Mohon tunggu...
M. Uqbal Kuroma
M. Uqbal Kuroma Mohon Tunggu... Mahasiswa - 23107030040 Mahasiswa UIN SUKA

Tertarik dengan dunia jurnalistik sejak SMP dan masih belajar hingga kini. Historical, Entertainment, Social, Nature etc.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud Pilihan

Pesona Mainan Tradisional Asal Jogja: Menjaga Warisan di Era Modern

18 Juni 2024   05:05 Diperbarui: 18 Juni 2024   05:24 122
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Mainan tradisional milik Bu Welas Asih Sumber: Dokumen Pribadi 

Yogyakarta, 26 Mei 2024 -Mainan tradisional yang mulai ditinggalkan di era modern saat ini tentu merupakan suatu hal yang sangat disayangkan. Mainan tradisional ini merupakan sebuah budaya hasil dari nenek moyang yang menerapkan akan betapa pentingnya menjaga keutuhan budaya yang harus tetap dilestarikan, ungkap Welas Asih.

Salah satu penjual mainan tradisional Ibu Welas Asih, telah berjualan sejak adanya wabah virus Corona yang melanda di Kota Jogja, yaitu sejak tahun 2020 dan Ibu Welas Asih tetap berjualan hingga kini di tahun 2024.

Mainan tradisional asal Jogja kembali mencuri perhatian. Penjualan mainan seperti gasing, egrang, dan wayang klitik mengalami peningkatan signifikan dalam beberapa bulan terakhir. Wisatawan yang datang ke Yogyakarta semakin tertarik untuk membawa pulang mainan-mainan tersebut sebagai oleh-oleh, sekaligus mengenang masa kecil mereka.

Menurut data Dinas Perindustrian dan Perdagangan Yogyakarta, penjualan mainan tradisional meningkat hingga 30% dibandingkan tahun lalu. Para pengrajin di desa-desa sekitar Yogyakarta pun merasakan dampak positif ini, dengan permintaan yang terus meningkat.

Penjualan mainan tradisional dan juga souvenir asal Jogja ini menjadi daya tarik tersendiri bagi wisatawan. Ibu Welas Asih sendiri merupakan salah satu penjual mainan tradisional dan juga souvenir, dirinya mendapatkanya denagn membeli pada pihak yang memperoduksi beberapa mainan atau souvenir tersebut kemudian menjualnya kembali di beberapa pusat wisata di Yogyakarta, salah satunya berada di Maliobro.

Welas Asih mengatakan bahwa motivasi atau keinginan dirinya untuk menjual mainan tardisional dikarenakan ingin mempertahankan mainan tardisional yang berasal dari tempat asalnya di Gunung Kidul, mainan tersebut bernama Etek-etek. Bahkan dari mainan yang dijajakannya, setiap jenis mainan ini memiliki asal daerah yang berbeda-beda, salah satunya etek-etek. 

Etek-etek merupakan mainan yang terbuat dari kayu bambu yang dibentuk menyerupai sendok kecil yang dikaitakan menggunakan tali ke tabung kecil yang bila diputar akan berbunyi seperti namanya, etek-etek. 

Beberapa mainan itu dijual dengan harga belasan ribu saja, seperti gasing yang hanya dijual dengan harga 15.000 rupiah saja, ada juga etek-etek yang tadi, dijual dengan harga antara 12.000 hingga 15.000 rupiah saja. 

Harga dari tiap mainan ini sangat bervariasi, tergantung dengan kesulitan dalam pembuatannya, bahan, kedetilannya, dan juga ukuran dari mainan tersebut.

Tempat penjual aksesoris Pasar Maliobor Sumber: Dokumen Pribadi
Tempat penjual aksesoris Pasar Maliobor Sumber: Dokumen Pribadi

Pemerintah daerah Yogyakarta juga memberikan dukungan penuh terhadap UMKM di Malioboro. Program pelatihan, akses permodalan, dan pemasaran menjadi beberapa bentuk dukungan yang diberikan. 

"Kami terus mendorong UMKM untuk berinovasi dan memanfaatkan teknologi agar bisa bersaing di era digital," kata Kepala Dinas Koperasi dan UMKM Yogyakarta.

Selain itu, kolaborasi antara UMKM dan komunitas lokal juga diperkuat melalui berbagai acara seperti festival budaya, pameran produk lokal, dan workshop kerajinan. "Melalui acara-acara ini, kami dapat memperkenalkan produk kami kepada wisatawan sekaligus meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya melestarikan budaya lokal," tambah Ibu Welas Asih, seorang penjual aksesoris di Malioboro.

Minat anak-anak pada mainan tradisional sendiri menurut Ibu Welas Asih sangat tergantung pada keramaian pengunjung yang satang pada hari dirinya berjaualan, dirinya mengungkapkan kebanyakan pengunjung mulai ramai datang ke Malioboro biasanya di hari-hari akhir pekan. 

Bu Welas Asih sendiri tidak hanya menjual mainan saja, namun juga menjual beragam aksesoris yang cantik seperti aksesoris gantungan kunci, patung ukir, dan masih banyak lagi. 

Kebanyakan para pembeli yang datang ke Malioboro dan membeli mainan tradisioanl merupakan orang pendatang atau wisatawan yang berasal dari luar Yogyakarta, ungkap Ibu Welas Asih. Dirinya juga membeli mainan dan souvenir tradisional tersebut tidak hanya dari satu tempat saja, melainkan dari banyak toko atau tempat lain yang menjual dagangan serupa.

Dari banyaknya mainan yang dijual, ada berbagai macam jenis mainan yang bahakan memiliki bentuk yang bervariasi, seperti halnya peluit yang mirip seperti mainan pistol bambu namun berukuran lebih kecil, adapun berbgai jenis miniatur yang dijual, seperti miatur mobil, becak, dan juga helikopter yang kesemuanya terbuat dari kayu.

Bu Welas Asih sendiri telah berjualan sejak mulai memasuki tahun 2018, dan melewati krisis dimana Malioboro mengalami penurunan pengunjung di tahun-tahun Corona. 

Pandemi COVID-19 yang melanda selama tahun 2020 memberikan dampak signifikan terhadap perekonomian di berbagai sektor, termasuk para penjual aksesoris mainan di kawasan Malioboro, Yogyakarta. Penurunan jumlah wisatawan dan pembatasan aktivitas sosial mengakibatkan penurunan drastis dalam penjualan.

Welas Asih, seorang penjual aksesoris mainan di Malioboro, menceritakan pengalamannya menghadapi masa sulit tersebut. "Saat pandemi, penjualan menurun hingga 70%. Biasanya kami mengandalkan wisatawan yang berkunjung ke Malioboro, tapi dengan adanya pembatasan perjalanan, kami kehilangan banyak pelanggan," ujarnya.

Namun, para penjual tidak menyerah begitu saja. Mereka berusaha mencari cara untuk bertahan di tengah krisis. Banyak yang mulai beralih ke penjualan online untuk menjangkau pelanggan di luar Yogyakarta. "Saya mulai menjual melalui media sosial dan platform e-commerce. Meskipun awalnya sulit, lama-kelamaan kami mulai mendapatkan pelanggan baru," tambah Welas Asih.

Untuk membantu para pedagang, pemerintah daerah dan komunitas setempat juga memberikan dukungan berupa pelatihan penggunaan teknologi digital dan pemasaran online. Inisiatif ini membantu para penjual memahami cara memanfaatkan internet untuk memasarkan produk mereka.

Selain itu, ada juga upaya kolaboratif antara penjual aksesoris mainan dengan pengrajin lokal untuk menciptakan produk-produk baru yang lebih menarik dan sesuai dengan tren saat ini. Misalnya, mereka mulai memproduksi aksesoris yang menggabungkan elemen tradisional dengan desain modern.

Meskipun pandemi memberikan tantangan besar, semangat dan kreativitas para penjual aksesoris mainan di Malioboro membuktikan bahwa dengan adaptasi dan inovasi, mereka bisa bangkit dan terus melestarikan budaya lokal Yogyakarta. 

"Pandemi mengajarkan kami untuk lebih fleksibel dan kreatif. Kami berharap kondisi akan semakin membaik dan wisatawan kembali datang ke Malioboro," harap Welas Asih.

Berbagai jenis dagangan milik Bu Welas Asih Sumber: Dokumen Pribadi
Berbagai jenis dagangan milik Bu Welas Asih Sumber: Dokumen Pribadi

Di tengah gempuran mainan modern dan digital, penjual mainan tradisional di Yogyakarta tetap optimis dan berusaha mempertahankan keberadaan mereka. Para penjual dan pengrajin mainan tradisional mengakui bahwa persaingan dengan mainan modern cukup berat, namun mereka melihat era modern sebagai peluang untuk memperkenalkan kembali mainan tradisional kepada generasi muda.

Pak Budi, seorang penjual mainan tradisional di Pasar Beringharjo, berbagi pandangannya. "Memang tantangan besar bersaing dengan mainan digital dan gadget. Namun, saya melihat minat terhadap mainan tradisional mulai tumbuh kembali, terutama dari para orang tua yang ingin mengenalkan permainan masa kecil mereka kepada anak-anak."

Penjual mainan tradisional kini beradaptasi dengan cara memanfaatkan media sosial dan platform e-commerce untuk memasarkan produk mereka. "Dengan adanya teknologi, kami bisa menjangkau pasar yang lebih luas. Banyak pelanggan dari luar kota dan bahkan luar negeri yang tertarik dengan mainan tradisional kami," tambah Pak Budi.

Selain itu, kolaborasi dengan komunitas pendidikan juga menjadi strategi penting. Sekolah-sekolah dan lembaga pendidikan mulai mengintegrasikan mainan tradisional dalam kurikulum mereka untuk mengenalkan budaya dan sejarah lokal kepada siswa. "Kami sering diajak kerjasama oleh sekolah untuk mengadakan workshop dan pameran mainan tradisional. Ini cara efektif untuk menjaga warisan budaya kita," kata Ibu Ratna, seorang pengrajin mainan tradisional di Bantul.

Pemerintah daerah Yogyakarta juga memberikan dukungan melalui berbagai program pelestarian budaya dan promosi pariwisata. Festival dan pameran mainan tradisional secara rutin digelar untuk meningkatkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya melestarikan warisan budaya.

"Meskipun era modern membawa banyak perubahan, kami yakin mainan tradisional masih punya tempat di hati masyarakat. Ini bukan hanya tentang menjual mainan, tapi juga menjaga identitas dan kebanggaan budaya kita," pungkas Pak Budi dengan penuh semangat.

Dengan semangat inovasi dan kolaborasi, penjual dan pengrajin mainan tradisional Yogyakarta terus berupaya mempertahankan dan memperkenalkan kembali kekayaan budaya mereka di era modern ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun