“Maaf, Mas, pencungkil gigi ga dijual di sini”, katanya masih bingung.
Serentak seperti paduan suara, tawa kami meledak. Seorang teman terkekeh-kekeh, sambil memegang perut. Satu lagi teman, ia hampir saja terguling-guling di lantai kotor warung itu.
“Mbak, maksudnya tusuk gigi”, kata Rongki, di antara kami yang lebih dewasa. Wajah Gaby berubah seperti tomat masak. Sambil tertawa kecil, kami meninggalkan warung makan itu setelah menyodorkan beberapa lembar uang. Jemputan pun datang.
Akhir cerita, setelah setahun di Jakarta, Gaby tergolong gagal mengadu nasib. Ia lalu hijrah ke kota Yogyakarta, belajar hukum di kampus Unika Atmajaya. Lalu kembali ke kampung halaman, Lembata (NTT). Kuat berhembus kabar, ia pernah mencoba menjadi calon DPRD Lembata pada pileg 2014 kemarin, sayang niat luhur menjadi jembatan “voice of the voiceless” ini belum terwujud. Dan hanya dengan tulisan ini, saya rindu teman saya ini. Sembari tak lupa mendoakannya dari kota Ende. Teman, selamat mencoba lagi di tahun 2019. Semoga sukses.
==========================
Cerita ini berdasarkan fakta, hanya nama disamarkan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H