Mohon tunggu...
Roman Rendusara
Roman Rendusara Mohon Tunggu... Petani - Memaknai yang Tercecer

Roman Rendusara lahir dan tumbuh sebagai anak kampung di Rajawawo, Kec.Nangapanda, Ende-Flores, NTT. Kini, menetap di kampung sebagai seorang petani, sambil menganggit kisah-kisah yang tercecer. Kunjungi juga, floreside.wordpress.com.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Karena Kompasiana, Saya Melihat Flores dari Flores

15 Oktober 2015   10:03 Diperbarui: 15 Oktober 2015   19:09 331
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

SUATU ketika sepulang kuliah malam di kampus bilangan Jatiwaringin Jakarta Timur, seorang gadis cantik mendekati saya. Naluri lelaki siapa yang tidak ‘kebelet’. Berkenalan lalu mengobrol secara hangat ini cara saya membangun persahabatan. Meski di tengah perbincangan, sebuah pertanyaan membuat saya kaget, “Mas, Flores tu dekat Australia ya?”.

Tersentak dan tak percaya. Diam sejenak. Sebelum menjawab, saya balik bertanya, “Kenal Komodo? Tahu Danau Tiga Warna Kelimutu? Kenal Kampung adat Wae Rebho, Bena dan Belaraghe? Kenal Taman Laut Riung dengan 17 pulau yang indah dengan pasir putih dan ribuan kelelawarnya? Atau kenal Frans Seda, menteri tiga zaman itu? dan Jakob Nuwa Wea, mantan Menteri Tenaga Kerja era Megawati?

“Iya, iya, Mas Roman, gue pernah diceritain teman, tapi itu di Flores?” jawabnya masih bingung.

Dengan tenang saya kemudian perlahan menjelaskan. Flores itu masih amat jauh dari Australia, sebuah pulau di selatan Indonesia, termasuk wilayah Nusa Tenggara Timur (NTT). Jarak sekitar 1.700 km dari tempat kita duduk ini. Flores sangat terkenal dengan Komodo, Danau Tiga Warna Kelimutu yang semakin sering semaunya berganti warna. Kampung Tradisional Wae Rebho, Bena dan Belaraghe terdapat di Flores. Ada lagi, Taman Laut Riung dengan 17 pulau yang indah dengan pasir putih dan ribuan kelelawarnya. Dan dua orang yang saya sebut di atas berasal dari Flores.

Asal mula pemberian nama Flores dari seorang Portugis, bernama S.M Cabot. Ia membaptisnya dengan nama “Cabo de Flores”, yang berarti tanjung bunga. Nama ini menunjuk pada wilayah paling timur Flores. Sejak 1636 nama Flores dipakai secara resmi oleh Gubernur Jendral Hindia Belanda Hendrik Brouwer. Meski lewat sebuah studi yang cukup mendalam Orinbao (1969) nama asli Pulau Flores adalah Nusa Nipa yang berarti Pulau Ular.

Pertemuan kami pun dipisahkan oleh mikrolet telur asin yang sudah di depan mata. Dalam perjalanan, setumpuk kecewa berkecamuk. Rasanya sungguh tidak adil. Dulu, waktu kelas 6 SD kami sudah kenal dan tahu baik seantero wilayah Indonesia. Dari Sabang ke Marauke, dari pulau Miangas di Utara hingga Sabu Rote di ujung Selatan. Permainan kami adalah peta buta. Dibagi dalam grup, yang lain tutup mata, seorang menyebut sebuah pulau, kota, sungai, kemudian buka mata dan cari. Pemenang adalah orang pertama yang menemukan. Misalnya, di mana letak pulau We? Mata kami akan bergegas mengarah ke ujung barat NKRI. Kami hafal dengan ‘sungguh mati’ nama – nama sungai terbesar di Indonesia. Bahkan di bangku SD kami sudah tahu Ciliwing itu sungai terpanjang, hingga saya tiba di Jakarta referensi saya dilengkapi. Selain sungai terpanjang juga saluran WC terpanjang di dunia.

Sudahlah lupakan itu semua. Saya tidak perlu mempersalahkan siapa pun. Segera bulatkan tekad. Sejak bergabung dengan kompasiana 19 Mei 2011, satu visi menulis yang dibawa, menulis dari Flores, oleh Flores dan untuk dunia. Maknanya, saya orang Flores ini mesti menulis ke-Flores-an dari Flores, bukan tinggal di luar Flores, bukan orang lain yang memperkenalkan Flores, sebab saya yakin saya tahu soal Flores, meski hanya masih secuil. Toh dengan menulis pun saya semakin banyak belajar. Makanya, di awal atau akhir setiap tulisan selalu menyematkan ‘yang tercecer dari Flores’.

Saya yakin, lambat laun orang akan semakin mengenal Flores bukan hanya pesona alam. Flores dari semua sisi dan dimensi kehidupan itu yang sudah dilukiskan apa adanya. Termasuk, hitam putihnya.

Akhirnya, terima kasih banyak kompasiana. Sukses terus. Kiranya, spirit ke-Indonesia-an yang dihembuskan dari Flores seperti mencintai pancasila dan merawat toleransi tetap terjaga. Sebab, hanya melalui kompasiana, saya dapat menulis yang tercecer dari Flores untuk Indonesia dan dunia.

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun