Mohon tunggu...
Roman Rendusara
Roman Rendusara Mohon Tunggu... Petani - Memaknai yang Tercecer

Seorang anak kampung, lahir dan bertumbuh di Rajawawo, Ende. Pernah dididik di SMP-SMA St Yoh Berchmans, Mataloko (NTT). Belajar filsafat di Driyarkara tapi diwisuda sebagai sarjana ekonomi di Universitas Krisnadwipayana, Jakarta. Terakhir, Magister Akuntansi pada Pascasarjana Universitas Widyatama Bandung. Menulis untuk sekerdar mengumpulkan kisah yang tercecer. Blog lain: floreside.wordpress.com.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Mari Memuja ISIS bak Istri

30 November 2015   09:06 Diperbarui: 30 November 2015   13:05 138
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

PAGI itu, sambil menyeruput satu hingga dua kopi panas di ruang lobi sebuah hotel di kota Bajawa, saya memirsa berita teraktual, tentang teror Paris. Akibatnya 129 anak manusia merenggang nyawa. Nurani saya bergumam kuat, sungguh kejam! Terjadi penembakan massal, tiga bom bunuh diri dengan lokus berbeda dalam waktu hampir bersamaan sungguh melukai kemanusiaan manusia sebagai pribadi yang beradab. Tragedi 13 Nopember 2015 di Paris ini kemudian mengundang simpati dan rasa kemanusiaan, mengalir dari segala ujung bumi.

“Ckckckck...kejam e”, saya begitu spontan menumpahkan isi hati. Tiba – tiba seorang tamu hotel yang sedari tadi ikut memirsa berita duka lara ini berceletuk, “ISIS tu tidak hanya Islam, tapi dari semua agama, ada Islam, Katolik, Kristen Protestan, Hindu, dan Budha”. Saya lalu terperangah. Tak tahu mau berkata apa. Bisa jadi, dia mungkin berpikir saya secara tidak langsung menuduh Islam.

Itu tidak mungkin. Saya tidak berpikir picik demikian. Sebab, saya tahu Islam itu agama yang Rahmatan Lil ‘Alamin – mengalirkan rahmat dan berkat bagi semua orang. Saya pun berusaha tidak mau menduga – duga apa agamanya. Bagi saya mencari tahu agama orang lain seperti menanyakan berapa ukuran BH dan celana dalam kepada seorang perempuan. Tidak pas. Tidak pantas. Hanya dari logatnya, saya menduga ia juga orang NTT, sama seperti saya, mungkin beda pulau.

Sudahlah, sejak dia berceletuk demikian, saya menjadi tidak enak hati. Saya memilih tetap memirsa pada layar berita stasiun TV berwarna dominan merah itu tanpa komentar. Celetuk pun tidak. Jangan sampai orang lain tersinggung, timbang saya. Bahkan sampai beralih ke berita lain. Hingga saya pamit untuk mandi dan bersiap-siap ke tempat tugas.

Kemudian beberapa hari terakhir ini beredar gambar wajah yang diberi keterangan sebagai anggota ISIS tapi mereka non Muslim. Ada yang Kristen dengan salib di dada, ada pula bertato khas Israel, zionis meski mereka berpakaian khas Timur Tengah. Herannya, wajah – wajah beringas ISIS itu turut disebarkan oleh teman sekaligus sahabat baik saya waktu kuliah.

Tentangnya, kami sama – sama menimba ilmu ekonomi hingga menyabet gelar sarjana ekonomi dari kampus bilangan Jakarta Timur. Ia Islam dan saya Katolik. Kami akrab. Dia bisa berbicara fasih bahasa Jepang. Saya hanya sedikit paham Inggris. Lalu kami saling ‘baku’ bagi. Dalam proses belajar, saya lebih mengandalkan baca banyak, tapi teman saya itu lebih pada pengalaman.

Di situ kami selalu saling mengisi. Maklum sambil kuliah dia sudah menjabat kepala produksi merangkap pemasaran di sebuah perusahan Jepang di Cikarang, sedang saya harus berbangga dengan jabatan Cleaner pada sebuah perusahaan air minum dalam kemasan. Nah, sekali lagi menjadi heran, dalam persoalan teror yang disangkut pautkan dengan ISIS ini teman saya menjadi sangat berpihak hanya pada salah satu agama. Dulu saya mengenalnya dengan teman yang sangat moderat plus toleran dalam memandang setiap perbedaan, termasuk ketika berkawan akrab dengan saya. Sampai kini kami masih bertegur sapa meski hanya lewat sms dan pesan facebook.

Hingga berita ‘asal berita’ (baca: belum dibuktikan lebih lanjut) tentang jenazah – jenazah boneka teror Paris yang berseliwerang di berbagai media online termasuk kompasiana, saya menjadi sangat berhati – hati dalam berkomentar dan pendapat. Namun panggilan kemanusiaan saya tidak bisa dibendung, alangkah baiknya, kepada teman nonton di salah satu hotel di Bajawa, Flores tadi, kepada sahabat baik saya semasa kuliah hingga kini dan kepada penulis berita hoax tentang jenazah – jenazah boneka dalam teror Paris, tidak melihat peristiswa demi peristiwa teror secara parsial, cenderung subyektif. Cukup kita melihat dalam kacamata kemanusiaan, bahwa siapa yang membunuh sesamanya yang tidak berdosa mesti dikutuk keras. Cukup kita berprihatin atas darah dan nyawa sesama manusia.

Dan saya pun tidak tahu dengan persis apa benar ISIS sama dengan oknum pengikut garis keras Islam, atau golongan radikalis Kristen Protestan, Katolik, Hindu, Budha, Konghucu, atau bahkan Ateis. Saya hanya tahu, Isis itu ‘aset’ (bah. Yunani). Ia dewi Mesir kuno. Meski penuh sihir, Isis itu sahabat para budak, kaum berdosa seperti saya dan kaum yang berbeban (jiwa) berat. Ia melindungi orang mati bahkan menjadi dewi bagi anak – anak. Dan saya mesti memuja Isis bak istri yang penuh cinta, kasih sayang dan pengorbanan. Termasuk, hal memaknai setiap perbedaan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara kini.

Ende, akhir Nopember 2015

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun