Mohon tunggu...
Roman Rendusara
Roman Rendusara Mohon Tunggu... Petani - Memaknai yang Tercecer

Seorang anak kampung, lahir dan bertumbuh di Rajawawo, Ende. Pernah dididik di SMP-SMA St Yoh Berchmans, Mataloko (NTT). Belajar filsafat di Driyarkara tapi diwisuda sebagai sarjana ekonomi di Universitas Krisnadwipayana, Jakarta. Terakhir, Magister Akuntansi pada Pascasarjana Universitas Widyatama Bandung. Menulis untuk sekerdar mengumpulkan kisah yang tercecer. Blog lain: floreside.wordpress.com.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Jangan Vonis Orang dengan Kata “Bodoh” dan “Tolol”

23 September 2014   00:05 Diperbarui: 17 Juni 2015   23:54 273
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

SIANG tadi, seorang anak tetangga pulang dari sekolah sambil menangis. Ia membuka pintu rumah dengan kasar. Terdengar prakkk. Ia kesal. Ia kecewa. Di hadapan ibu yang sedang duduk di ruang tengah, anak kelas empat SD ini menangis sejadi – jadinya. Ia menangis sangat lama sebelum memberitahukan sebab – musebabnya.

Sambil menghentikan airmata, ia menarik napas seraya melihat ibunya.

“Mama, saya dibilang bodoh dan tolol oleh ibu guru,” sahut gadis kecil itu kesal. “Oooo..., kau menangis karna itu tadi,” kata sang bunda sambil memeluknya. “Hanya karna saya tidak tahu kerja matematika, bilang saya begitu.” “Kau anak mama yang rajin dan pintar. Sudah, nak. Makan dulu e?,” tutup sang ibu lembut.

***

Peristiwa siang tadi mengantar saya pada sebuah persimpangan jalan. Ada cambukan dilematis yang dahsyat dalam pikiran. Guru adalah pendidik mesti mengajar dengan santun. Sisi lain, anak murid dituntut tidak santai belajar. Mau tidak mau, saya mesti memilih guru tersebut masih keliru mendidik anak murid. Sebab kata – kata kasar seperti bodoh dan totol sebetulnya tidak ada dalam diri manusia.

Selama manusia masih menghuni kolong langit ini, hubungan kata sifat tidak ada yang kekal. Tidak ada hubungan abadi; tua versus muda, kaya versus miskin, pintar versus bodoh dan cerdas versus tolol. Ini tidak pas untuk disematkan kepada manusia sebab kata – kata itu hanya mau menerangkan ‘kesementaraan’ manusia di saat kini dan di sini. ‘Gelar – gelar’ itu masih bisa ditakar dalam beberapa aspek.

Ada empat aspek sebagai berikut. Pertama, tidak semua orang pintar (ahli) dalam semua bidang. Misalnya, seorang cerdas dalam bidang matematika belum tentu ia bisa menulis opini, cerpen dan atau puisi dengan bagus.

Kedua, tergantung situasi. Dalam sebuah tes CPNS secara online tahun lalu, seorang teman dinyatakan lulus, sedangkan teman – teman yang lain gugur. Padahal, mereka tahu baik, dalam menerima matakuliah di kampus Undana, Benya – teman yang lulus tadi, tidak terlalu mencolok soal prestasi. IPKnya pun merangkak ‘push-up’ alias tidak sampai 2,75. Ini yang membuat teman – temannya heran. Pengalaman ini mau mengatakan kelulusan itu soal situasi, dibilang karena nasib dan berkat mungkin terlalu transendental. Situasi menuntut kesiapan hati, pikiran dan energi untuk mengikuti tes CPNS. Berbeda dengan teman – temannya, malam masih begadang menyaksikan liga Inggris.

Ketiga, soal tempat. Seorang teman yang misionaris di Afrika Tengah bercerita, di sana dia dijuluki ‘jago’ komputer. Pada hal di Flores, dia hanya tahu Microsoft Word. Mengetiknya pun masih ala ‘sebelas jari’.

Keempat, hanya soal waktu saja orang dikatakan pintar, cerdas, tua, muda dan bijak. Bahkan soal kaya atau miskin, orang bilang, roda hidup ini berputar. Kita bisa pintar karena kita lebih dulu lahir. Kita lebih dulu membaca, belajar dan berpengalaman. Seorang anak murid baru 10 tahun belum tentu sama dengan guru dengar gelar sarjana. Beda usia umumnya beda kualitas diri.

Keempat aspek di atas, saya mau mengatakan bahwa tidak ada yang kekal dan abadi dalam sebuah kata sifat. Sekali lagi, tidak ada pintar yang kekal, tidak ada pula bodoh yang abadi. Semua hanyalah sebuah ‘kesementaraan’ saja. Jadi, tidak baik, kita memvonis orang bodoh dan tolol. Yang ada hanya belum pintar dan belum cerdas, sepintar dan secerdas kita.

Akhirnya, saya teringat ketika membaca Bukan Sembarang Pemimpin ditulis oleh Budi Abdipatra (2006:77). Begini, Beethoven pernah dikomentari guru musiknya demikian, “Sebagai seorang komponis, ia payah.” Ketika Thomas Alfa Edison masih kecil, guru – gurunya berkata bahwa ia begitu dungu, sehingga ia tidak pernah mampu belajar apa pun. Pada waktu F.W Woolworth berusia 21 tahun, ia bekerja di sebuah toko namun tidak diizinkan melayani pelanggan karena ia bodoh. Walt Disney pernah dipecat oleh seorang editor surat kabar karena dianggap tidak memiliki ide – ide bagus. Enrico Caruso seorang penyanyi tenor kelas dunia pernah diberitahu guru musiknya demikian, “kamu tidak bisa menyanyi. Suaramu sumbang.” Louisa MaeAlcott, pengarang Little Women diberitahu seorang editor bahwa ia tidak mampu menulis apa pun yang bisa menarik perhatian orang.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun