Mohon tunggu...
Roman Rendusara
Roman Rendusara Mohon Tunggu... Petani - Memaknai yang Tercecer

Roman Rendusara lahir dan tumbuh sebagai anak kampung di Rajawawo, Kec.Nangapanda, Ende-Flores, NTT. Kini, menetap di kampung sebagai seorang petani, sambil menganggit kisah-kisah yang tercecer. Kunjungi juga, floreside.wordpress.com.

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Ritual "Kero Jawa" di Paumere, Flores

15 Agustus 2014   18:44 Diperbarui: 21 Juli 2021   07:53 93
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Seorang warga sedang menyeberang Kali Guna menuju Paumere. Foto:Roman Rendusara

HUJAN mengguyur kota Ende hebat. Sejak pagi sampai menjelang sore tidak berhenti. Saya tidak mungkin membatalkan rencana matang perjalanan hari ini. Bagaimanapun pukul 15.00 WIT lewat sedikit, saya harus lekas angkat kaki. Biar jas hujan dan jaket kulit yang membalut agar saya tidak basah kuyup oleh cuaca tak bersahabat ini.

Orang Latin bilang, “nomen est oment” – sebagaimana nama begitulah gelagatnya. Pepatah ini bisa tepat disematkan ke sebuah stasi di wilayah Paroki St Eduardus Nangapanda ini. Stasi Gunung Sinai namanya. Bukan sekedar nama. Mungkin lantaran topografinya mirip Gunung Sinai di semenanjung Sinai, Mesir. Pau Mere terletak di desa Kerirea, Kec Nangapanda, Kab Ende – Flores, NTT.

Rintik – rintik hujan tidak pernah redah semenitpun. Sebelum masuk kampung Guna, terlihat dua orang ibu dan dua anak lelaki tanggung berjalan kaki. Seorang ibu menahan laju sepeda motorku. Ia mohon ikut menumpang. Tanpa berpikir panjang, saya berhenti. ia pun ikut menumpang. Dalam hati ingin memeluk gunung, apadaya tangan tak sampai – dalam hati ingin semua ikut menumpang, apadaya sepeda motor hanya bisa mengangkut dua orang. Tiga orang saja mungkin sudah memaksa. Apalagi medan jalan yang selalu menanjak.

Rupanya hari ini hari Senin, ada pasar mingguan di Nangapanda. Menurut ibu yang menumpang dengan saya itu, mereka adalah pengunjung terakhir yang meninggalkan pasar. Hujan lama berhenti menyebabkan mereka harus meneduh lama di sebuah rumah keluarga. Mereka pikir masih ada ojek yang siap mengantar mereka ke Paumere. Ternyata, semua tukang ojek menolak sebab hujan masih turun dan hari menjelang senja. Akhirnya mereka sepakat untuk berjalan kaki dengan setengah berlari.

Jalan menanjak berawal dengan menyeberangi sungai. Makhlum tidak ada jembatan. Sejak lama masyarakat Paumere merindukannya. Entah kapan, setiap calon pejabat daerah yang turun kampanye menjanjikan itu namun setelah terpilih tetaplah sebuah janji yang hanya manis di bibir. Entah mereka lupa. Sudahlah, itu urusan mereka.

Sungai ini ibarat pintu gerbang kampung Ndetu Feo. Celana panjang digulung ke atas, seperti mau kejar ayam. Lumayan belum banjir meski warna air agak kuning lumpur. Tidak terlalu dalam. Arusnya tidak begitu deras. Saya berani saja menyeberang dengan sepeda motor. Alhasil, aman terkendali. Mesin motor tidak mati sebab ini yang dicemaskan. Andai mesinnya mati di tengah sungai, sudah pasti saya harus bersusah payah mendorongnya dalam air. Sepertinya dewi fortuna masih berpihak saya dalam perjalanan ini. Hanya bisa menyampaikan syukur dalam hati ketika tiba di seberang.

Seorang warga sedang menyeberang Kali Guna menuju Paumere. Foto:Roman Rendusara
Seorang warga sedang menyeberang Kali Guna menuju Paumere. Foto:Roman Rendusara
Kampung Ndetu Feo sangat sunyi. Barisan pepohonan kakao yang mengapit di antara rumah satu dengan yang lainnya sumringah. Daun – daunnya menyapa sesekali mencubitku geli. Mungkin pemiliknya tidak sempat memangkas. Daun – daunnya mulai mencumbu pengguna jalan. Jalan rabat sepanjang dua puluh meter baru selesai dikerjakan. Saya membunyikan klason motor, isyarat memberi izin untuk lewat. Kepada siapa saja yang dengar. Tentu kepada seisi kampung Ndetu Feo. Begitu cara menyapa dan izin lewat pengguna sepeda motor di Flores. Teknologi transportasi tidak menyerta – mertakan pengabaian terhadap budaya dan tata krama.

Awal jalan menanjak selepas kampung Ndetu Feo. Angka satu menyala di dashboard. Jalan rabat dengan tebal sejengkal bertiarap sepanjang jalan. Menanjak, berkelok dan menikung tajam sering dijumpai. Beberapa ruas rabat terlihat mulai pecah terkikis hujan. Ada retak dan longsor kecil. Juga beberapa bagian yang belum sempat disemenisasi. Itu yang menyebabkan licin. Saya agak hati – hati. Salah – salah bisa terjun bebas di bawah jurang.

