bena, Desa Tiwuriwu Kec Jerebu'u, Ngada. Foto: tourism.ntt.go.id
Kampung adat Bena, Desa Tiwuriwu Kec Jerebu'u, Ngada. Foto: tourism.ntt.go.id
Cowok Ende yang Ganteng
Nah, bagaimana dengan Ende? Rasanya kata-kata tak sanggup mengungkapkan keagungan dan keindahan Kelimutu. Mbak Dwi ikut mengamini kata-kata Mas Tomy. Orang-orangnya juga ramah. "Tapi kok banyak anak muda ya di sini?" tanya Mbak Dwi. Katanya, sebab tidak seperti daerah Manggarai dan Bajawa. Saya mengira. Iya, mungkin Ende kota pelajar, ada beberapa perguruan tinggi. Bisa jadi beberapa anak-anak muda berkuliah di sini, kata saya.

Kalau Mas yang sajikan ikan bakar tadi orang asli Ende ya?” tanya mbak Dwi. Saya menjawab dengan senyum bergumpal-gumpal. “Kok, cowok Ende ganteng ya,” timpalnya sambil melirik ke saya. Seketika hidung saya mengembang seperti balon disuntik angin, kepala membesar, lalu melayang dan terbang ke ujung dunia yang paling sempurna.

Danau Kelimutu, Kec Kelimutu, Ende, Flores, NTT. Foto: Roman Rendusara
Danau Kelimutu, Kec Kelimutu, Ende, Flores, NTT. Foto: Roman Rendusara
Menurut Mas Tomy, Kelimutu sangat indah. Kampung Moni mempresentasikan kekayaan budaya dan kearifan lokal masyarakatnya. Dan baru di Ende mereka bisa menikmati menu khas daerah, ubi cincang dan ikan kuah asam di Rumah Makan Khalifah, perlimaan menuju gerbang Bandara H. Aeroebusman.

Flores itu indah, ramah orang-orangnya, perlu dijaga baik, kata Mas Tomy, sebelum mbak Dwi mengedipkan mata, pertanda segera berakhir. Kantuk sudah memanggil-manggilnya. Malam melewati pukul 22.00 WITA. Pantai Ria kami tinggalkan, menuju Hotel Flores Mandiri, Ende.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun