Saya mengambil judul di atas diinspirasi oleh intisari salah satu materi Lokakarya nasional (Loknas) dengan tema “Why do Credit Unions Exist?”. Pemateri adalah Drs. PM. Sitanggang, sesepuh Gerakan Koperasi Kredit Indonesia. Loknas diselenggarakan oleh Induk Koperasi Kredit (Inkopdit) Indonesia di Pangkal Pinang 20 Mei 2016, dalam rangka Rapat Anggota Tahunan Nasional (RATNAS) Inkopdit Jakarta tahun buku 2015.
Koperasi, sebagaimana didefenisikan dalam UU No 25 Tahun 1992 Pasal 1 (1), “... adalah badan usaha yang beranggotakan orang-seorang atau badan hukum Koperasi dengan melandaskan kegiatannya berdasarkan prinsip Koperasi sekaligus sebagai gerakan ekonomi rakyat yang berdasar atas asas kekeluargaan.”
Sangat berbeda dengan definisi menurut UU di atas, ICIS (Manchester, 1995) memahami koperasi merupakan perkumpulan otonom dari orang-orang yang bersatu secara sukarela untuk memenuhi kebutuhan dan aspirasi sosial, ekonomi dan budaya bersama melalui perusahaan yang mereka kelola dan awasi secara demokratis. Koperasi mengandaikan terdapat perkumpulan anggota-anggota tanpa paksaan. Otonomi dan kemandirian digenggam erat dalam koperasi. Selain prinsip; pendidikan, kerja sama dan kepedulian terhadap komunitas (lingkungan).
Namun sejalan perubahan pola pikir dan pola tindak, nilaiotonomi dan kemandirian koperasi kian tergerus. Keswadayaan dalam koperasihanya menjadi penghias dan pelengkap dalam empat pilar; pendidikan,solidaritas, swadaya dan inovasi. Prinsip self-supportinghampir lenyap tak berbekas. Bantuan dari luar (pemerintah) memang menaikkanpertumbuhan aset dan modal koperasi. Tetapi tidak disadari, berasal dari sumberluar, bukan berasal dari anggota sendiri, kemampuan dan potensi anggotasendiri. Sebab spirit kemandirian dikikis. Pelan dan pasti koperasi akan tinggaltiang papan nama. Mati segan hidup tak mau jika tanpa nilai dan prinsip tersebut.
Pesan ‘orangmiskin hanya bisa dibantu oleh orang miskin itu sendiri’ (F.W Raiffisien)malah dikebiri atas nama bantuan pemberdayaan masyarakat. Bantuan dari luar(pemerintah) semakin menina-bobohkan masyarakat. Ketergantungan sulitdihindarkan. Tidak berlebihan, pemerintah ikut memupuk mental instan dan malas masyarakatnya.Mungkin inilah intisari (abrasi koperasi dari sisi eksternal) yang disinggungDrs PM Sitanggang dalam materi Loknas, koperasi di tengah abrasi idealisme,terutama nilai otonomi, keswadayaan dan kemandirian.
Saya masih ingat, di tahun 1970-an, di Flores - NTT, banyak bantuan asing masuk melalui pintu Gereja Katolik yang sangat berkembang kala itu. Generasi saya dan hingga kini menikmati percikan-percikan kebaikan orang Barat itu. Misalnya, dalam bidang pendidikan berdiri sekolah-sekolah swasta Katolik yang menekankan ‘sapientia et virtus’ (kebijaksanaan dan kebajikan). Pola pendidikan asrama yang humanis, toleran dan disiplin tinggi dibalut ‘sapientia amica’ (sahabat kebijaksanaan). Di bidang penerbit dan surat kabar, terdapat Percetakan Arnoldus Ende (1926), yang mesin cetaknya didatangkan dari Jerman. Juga Penerbit Nusa Indah Ende (1970) serta Flores Pos, yang hingga kini masih bertahan. Sedangkan di bidang pertanian sangat tampak dalam bidang irigasi dan melatih masyarakat dengan metode tanam terasering.
Kondisi banyaknya bantuan yang mengalir ke Flores saat itu menyadarkan masyarakat Flores sendiri akan pentingnya berdiri di kaki sendiri. Pertanyaan pun timbul, sampai kapan orang Flores bergantung pada orang Barat (donasi asing)? Para sesepuh dan aktivis ekonomi akhirnya bertekad kuat, Flores harus memiliki lembaga keuangan sendiri. Biarkan orang miskin dibantu oleh orang miskin itu sendiri. Maka dikumpulkan orang-orang yang saling percaya (trust). Atas dasar kearifan lokal (local wisdom) yang sudah dihidupkan sejak zaman nenek moyang dulu (solidaritas dan gotong royong), kekuatan ekonomi masyarakat bernama koperasi dibentuk.
Nah, kekuatiran muncul. Di tengah pertumbuhan dan perkembangan koperasi dan usaha ekonomi anggota yang menggembirakan, sekali lagi, nilai kemandirian koperasi terkikis abrasi. Dana-dana bergulir mengalir sangat besar ke koperasi di desa, dengan tawaran bunga kecil. Koperasi punya aset besar, namun sedikit berasal dari modal sendiri. Hutang luar membengkak. Lambat-laun, mematikan kekuatan ekonomi masyarakat yang sudah mapan. Ketergantungan nampak nyata. Kemandirian masyarakat luntur. Otonomi ekonomi kendur. Dan bukan tidak mungkin koperasi hancur.
Koperasi tidak berniat menolak setiap bantuan yang berasal dari luar (dan atau pemerintah). Tetapi sebagai pengejahwantahan prinsip otonomi, kemandirian koperasi mesti dipegang kuat. Keswadayaan tak tergoyahkan. Juga kekuatan dan potensi diri (masyarakat) menjadi kekuatan utama.
Frans Obon (dalam Bentara Flores Pos, 26 Mei 2012) mengusulkan agar intervensi pemerintah itu dapat dilakukan dengan dua cara. Pertama, pemerintah melakukan intervensi penguatan kapasitas sumber daya manusia terutama soal manajemen pengelolaan koperasi. Gerakan koperasi kredit makin bertumbuh dan berkembang dengan baik dan sejalan dengan itu sudah menjadi tuntutan agar pengelolaan koperasi juga harus dilakukan secara profesional. Agar secara kelembagaan koperasi tetap kuat, maka diperlukan penguatan kapasitas sumber daya manusia. Kedua, pemerintah dapat melakukan pembinaan dan pendampingan bagi kelompok usaha anggota koperasi agar mereka bertumbuh menjadi wirausaha yang tangguh.
Akhirnya, hanya dengan demikian, tidak akan terjadi abrasi kemandirian. Otonomi terjaga. Keswadayaan semakin kuat. Koperasi makin aman, terpercaya dan berkelanjutan, didukung sistem tata kelola keuangan dan pelayanan yang profesional berbasis IT.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H