Mohon tunggu...
Roman Rendusara
Roman Rendusara Mohon Tunggu... Petani - Memaknai yang Tercecer

Roman Rendusara adalah nama pena. Tinggal di Kepi, Desa Rapowawo, Kec. Nangapanda, Ende Flores NTT. Mengenyam pendidikan dasar di SDK Kekandere 2 (1995). SMP-SMA di Seminari St. Yoh. Berchmans, Mataloko, Ngada (2001). Pernah menghidu aroma filsafat di STF Driyarkara Jakarta (2005). Lalu meneguk ilmu ekonomi di Universitas Krisnadwipayana-Jakarta (2010), mengecap pendidikan profesi guru pada Universitas Kristen Indonesia (2011). Meraih Magister Akuntansi pada Universitas Widyatama-Bandung (2023). Pernah meraih Juara II Lomba National Blog Competition oleh Kemendikristek RI 2020. Kanal pribadi: floreside.wordpress.com.

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Pemerintah Mencekik Koperasi dengan Pajak

7 April 2016   11:31 Diperbarui: 12 Juli 2016   17:16 72
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption caption="kopdit"]
KOPERASI, sebagaimana didefenisikan dalam UU No 25 Tahun 1992 Pasal 1 (1), “Koperasi adalah badan usaha yang beranggotakan orang-seorang atau badan hukum Koperasi dengan melandaskan kegiatannya berdasarkan prinsip Koperasi sekaligus sebagai gerakan ekonomi rakyat yang berdasar atas asas kekeluargaan.” Dengan makna lain, koperasi adalah keringat dan airmata masyarakat kelas ekonomi menengah ke bawah (dan ke paling bawah) yang secara sukarela membangun kekuatan ekonomi keluarganya atas dasar solidaritas dan kemandirian.

Sejak saya masih kecil, di desa dengan masyarakat umumnya petani ladang dan berkebun, sebuah koperasi simpan pinjam sudah berdiri. Simpanan pokok waktu itu sebesar Rp1.000. Simpanan wajib setiap bulan Rp500 per anggota. Simpanan Sukarela anggota ditabung secara bervariasi sesuai kemampuan masing-masing anggota, ada yang menabung Rp50 sebulan, hingga ada yang menabung Rp5.000 sebulan. Nilai paling besar ini, bisa ditebak profesinya. Pasti seorang guru SD. Otomatis, pertumbuhan modal dan aset melambat bukan main. Pertumbuhan anggota pun mandek lantaran menabung masih menjadi pilihan sulit.

Kini, koperasi itu sudah beraset milyaran. Simpanan pokok anggota naik menjadi Rp100.000, simpanan wajibnya Rp10.000. Simpanan sukarela paling minimal Rp5.000. Pertumbuhan modal bergerak naik. Perlahan anggota bertambah. Sebab mereka sudah merasakan manfaat kekuatan membangun ekonomi berbasis solidaritas dan keswadayaan ini. Termasuk, saya dan generasi – generasi setelah saya bisa kuliah buah dari koperasi itu.

Seiring perjalanan waktu, rentang 30-an tahun merupakan catatan perjuangan, keringat dan airmata semua anggotanya untuk menyisihkan dari saku pribadinya recehan demi recehan. Atas nama saling percaya dan semangat solidaritas, kekuatan ekonomi itu mulai tampak. Aset bertengger angka milyaran. Pendapatan bertumbuh subur. Kendala ekonomi anggota teratasi dengan sungguh. Pelayanan pinjaman optimal, bunga pinjaman sangat 'ramah dompet' anggota. Plus, mendapatkan SHU akhir tahun dan bunga simpanan non saham lainnya. Anggota puas pelayanan sudah berbasis komputerisasi, cepat, didukung aplikasi online, cetak buku seperti lembaga keuangan lain, serta sudah memiliki kantor dua lantai nan megah.

Inilah representasi perjuangan, keringat dan airmata anggotanya. Tidak ada aset milyaran tanpa recehan-recehan Rp50 hingga Rp100 perak. Kesuksesan bukan jatuh dari langit. Ia butuh proses yang panjang, seperti titik – titik air melubangkan batu karang bukan dengan kekuatan, melainkan jatuh setetes demi setetes. Pepatah Latin bilan, 'guta cavat lapidem non vi sed saepe cadendo'.

Atas keberhasilan itu, mengagung-agungkannya sebagai gerakan ekonomi keluarga berbasis kekeluargaan ternyata hanya tipu muslihat. Negara justru menjadikannya mangsa empuk plus nikmat. Atas nama ‘turut serta membangun bangsa’, tak segan-segan negara mengeruk dan melumpuhkan kekuatan ekonomi masyarakat ekonomi kelas bawah ini. UU dan berbagai peraturan perpajakan ibarat rantai besi yang siap melilit koperasi. 

Sebagaimana diatur dalam ketentuan perpajakan, koperasi termasuk Wajib Pajak Badan. Hal ini mengacu pada penjelasan Pasal 2 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 yang diubah dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan, yaitui: “Badan adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah dengan nama dan bentuk apa pun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya, lembaga, dan bentuk badan lainnya termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha tetap.”

Atas amanah UU di atas, sebagai badan usaha, koperasi berkewajiban membayar pajak. Koperasi tidak alergi untuk turut berkontribusi mengembungkan kas negara, tanpa peduli konglomerat manapun yang tidak 'digigit' pajak. Namun kontribusi terhadap pembangunan nasional oleh koperasi mesti sewajarnya, harus memperhatikan segi pertambahan nilai yang konkret. Bukan menindasnya dengan pajak di atas pajak.

Hemat saya, ada tiga perangkat hukum perpajakan kita yang sangat mencekik leher koperasi dan anggotanya, seperti; Pertama, PMK No 111 tahun 2010 tentang pajak penghasilan atas deviden yang diterima sebesar 10% (final). Kedua, PMK No 112 tahun 2010 tentang pajak penghasilan atas bunga simpanan yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggota sebesar 0% di bawah Rp240.000 dan 10% di atas Rp240.000 per bulan. Juga ketiga, PP No 46 tahun 2013 tentang pajak penghasilan dari peredaran bruto sebesar 1% dari peredaran bruto di atas 4,8 milyar setahun.

Sekiranya, jika pemerintah bijak dan punya nurani untuk membangun koperasi sebagai kekuatan ekonomi kelas bawah, ketiga pijakan hukum di atas HARUS DICABUT. Sambil pemerintah bersama DPR membenahi hampir seluruh pasal dalam UU No 36 tahun 2008, yang dinilai mematikan koperasi secara sistematis dan masif. Produk hukum itu sangat mencekik koperasi. Peredaran bruto dipalak, SHU dipajak hingga bunga simpanan anggota 'disunat'. Belum lagi ketentuan-ketentuan lain yang tidak bisa dihindar koperasi dari pajak. Andai tidak dicabut, cepat atau lambat, membuat koperasi ‘kejang-kejang’ kehabisan napas, dan anggota turut meriang setengah mampus.

Akhirnya, semoga pemerintah masih punya niat baik membangun koperasi sebagai sokoguru ekonomi rakyat. Tanpa terlalu berharap banyak, di tangan Presiden Joko Widodo kini, koperasi bisa bernapas legah dari cekikan pajak sebagaimana yang pernah terjadi di tahun 1993 (koperasi bebas pajak).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun