Mohon tunggu...
Roman Rendusara
Roman Rendusara Mohon Tunggu... Petani - Memaknai yang Tercecer

Seorang anak kampung, lahir dan bertumbuh di Rajawawo, Ende. Pernah dididik di SMP-SMA St Yoh Berchmans, Mataloko (NTT). Belajar filsafat di Driyarkara tapi diwisuda sebagai sarjana ekonomi di Universitas Krisnadwipayana, Jakarta. Terakhir, Magister Akuntansi pada Pascasarjana Universitas Widyatama Bandung. Menulis untuk sekerdar mengumpulkan kisah yang tercecer. Blog lain: floreside.wordpress.com.

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Pilihan

Jangan Sekolah untuk Dapat Pekerjaan

9 Juli 2016   14:34 Diperbarui: 9 Juli 2016   14:39 361
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar Ilustrasi. Istimewa

TAHUN ini, anak kakak saya menamatkan pendidikan menengah pertamanya di kampung. Sebut saja Angel namanya. Akhir Juli  akan masuk ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi, ke sekolah menengah atas. Kecemasan dan kegalauan bertempur ketika hendak dibawa ke mana arah cita-cita Angel nanti. Kata Angel, masuk di sekolah mana saja, yang penting orangtuanya bisa membiayainya.

Tanpa berkonsultasi dengan saya, sang ayah pun bergegas mendaftarkannya di sebuah sekolah menengah umum swasta. Sekolah itu cukup ternama di Kota Ende. Lulusan-lulusannya sangat berprestasi di dunia kerja. Maklum diasuh dan dididik oleh para pendidik yang profesional di bidangnya masing-masing. Kedisiplinan dan kejujuran dibentuk ala pendidikan Eropa. Sedangkan biaya sekolah tidak terlampau mahal.

Saya sangat berkeberatan. Mendaftar di sekolah menengah umum mengandaikan setelah tamat nanti Angel, mau tidak mau, harus melanjutkan kuliah. Menurut saya, alangkah baiknya, mendaftar di sekolah kejuruan saja. Biar setelah lulus, bisa mendapatkan pekerjaan. Tanpa harus kuliah. Saya tidak sedang termakan iklan, SMK Bisa!. Pengalaman ketika merekrut karyawan baru membuktikan. Lulusan SMK lebih siap kerja. Tak perlu perusahaan buang waktu dan biaya untuk pendidikan dan pelatihan on job training. Sangat berbeda dengan lulusan SMU dan kampus ternama sekalipun. Belum tentu sudah sangat siap kerja.

Ayahnya sehari penuh diam mempertimbangkan pikiran dan saran saya. Sehari kemudian, ia menelpon saya. Katanya, ia dan Angel baru saja selesai mendaftar di sebuah SMK Pariwisata di Kota Ende. Tentu sebuah sekolah yang prestisius. Disiplin dijunjung tinggi. Bakat dikembangkan. Pengembangan diri lebih diutamakan. Penggalian potensi diri didukung sarana dan perlengkapan yang memadai. Soal biaya sekolah, tidak berbeda jauh. Masih bisa dijangkau isi dompet seorang petani.

Mengapa SMK Pariwisata, agar memilih sekolah dan jurusan tidak boleh ikut arus. Sebagaimana di Flores, NTT umumnya, perawat dan guru adalah primadona. Dua jurusan ini sangat diminati. Meski, nampaknya para lulusannya sudah tak tertampung lapangan kerja. Pertumbuhan jumlah sarjana pendidikan tidak sekencang pertumbuhan sekolah. Bahkan beberapa SD di kampung saya terancam tutup. Sebab murid kurang. Para pasangan muda tidak lagi ‘berproduksi’ banyak anak. Motto, “banyak anak, banyak rezeki” bukan untuk zaman ini. Biaya hidup mahal. Pendidikan mahal. Sakit dan mati pun mahal. Mungki alasan ini, banyak orang enggan beranak banyak. Hal yang sama, pertumbuhan jumlah lulusan perawat sangat cepat, tidak diimbangi pembangunan rumah sakit baru. Tidak heran, banyak perawat mengabdi secara suka rela.

Kenyataan akan berbicara di lapangan, seorang sarjana pendidikan bekerja di pom bensin. Lulusan D3 Keperawatan harus berkarier di lembaga keuangan. Tamatan filsafat terpaksa mengabdi sebagai tukang tagih. Gelar akademik sudah tidak menjamin sesuai dengan bidang kerjanya. Siapa yang pantas disalahkan? Walau kita masih punya iman, hidup dan rezeki sudah ada yang mengatur. Burung-burung pipit yang tidak menabur, pun menuai.

Saya termasuk orang yang bersalah. Saya terlalu berani menyarankan bahwa SMK lebih mantap ketimbang sekolah menengah umum biasa. SMK lebih siap kerja daripada sekolah menengah biasa. SMK lebih mudah memperoleh pekerjaan. Toh, dapat pekerjaan, kaya dan sukses bukan jaminan kau harus dari SMK.

Problem besar berada di depan mata, pengangguran terdidik meningkat. Dalam otak saya, dan kebanyakan kita, bersekolah untuk hanya untuk mendapatkan pekerjaan. Memilih jurusan guru, perawat untuk peluang pekerjaan yang lebih banyak. Mungkin juga peluang CPNS lebih terbuka lebar. Kita terlalu lama terjerumus dalam jebakan penjualan yang diberikan institusi sosial bernama sekolah. Kita didoktrin sekian lama, “Kau harus menamatkan sekolah”, “Kau harus punya gelar sarjana” dan “Kalau tidak tamat sekolah, kau tidak akan mendapat pekerjaan”. Termasuk saya yang terlalu kuatir, Angel punya peluang kecil untuk mendapat pekerjaan jika tidak dari SMK.

Saya seolah lupa, Thomas Alva Edison tak pernah menamatkan sekolah, tapi malah menjadi penemu dan pengusaha. Albert Einstein dicap guru-gurunya sejak SD sampai kuliah sebagai anak malas, tapi menjadi ilmuwan paling berpengaruh sepanjang sejarah. Steve Jobs (pendiri Apple), Bill Gates (pendiri Mikrosoft) dan Mark Zuckerberg (pendiri Facebook) tidak pernah menamatkan sekolah.

Saya tidak sedang mengatakan sebaiknya kita tidak bersekolah. Sekolah seharusnya ditutup. Bukan. Pendidikan sangat penting. Hanya menjadi pertanyaan, bukankah tujuan kita bersekolah untuk mendapatkan pekerjaan yang bagus, dan dengan demikian kita mendapatkan uang? Dengan uang kita dikenal sukses, dan menjadi orang kaya, begitukah tujuan kita bersekolah?.

Bukankah sebaiknya uang untuk biaya sekolah itu untuk modal usaha? Kita membuang biaya banyak untuk mengkuliahkan anak, tapi akhirnya anak tidak mendapatkan pekerjaan yang bagus, bukankah ini kesia-siaan. Bahkan kita rela berutang demi anak menyabet gelar sarjana, lalu ujungnya, orangtua hanya bisa puas melihat foto sang anak memakai toga, terpampang di ruang tamu kita. Waktu empat tahun terbuang percuma hanya untuk semarak sesaat acara wisuda, mendengar paduan suara menyanyikan lagu Gaudeamus, dan setelahnya foto-foto bersama.

Ah, inikah pendidikan kita, ketika sekolah adalah tentang “berapa banyak uang yang bisa diraup Yayasan, ketimbang murni mecerdaskan dan melayani anak bangsa. Ketika sekolah adalah tentang mendapatkan pekerjaan, bukan menciptakan pekerjaan. Ketika sekolah adalah soal jaminan kerja (tergantung pada BPJS) bukan kebebasan keuangan (Robert Kiyosaki, 2015).

Akhirnya, “ketika aku berumur lima tahun, ibuku selalu berkata kepadaku, bahwa kebahagiaan adalah kunci kehidupan. Ketika aku bersekolah, mereka bertanya kepadaku, ingin jadi apa aku saat dewasa nanti. Aku menulis, ‘bahagia’. Mereka berkata kepadaku, aku tidak memahami tugas yang diberikan. Dan aku berkata kepada mereka, mereka tidak memahami kehidupan.” (John Lenon). Sebab semestinya, we do not go to school for jobs, but for life.

Catatan: 

Tulisan ini hanya sebagai gugatan sekaligus permenungan bagi sekolah dan pendidikan kita.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun