BARBAR, kaum barbar, atau barbarian dalam sudut sisi tertentu sudah bergeser arti. Dipahami kaum tak beradab dan tidak bermasyarakat. Mereka dikenal kejam, brutal dan suka berperang. Mereka tidak suka orang lain bahagia. Selalu “potong tidur” (baca: menghancurkan hidup orang lain) bahkan bila perlu mengacau – balaukan yang lain. Kalau dikenakan dengan istilah yang memediskan hati, kaum barbar atau barbarian itu tidak setingkat dengan manusia, kelasnya di bawah manusia umumnya dan agak lebih tinggi dari binatang. Label itu terlihat dalam pola pikir, tindakan dan turur kata yang cendrung menghancurkan orang lain.
Nah, tipe barbaristis seperti ini, di zaman yang sudah berkembang ini masih juga bercokol kuat dalam masyarakat Flores umumnya.
Ada tiga bukti, kaum barbar masih hidup di Flores, yang pertama, memotong pipa air. Sudah lebih dari dua bulan, di daerah kami sudah tidak mendapatkan air bersih. Diselidiki ternyata pipa sering dibocorkan oleh oknum kampung lain. Kampung itu persis berada di jalur pipa. Beberapa kali diganti, dibalut oleh petugas, namun tetap saja, karakter barbar selalu punya cara terlihai. Mereka seakan tak peduli dengan wilayah desa kami. Lebih penting untuk meminum ternak mereka, menyiram kebun sayur ketimbang untuk manusia lain minum dan mandi. Barbaristik nampak, tidak mau wilayah desa kami bahagia, tentram dengan air bersih. Tega biarkan badan saya bau amis sebab seminggu tidak mandi.
Yang kedua, coba perhatikan di jalan raya. Tingka barbaristik nampak saat mengendarai sepeda motor. Lari ‘ngebut – ngebutan’, tidak pikir dengan pengendara lain mau celaka atau tidak. Tabrak, orang lain mati persetan. Nyawa orang lain ditaruh di bawah telapak kaki ketimbang ‘makan puji’ orang (baca:ingin dipuji). Kalau ingin dipuji, itu bukan cara yang cerdas. Berapa pembalap motor di tingkat nasional orang Flores? Menghargai nyawa lain pengguna jalan raya lebih bijak daripada ingin dipuji sebagai ‘wah lari ko’. Termasuk dengan penggunaan lampu, ketika malam hari, kapan pakai lampu dekat dan lampu jauh. Kadang ingin mencelakakan orang, tancap lampu jauh, biar pengendara lain dari arah berlawanan silau, lalu lari naik batu atau gundukan, celaka dan mati.
Entah sengaja atau kebodohan, tapi ini barbaristik yang sadis. Tidak jarang virus ini sudah menjangkit pendatang, seperti sopir – sopir mobil pick up muatan ikan yang umumnya dari luar Flores. Dikenal dengan “mobil ikan”, larinya kencang. Mereka mendrop ikan es dari suatu wilayah ke wilayah lain, misalnya dari Maumere ke Ende, atau Labuan Bajo ke Ruteng. Larinya itu mobil seperti tempat tujuannya juga ikut lari menjauh, jadi mereka kejar sekuat gas, tanpa pikir nyawa sendiri dan orang lain.
Bukti yang ketiga, ini agak dibuat – buat, tidak untuk menghancurkan orang lain tapi paling sedikit untuk menegaskan, laku barbaristik itu ada di Flores. Coba perhatikan saat pesta ada berjoget – ria. Orang Ende masih baik, ada tarian gawi. Atau ada ja’i di Ngada. Ada irama dero kalau di Nagekeo. Manggarai umumnya dansa, meski agak jauh dari irama caci. Kalau di Maumere tidak jelas iramanya apa. Pokoknya, kalau buka lagunya Babo, goyang saja. Geser kiri – kanan, sedikit lompat kecil, meliuk – liuk bak ular, sambil telunjuk menunjuk – nunjuk ke atas atap tenda pesta. Nah, tingkah barbaristiknya dimana. Coba bandingkan dengan film – film tentang kaum barbar. Selesai berperang, membunuh dan menghancurkan hidup orang lain, mereka bersuka – ria. Menari. Melompat. Sambil jari menunjuk – nunjuk ke atas.
Akhirnya, selamat menjemput 2015, semoga barbaristik lenyap dalam kehidupan kita orang Flores.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H