Hujan masih menyisahkan gerimis. Malam mulai remang. Delapan belas kilometer dari Nangapanda sudah ditaklukkan. Celana panjang dan jaket lembab. Kampung Pau Mere menyapaku dingin. Mesin generator berbatuk – batuk di pojok kampung. PLN memang belum masuk. Atas nama swadaya, masyarakat Pau Mere mengadakan generator sebagai pengganti PLN.  Cukup buat menghalau gelap atau sekedar menyalakan TV untuk memirsa berita hangat seputar Pilpres.

Setelah menarik nafas sejenak di sebuah rumah keluarga, saya mengganti pakaian. Dingin terus menusuk – nusuk sampai sumsum tulang belakang. Kopi hangat dihidangkan tuan rumah bersama kue “kembang goyang”. Masih hangat. Cukup untuk membasmi kulit yang menggigil. Obrolan – obrolan hangat penuh kekeluargaan menambah mesrah malam itu. Saking hangatnya, perasaan kecewa yang timbul tadi sirna. Sebab kedatangan saya untuk mengikuti prosesi adat Kero Jawa. Lantaran cuaca belum bersahabat, maka dibatalkan.

Saya tidak hilang akal. Esok harinya sebelum matahari menjilat tanah, saya bertandang ke rumah pemangku adat bersama seorang Saudara. Rupanya bapak Gerardus Kapa (60 tahun), pemegang adat "Kero Jawa", sudah siap menyambut kedatangan kami. Sajian minuman kopi menghangatkan pagi yang masih dingin menambah asyik obrolan budaya.

Kero Jawa, secara etimologis berasal dari dua kata bah Ende. Kata “Kero” artinya menggigit dan memakan sedangkan Kata “jawa” berarti jagung. Secara harafiah, “Kero Jawa” berarti makan jagung. Menurut Kapa, ada tiga makna yang terkandung dalam Nggua (ritual) Kero Jawa ini yakni sebagai ungkapan syukur atas hasil panen masyarakat Paumere, sebagai bentuk terima kasih kepada Dua Ngga’e (Wujud Tertinggi) dan terima kasih kepada “Embu Kajo”. Ungkapan “kema tu mbo’o kezi wi ae ne’e mera wi pawe” – kerja untuk makan kenyang (makmur) dan subur hingga hidup damai adalah harapan masyarakat Paumere setelah menjalani ritual (nggua) ini.

Gerardus Kapa bercerita, sebenarnya upacara Kero Jawa ini adalah kesimpulan dari keseluruhan rangkaian hidup bertani masyarakat Paumere selama satu tahun. Mulai dari menyiapkan lahan, menanam, sampai memanen. Sebagai contoh, sebelum membuka ladang, tuan kebun ‘berbisik’ kepada tanah yang akan dijadikan lahan, “Kema pa na wi tau nggua” – kerja di sini untuk ritual. Sebelum membakar lahan, “putu nu jengi ziza, sepo’i ma’e moi seape ma’e wezu” – memantik asap, membakar sampai menyala, sepetak jangan disimpan, sebidang jangan dilepas. Begitu pula mau menanam, “tendo tembu, wesa nuwa” – tanam sampai menumbuh, menyemai sampai berkembang. Hingga panen, “poto zo, renggi kezi” – hasil melimpah ruah.

Ritual Kero Jawa berlangsung sangat khidmat. Secara singkat dimulai dari sore menjelang malam tua adat mengambil sayur labu (zombo besi), jagung (jawa) dan ubi (uwi) di kebun serta pinang (eu) sekitar dua sisir. Dalam perjalanan ke kebun itu tuan adat tidak boleh berbicara atau menegur dengan siapa pun. Bila melanggar diyakini ritual ini tidak mendatangkan berkat bagi panenan setahun kemudian. Juga, pinang diambil dari atas pohonnya tidak boleh jatuh satu pun.

Ketika malam mulai gelap, api unggun dihidupkan di tengah kampung. Sebelum acara Kero Jawa dinyanyikan syair – syair pantun, seperti “zasu ata Bheza Rongga, zasu ata uzu Raze” – makian untuk suku Bheza Rongga dan suku – suku bagian Barat. Konon acara ini sebagai peluapan unek – unek (ketidakpuasan dan salah paham) selama hidup bertetangga dengan suku lain. Tidak ada dendam, hanya sebagai salah satu cara membersihkan diri dari prasangka buruk. Ritual dilanjutkan dengan makan jagung. Selama ritual ini dilarang kentut dan membuang air besar atau kecil. Selanjutnya dengan menari tandak (gawi naro) bersama). Semua penghuni kampung dan pengunjung tumpah ruah, bergandengan tangan dalam sentakan irama tandak. Kekerabatan, persatuan dan gotong royong dirangkai menjadi satu kekuatan penuh arti tuk membangun kampung (nua).

Tepat jam satu dini hari, acara ka uwi (makan ubi) berlangsung. Makan ubi tanpa garam dan lombok. Hanya dimasak oleh kaum laki – laki. Kaum perempuan dilarang. Acara ini dilanjutkan dengan ritual “kombi zema” (membersikan lidah). Lidah dibersihkan dengan bilah. Maknanya caci maki yang dilantunkan tadi. Hingga kini, kombi zema dipercaya bisa menyembuhkan orang yang sakit.

Demikian, rangkaian ritual Kero Jawadilanjutkan lagi dengan gawi, tarian adat Ende, sampai pagi menjelang matahari terbit. Upacara ini berlangsung tahunan. Biasanya diselenggarakan pada setiap Juni atau Juli dalam setahun.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun