Mohon tunggu...
Roman Rendusara
Roman Rendusara Mohon Tunggu... Petani - Memaknai yang Tercecer

Seorang anak kampung, lahir dan bertumbuh di Rajawawo, Ende. Pernah dididik di SMP-SMA St Yoh Berchmans, Mataloko (NTT). Belajar filsafat di Driyarkara tapi diwisuda sebagai sarjana ekonomi di Universitas Krisnadwipayana, Jakarta. Terakhir, Magister Akuntansi pada Pascasarjana Universitas Widyatama Bandung. Menulis untuk sekerdar mengumpulkan kisah yang tercecer. Blog lain: floreside.wordpress.com.

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Kampung Rarajembu, Terpencil tapi Mengesankan

5 Maret 2014   03:24 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:14 260
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

SORE itu hujan baru saja berhenti. Tak lama berkumpul teman – teman OMK (Orang Muda Katolik) Paroki Santa Maria Bunda Karmel (MBK) Rajawawo. Beberapa sudah berkumpul sebelum hujan mengguyur. Tidak butuh waktu lama, dua buah mobil pick – up datang menjemput. Satu per satu nama disebutkan untuk mengecek kehadiran sesuai peserta yang terdaftar, sekaligus duduk ke mobil masing – masing berdasarkan pembagian. Sekitar 40 OMK sudah bersiap. Pastor Kapelan Rm John Soro, Pr memberkati kami dalam mobil pick – up, semoga perjalanan kami menyenangkan dan dilindungi oleh Yang Maha Penyelenggara.

[caption id="attachment_325862" align="aligncenter" width="400" caption="Mobil Pick - Up yang siap mengantar ke Rarajembu. (Dok Pribadi)"][/caption]

Jalan masih licin. Dua mobil pick – up merangkak perlahan, melewati aspal – aspal pecah. Kerikil – kerikilnya berserakan oleh air dari drainase yang tertutup tanah. Beberapa penggal jalan sudah semenisasi. Lebih banyak yang berlobang besar. Lumayan hingga kami tiba di perhentian pertama, pinggang hampir retak. Itulah kondisi riil jalan di kampung kami, dari Rajawawo menuju Nangapanda, ibukota kecamatan Nangapanda, Kabupaten Ende - Flores.

Sekitar empat puluh lima menit kami tiba juga di Pastoran Paroki Nangapanda. Paroki adalah istilah kewilayahan dalam Gereja Katolik yang terdiri dari beberapa stasi atau lingkungan, lingkungan terdiri dari beberapa KUB (Kelompok Umat Basis) dan KUB terdiri dari 10 – 20 KK. Stasi Emaus Rarajembu, tujuan kunjungan persahabatan kami, adalah bagian dari wilayah Paroki St Eduardus Nangapanda. Sepuluh tahun yang lalu, Paroki MBK Rajawawo adalah juga bagian dari stasi dari paroki ini. Hanya karena jangkuan terlalu jauh dan luas wilayah yang memungkinkan, maka terbentuk paroki sendiri, hasil pemekaran dari Paroki induk St Eduardus Nangapanda.

[caption id="attachment_325863" align="aligncenter" width="400" caption="Rehat sejenak di Pastoran Paroki St Eduardus Nangapanda (Dok.Pribadi)"]

13939382971032895313
13939382971032895313
[/caption]

Ini adalah kunjungan keluarga, ibarat seorang kakak menjenguk sang adik, kata seorang teman OMK Rajawawo ketika rehat sejenak di Pastoran Paroki Nangapanda. Kami disuguhi snack dan roti, lumayan buat menambah tenaga. Sebab Rarajembu masih jauh, sekitar 20km. Romo Son Remi, Pr mewakili pastor paroki menyampaikan selamat datang dan terima kasih atas kesediaan OMK Rajawawo berkunjung ke salah satu stasi di wilayah Paroki Nangapanda. Tak lupa ia menyampaikan selamat menyelami nilai – nilai kebersamaan dengan OMK Emaus Rarajembu sebagai sesama kaum muda Gereja.

Tak buang waktu, kami tergopoh – gopoh kembali naik mobil. Pick – up, mobil andalan pengangkut massa di Flores, siap mengantar kami ke tempat tujuan. Ia meluncur, menembus jalan beraspal mulus bak paha gadis. Dua kilometer menuju kampung Tai Jara cukup singkat, kampung ujung aspal, selepas itu jangan mimpi ada jalan beraspal mulus. Aspal itu kan mahal, kata ayahku yang tamatan SR. Dia tahu mungkin selalu dengar di RRI.

Justru mahalnya aspal membuat kami tidak berharap banyak. Jalan tanah saja sudah lumayan. Lumpur di kala hujan itu wajar, licin sehingga dua pick – up yang kami tumpangi nyaris tidak bisa mendaki tanjakan pertama. Akal berputar cepat. Tali selalu menjadi bekal setiap sopir pick – up, sedia payung sebelum hujan. Beruntung juga anak muda, tenaga muda dan semangat mudah. Pick – up ditarik dengan tali. Kami tidak mengeluh dengan kondisi jalan seperti ini. Satu...dua....tigaaaaaaa....tancap gas, tali ditarik. Pick – up menanjak pelan.

[caption id="attachment_325864" align="aligncenter" width="400" caption="Pick-up tidak bisa mendaki, terpaksa pake dorong (dok.pribadi)"]

1393938403858833621
1393938403858833621
[/caption]

[caption id="attachment_325865" align="aligncenter" width="400" caption="Sebagian menarik dengan tali (dok pribadi)"]

13939384871635534685
13939384871635534685
[/caption]

Napas ngos – ngosan, jantung memompa cepat. Tembus tanjakan pertama. Teman – teman sorak sejenak, walau sedikit cemas bisa sampai Rarajembu tidak ini mobil. Matahari sudah sore. Setelah membuka kembali tali, perjalanan dilanjutkan. Tanjakan demi tanjakan dilalui agak setengah mau mati, tidak licin. Meski tetap perlahan dan hati – hati. Jalan sempit hanya untuk ukuran satu mobil saja. Sebelah kanan jurang menganga seakan siap menerkam pick – up, apabila tergelincir. Sisi kiri tebing, terlihat beberapa batu menggantung, siap melongsor. Di bawahnya sungai mengalir deras, dengan warna airnya coklat lumpur. Menakutkan sekaligus memacu adrenalin.

[caption id="attachment_325866" align="aligncenter" width="400" caption="Sopir memutuskan kembali sebab jalan sangat licin (dok pribadi)"]

1393938571519792202
1393938571519792202
[/caption]

Lelah berlumuran di wajah. Keputusan harus diambil, sekitar seratus meter ruas jalan itu sangat licin. Tidak ada pilihan lain bagi sopir kecuali putar arah dan balik, pulang. Kami terpaksa harus turun, dan melanjutkan perjalanan ini dengan jalan kaki.

[caption id="attachment_325868" align="aligncenter" width="400" caption="Menyeberang Sungai dengan arus yang sangat deras (dok pribadi)"]

13939386711114861987
13939386711114861987
[/caption]

Ajaib, fisik kami sudah sangat lelah namun dalam raga masih memantik bara semangat. Tangan kanan menenteng sepatu untuk Misa dan sepatu untuk main bola, seperti pemain hebat saja. Tas pakaian menyilang di pundak. Begitu juga dengan teman – teman yang lain, memikul masing – masing barang bawaan. Teman saya, Don namanya, dengan licah dan tangkas lewat di antara lumpur, genangan air dan licin. Sambil memikul satu kardus air minum dalam kemasan. Ada lagi, Willy, dengan celana seksi, menyeberangi sungai, memikul satu dus air minum kemasan, mengundang tawa teman – teman wanita.

[caption id="attachment_325870" align="aligncenter" width="400" caption="Willy, dengan celana seksinya (dok pribadi)"]

13939388991171252088
13939388991171252088
[/caption]

Perjalanan menuju Rarajembu adalah lukisan terindah dalam kebersamaan kami anak – anak muda Rajawawo. Tujuh kali menyeberangi sungai yang sama silih berganti, sambil meneguk intisari perjuangan hidup yang tercecer dalam air keruh, penuh lumpur. Di antara sungai – sungai itu, kami melewati pohon – pohon kakao yang berbaris memberi senyum dan semangat kebanggaaan. Di cela – celanya berdiri kokoh pohon kelapa dan kemiri, menambah sejuk perjalanan ini. Secara umum, masyarakat Rarajembu berprofesi petani. Kakao, kemiri dan kopra adalah hasil tani mereka. Hasil – hasil ini pulalah mereka mampu mengongkos anak – anak mereka sampai ke jenjang sarjana. Ada juga kebun ladang, ditanam padi dan jagung hanya untuk makan sehari – hari.

[caption id="attachment_325872" align="aligncenter" width="400" caption="Penyambutan rombongan dengan tanda pengguntingan pita (dok pribadi)"]

13939389941941544653
13939389941941544653
[/caption]

Senja sudah tenggelam, menelan malam yang bersorak – sorak, diiring musik pop Ende, siap menyambut rombongan OMK Rajawawo dengan pengguntingan pita merah, simbol keberanian dan pejuangan tujuh kali menyeberangi sungai. Sudah sekitar pukul delapan malam kami tiba.

Tenda itu ditutupi terpal biru. Bangku – bangkunya adalah batang – batang bambu yang telentang ditopang tiang – tiang gamal. Saya terpaku tak percaya bisa sampai di tempat ini, duduk di kolong tenda ini, disaksikan ratusan warga Rarajembu yang menyambut kami, berkenalan dan berbincang akrab dengan kami, meski hanya diterangi lampu dari generator batuk – batuk. Menginjak kaki di Rarajembu adalah memasuki kantong wilayah yang terpencil, jauh dari hiruk pikuk kota. PLN masih belum menjamah mereka. Genset hanya menyala pada malam hari. Jika kehabisan bensin, maka gelap gulita meliputi jagat raya desa kecil Jemburea ini.

[caption id="attachment_325873" align="aligncenter" width="400" caption="Listrik dari Genset yang batuk - batuk (dok pribadi)"]

13939390652027198662
13939390652027198662
[/caption]

Di tempat yang sama ini, mereka merayakan ibadat sabda setiap hari minggu, atau merayakan misa kalau ada Pastor yang berkunjung. Kapela disatukan dengan kantor desa. Gereja belum ada. Makanya dalam satu mata kegiatan kunjungan ini adalah kerja bakti, mengambil batu dari sungai, dikumpulkan dekat tembok dasar yang sudah dipenuhi rumput, seolah terlalu lama menantikan siapa pun yang rela membangun rumah Tuhan ini.

Seberang tenda itu ada bangunan SD yang dibatasi sungai kecil namun arus airnya cukup deras ketika hujan. SD Tiwerea, namanya, sebab kekurangan murid maka memakai sistem “buka – tutup”, dua tahun sekali buka pendaftaran murid. Di sini generasi Rarajembu dididik menjadi manusia handal, tak pantang menyerah demi sebuah cita – cita. Sebagian besar sampai menggenggam ijazah sarjana, satu – dua orang kembali mengabdi di sekolah ini, menuntun adik – adik tuk mengikuti jejak mereka.

Itulah perjalanan ke Rarajembu yang terpencil namun mengesankan, merajut kekeluargaan lewat pertandingan persahabatan, melantun madah gembira dalam koor misa, membalut kerja sama dalam bakti, dan menetas akrab pada setiap sentakan irama ‘Gawi’. Dan setelah sehari semalam, perpisahan itu tiba. Getar hati ini tak tertahan ingin lebih lama merengkuh kebersamaan. Apa daya, kebersamaan terjalin tidak mesti duduk selalu bersama.

[caption id="attachment_325874" align="aligncenter" width="400" caption="Pertandingan Sepak Bola (dok pribadi)"]

13939391682123617391
13939391682123617391
[/caption]

Dan ketika suatu malam, teringat yang tercecer sana, parit – parit kata ini mengalir tuk kembali mengumpulkan spririt kehidupan sebelum terbawa banjir sungai Rarajembu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun