Waktu di handphone saya sudah menujuk angka 17:46 WITA. Marahari perlahan merayap, meninggalkan jejak-jejak temaram. Gelap segera menyapa. Kami pun harus pulang. Singgah makan malam di Pantai Ria. Di sini kami disajikan menu masakan khas Ende, ikan bakar dan ikan kuah asam. Rasanya sangat ‘nendang’. Sedapnya membayar tuntas kesal tidak mengunjungi situs Bung Karno, dan nikmatnya ikan kuah asam menghapus lelah seperempat hari menikmati kota hingga pesisir baratnya.
Flores itu Indah
“Flores itu indah. Indah. Indah. Luar biasa indah,” decak Mas Tomy sambil menghabiskan teh panasnya. Ia mengangkat jempol. Pesona alam dan budaya Flores sangat menarik, kagumnya. “Kalau orangnya gimana,” tanya saya.
Mas Tomy mulai bercerita panjang tentang perjalanan mereka, sesekali dibumbui Mbak Dwi. Persis seminggu lebih satu hari mereka menyelami alam Flores. Hanya sayang dua Kabupaten ke timur; Sikka dan Flores Timur tidak sempat dijelajahi. Kata Mbak Dwi, "Mungkin lain kali baru ke Maumere dan Larantuka". “Biar saya bisa dapat jodoh orang Sikka. Hehe..'kan kata temanku nona Sikka itu manis-manis ya?”, gurau Mas Tomy.
"Labuan Bajo itu indah," lanjutnya. Pemandangan pantainya bagus. Banyak pulau-pulau sekitar yang menawan. Pasir pantai berwarna pink. Air laut bersih dan jernih. Puas menikmati Pulau Padar. Masyarakatnya yang ramah semakin membuat betah dan tidak ingin berpindah.
Antara Waerebo dan Bena
Suasana demikian tidak mereka dapatkan di kampung tradisional Waerebo. Kata Mas Tomy, di Waerebo mereka harus menginap. Semalam menghabiskan tiga ratus lima puluh ribu rupiah perorang. Tidur di rumah adat. Makan pagi dan malam harus bersama dengan anggota keluarga seisi rumah itu. Toiletnya sangat bagus dan bersih. Tapi nampak sekali, menurutnya, gaya hidup sudah modern. Anak-anak sudah menggunakan tas bermerk ke sekolah. Dan, tambah Mbak Dwi, anak-anak itu tidak lagi terlihat polos. Tak segan-segan meminta-minta uang kepada pengunjung.
Cerita Mas Tomy, anak-anak tidak ada yang meminta-minta uang. Para penghuninya bersahaja. Sangat original. Berdaya seni tinggi, alias artistik. Bahagianya, tambah Mbak Dwi, mereka melihat langsung ibu-ibu menenun kain adat. Senyum mereka membungkus ketulusan. Tawa renyah menyapa, seperti umumnya orang Ngada. Sepintas sangar, tapi hati sangat ramah. Mas Tomy dan Mbak Dwi membeli beberapa lembar sarung di Bena.
Selain Bena, Mas Tomy dan Mbak Dwi sempatkan menghapus letih di pemandian air panas Mangeruda, Soa. Mereka mandi sepuasnya. Dan menginap di Kota Bajawa yang dingin. Walau hanya dua hari, kata mas Tomy, Kota Bajawa itu tenang. Bikin betah. Rasanya pingin hidup seribu tahun di Bajawa. Ini sungguh, katanya semangat.
Nah, bagaimana dengan Ende? Rasanya kata-kata tak sanggup mengungkapkan keagungan dan keindahan Kelimutu. Mbak Dwi ikut mengamini kata-kata Mas Tomy. Orang-orangnya juga ramah. "Tapi kok banyak anak muda ya di sini?" tanya Mbak Dwi. Katanya, sebab tidak seperti daerah Manggarai dan Bajawa. Saya mengira. Iya, mungkin Ende kota pelajar, ada beberapa perguruan tinggi. Bisa jadi beberapa anak-anak muda berkuliah di sini, kata saya.
“Kalau Mas yang sajikan ikan bakar tadi orang asli Ende ya?” tanya mbak Dwi. Saya menjawab dengan senyum bergumpal-gumpal. “Kok, cowok Ende ganteng ya,” timpalnya sambil melirik ke saya. Seketika hidung saya mengembang seperti balon disuntik angin, kepala membesar, lalu melayang dan terbang ke ujung dunia yang paling sempurna.