MENGENANG kembali, siang di terminal Pulo Gadung sangat panas. Kami bersepuluh, untuk pertama kalinya memijakkan kaki di ibukota. Wajah-wajah letih yang meranggas, setelah lima hari empat malam menempuh perjalanan darat Labuan Bajo (Flores) menuju Jakarta. Saya lupa berapa kali kami harus turun dari bis, menumpang kapal feri penyebarangan pulau. Perjalanan dimulai dari Labuan Bajo, menyeberangi Laut Flores, dan delapan jam menerjang ombak ganas Selat Sape, dan tiba di pelabuhan Sape.
Selanjutnya kami bersepuluh menumpang bus semirip Metromini, dari pelabuhan Sape menuju terminal Bima (NTB). Perjalanan memangkas tempo dua jam. Tanpa perlu mencari, bus AKAP menuju Jakarta sudah menunggu kami. Hari sudah malam, bus panjang itu membawa kami, dari Bima, melewati Dompu, Sumbawa hingga ujung barat Pulau Sumbawa, Pelabuhan Pototano. Jarak memakan waktu tiga jam. Bus AKAP kembali masuk feri penyeberangan. Setiap penyeberangan adalah waktu yang tepat untuk sopir dan para penumbang melonggarkan sendi-sendi kaki akibat duduk terlalu lama. Cukup lancar kapal feri tersedia.
Tidak menunggu lama, kami menyeberang ke Pulau Lombok, bersandar dengan aman di pelabuhan paling timur di pelabuhan Kayangan. Istrahat sedikit lalu makan. Senja kian merapat, bus segera membawa kami membelah pulau Lombok, menembus Mataram, ibukota NTB lalu menuju Lembar, sisi barat Lombok. Perjalanan meghabiskan empat jam lebih.
Tengah malam itu tidak dingin, kami segera turun dari bus. Setelah menunggu sekitar setengah jam feri bersandar dan membongkar muatan bus-bus AKAP dari Bali, kami kembali menyeberang. Pulau Bali masih terlalu jauh. Kata kru bus, menelan waktu empat jam. Tidak jauh lewat empat jam, subuh menjemput kami di pelabuhan Padang Bai, timur Pulau Dewata itu.
Setelah semua penumpang turun, bus turun kemudian. Tidak menunggu lama, bus mengangkut kami, melintas daratan Bali pagi hingga sore, singgah sebentar terminal Ubung kota Denpasar, hingga tiba pelabuhan paling barat, Gilimanuk. Feri penyeberangan sangat lancar.
Hanya butuh beberapa menit, kami beristirahat dan makan malam di sebuah tempat istirahat. Kembali berbondong-bondong masuk ke feri. Cukup tiga puluh menit, pelabuhan Ketapang bersua. Di sini kami pertama kali menginjak tanah Jawa, persis di ujung Bayuwangi.
Hampir dua hari lebih kami termengong-mengong dalam bus AKAP itu, melintas bilangan pantura Jawa, melintas dua propinsi, Jawa Timur tembus Jawa Tengah. Saya pun pertama kali merasakan gerahnya kota Surabaya, Semarang cukup sepi, sebab kami tiba tengah malam. Bus melaju pelan, hampir tiga kali berhenti untuk mengecek, tidak tahu apa yang rusak. Hingga siang hari berikutnya kami tiba dengan sentosa di Jakarta.
Di akhir Juli 2003, lebih kurang 13 tahun yang lalu, kami bersepuluh terseok-seok menjinjing barang-barang bawaan masing-masing. Kuat menyengat tercium bau pesing di terminal Pulo Gadung. Lelah menahan lapar dan dahaga sebab belum sempat makan siang. Sambil menunggu dijemput, kami bergegas menuju sebuah warung makan. Langsung penuh sesak warung itu, sebab kami bersepuluh masuk dengan membawa barang-barang bawaan kami sekaligus. Hal ini kami terpaksa lakukan, demi keamanan. Cerita senior-senior yang sudah lebih dulu, Jakarta sangat rawan copet, curi dan kejahatan lain. Kami jadinya ekstra hati-hati. Sedia payung sebelum hujan, mencegah lebih baik dari mengobati, kata orang bijak.
Setelah menghabiskan semua makanan yang dipesan dengan sangat lahap, hampir tidak ada sisa sebutir pun di atas piring, Gaby-seorang teman asli Lembata, berrambut sangat keriting hingga kutu pun tidak berani masuk takut tersesat, tampil berani sangat percaya diri, dengan logat Betawi.
“Mbak, gue minta pencungkil gigi?”
Hah, pemilik warung terkaget-kaget. Kebingungan. Menahan tawa. Ia senyum-senyum kol bungkus. Kami yang lain ikut senyum-senyum. Tidak enak tertawa. Takut Gaby malu. Dua menit cukup gesit, Mbak pemilik warung kembali masuk, tidak membawa apa-apa.
“Maaf, Mas, pencungkil gigi ga dijual di sini”, katanya masih bingung.
Serentak seperti paduan suara, tawa kami meledak. Seorang teman terkekeh-kekeh, sambil memegang perut. Satu lagi teman, ia hampir saja terguling-guling di lantai kotor warung itu.
“Mbak, maksudnya tusuk gigi”, kata Rongki, di antara kami yang lebih dewasa. Wajah Gaby berubah seperti tomat masak. Sambil tertawa kecil, kami meninggalkan warung makan itu setelah menyodorkan beberapa lembar uang. Jemputan pun datang.
Akhir cerita, setelah setahun di Jakarta, Gaby tergolong gagal mengadu nasib. Ia lalu hijrah ke kota Yogyakarta, belajar hukum di kampus Unika Atmajaya. Lalu kembali ke kampung halaman, Lembata (NTT). Kuat berhembus kabar, ia pernah mencoba menjadi calon DPRD Lembata pada pileg 2014 kemarin, sayang niat luhur menjadi jembatan “voice of the voiceless” ini belum terwujud. Dan hanya dengan tulisan ini, saya rindu teman saya ini. Sembari tak lupa mendoakannya dari kota Ende. Teman, selamat mencoba lagi di tahun 2019. Semoga sukses.
==========================
Cerita ini berdasarkan fakta, hanya nama disamarkan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H