Adapun sosok Wongge mau menampilkan orang yang sombong dan tidak mau bekerja sama. Ia selalu mau menang sendiri, menaruh dendam dan cemburu kepada orang lain. Sementara masyarakat Ende sangat menjunjung tinggi kebersamaan dan pluralitas, anti terhadap cemburu dan dendam. Sikap hidup yang demikian berlaku juga dalam urusan cinta. Seorang pemuda yang apabila pinangannya terhadap seorang gadis tidak diterima, maka ia harus rendah hati dan menerima dengan lapang dada. Ia tidak boleh benci dan dendam. Memakai istilah yang lebih keren, ia harus menjunjung tinggi sportivitas. Artinya menerima dengan rendah hati segala kekurangannya. Dengan menyadari kekurangannya, ia dapat merefleksikan dan mampu menemukan kebaikan. Di sinilah letak sportivitas cinta yang harus dimaknai bagi masyarakat Ende.Â
Pesan Moral
Aristoteles (384 – 322 SM), seorang filsuf Yunani kuno pernah mencetuskan istilah zoon politikon, bahwa manusia selalu ingin bergaul dan hidup bersama serta selalu berkumpul bersama. Manusia adalah makhluk yang bermasyarakat. Kehidupan bermasyarakat yang ideal menurut Aristoteles, adalah masyarakat yang peka dengan kebutuhan sesamanya. Masyarakat yang saling bekerja sama. Tidak saling iri hati dan cemburu.Â
Singkatnya kita mendambakan masyarakat yang harmonis. Potret masyarakat yang demikian pula yang menjadi dambaan masyarakat Ende. Legenda Gunung Meja, Gunung Wongge dan Iya di atas sekiranya mau memberikan pesan moral bagi masyarakat Ende khususnya. Masyarakat Ende mendambakan kehidupan yang harmonis dan saling bergandengan tangan satu sama lain.Â
Tidak cemburu dengan kelebihan (kekayaan) orang lain dan menerima kekurangan dengan rendah hati. Tidak memandang sesama sebagai saingan melainkan sebagai sahabat. Masyarakat Ende menerima perbedaan setiap orang dan menerapkan pluralitas sebagaimana manusia yang merupakan makhluk social. Dengan demikian terbentuklah masyarakat ideal yang harmonis dan saling menghargai. Inilah pesan moral yang mau disampaikan dalam legenda Gunung Meja.
Catatan Kritis
 Sebagaimana adanya sebuah legenda diciptakan untuk menyampaikan pesan tertentu kepada masyarakatnya. Biasanya pesan itu mengandung moral, etika dan etis-religius. Terlepas benar terjadi atau tidaknya, kisah gunung Meja, gunung Wongge dan gunung Iya memberikan pendidikan nilai tersendiri bagi putra – putri Ende.
Cerita itu selalu didongengkan oleh orang tua ketika kecil. Di bangku Sekolah Dasar pun selalu disampaikan sebagai contoh dongeng saat pelajaran Bahasa Indonesia.  Maksudnya jelas, agar generasi muda Ende mewujudkan tana watu – nua ola Ende sare - kampung halaman yang aman dan damai.Â
Terpaan gelombang globalisasi dan pengaruh iklim ilmu dan teknologi yang kian berkembang cepat memberikan dampak yang negatif bagi media penyampaian pesan moral bagi generasi kita. Pesan moral, etika dan etis-religius kehilangan tempat ketika kita berselanjar di dunia informasi. Sangat mudah kita memperoleh gambar dan video porno di internet ketimbang gambar mengandung pesan moral. Juga sangat mudah kita menemukan gambar orang saling membunuh dan berkelahi ketimbang gambar orang bergandengan tangan dan bekerja sama.Â
Di sisi lain, cerita dongeng dan legenda dipandang irrasional dan abstrak. Seorang anak lebih memilih menonton sinetron daripada mendengar cerita dongeng. Fenomena ini menjadi titik kesadaran baru bagi kita generasi muda, bahwa dongeng dan cerita legenda sangat penting. Bukan karena rasional atau tidaknya, melainkan karena dongeng adalah media penyampaian pesan moral yang masih sangat relevan dan sesuai dengan kearifan lokal masyarakat kita.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H