Jalur selatan Flores yang menghubungkan kecamatan Aimere dengan kecamatan Jerebu’u, kab Ngada NTT terlalu jauh untuk ditempuh dalam waktu beberapa menit saja. Aspal – aspal jalan sudah berlobang dan terlepas. Di beberapa titik terlihat retak. Cukup membuat pinggang kita sakit atau longgar. Andai jalannya beraspal hotmix mungkin bisa ditempuh dalam waktu 30 menit dengan jarak 40-ankm itu.
Saya berhenti sejenak pada sebuah titik sekedar untuk melonggarkan pinggang, persis di Kampung Ruto - sekitar 10km dari kota kecamatan Aimere. Tiba – tiba sontak, saya kaget, pandangan mata saya tertuju pada sebuah batu dengan tulisan seperti di bawah ini.
[caption id="attachment_216187" align="alignnone" width="619" caption="Ketika Batu Bisa Maki (dokpribadi)"][/caption]
Setelah itu saya coba berpikir apa maksud dari tulisan makian seperti ini. Apakah larangan dengan tulisan sebagaimana biasanya tidak cukup untuk melumpuhkan niat jahat orang yang mau memotong kayu gamal? Atau, media komunikasi sosial yang hidup dalam bingkai kearifan lokal Ngada telah ”bereinkarnasi” dalam benda mati?
Sepositif apapun pesan yang mau disampaikan pemilik kebun kepada orang – orang yang mungkin mau “mengambil” kayu gamal, toh tulisan seperti ini jauh dari norma kesopanan umum. Mungkin maksud baik tapi cara yang tidak tepat dan sopan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H