Pada 2023, FIFA mencabut status Indonesia sebagai tuan rumah Piala Dunia U-20, keputusan yang mengguncang dunia olahraga nasional. Pemicu utama adalah penolakan terhadap partisipasi tim nasional Israel, yang dipandang bertentangan dengan dukungan lama Indonesia terhadap perjuangan Palestina. Polemik ini memunculkan diskusi tentang hubungan kompleks antara olahraga, politik internasional, dan identitas agama.
Latar Belakang Penolakan
Penolakan terhadap kehadiran Israel dalam turnamen ini melibatkan banyak pihak, mulai dari masyarakat umum hingga tokoh politik. Di antara tokoh vokal, Gubernur Bali I Wayan Koster, dan Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo secara terbuka menyatakan penolakan mereka, dengan alasan menjaga komitmen terhadap solidaritas Palestina.
Pada saat yang sama, Presiden Joko Widodo berusaha meredakan situasi dengan menegaskan bahwa keterlibatan Israel tidak akan mengubah dukungan Indonesia terhadap Palestina. Namun, pernyataan ini tidak cukup untuk meredam desakan dari berbagai pihak, termasuk kelompok agama dan masyarakat sipil, yang tetap menuntut sikap tegas terhadap Israel.
Dampak Pencabutan Status Tuan Rumah
Keputusan FIFA membawa dampak luas di berbagai sektor. Dari sudut pandang ekonomi, Indonesia kehilangan potensi pendapatan besar, baik dari sektor pariwisata maupun promosi global. Kementerian Pariwisata memperkirakan kerugian mencapai Rp 1,7 triliun, yang mencakup pendapatan dari sektor pariwisata, hotel, transportasi, serta penjualan tiket yang tidak terwujud.Â
Selain itu, pencabutan status ini juga berdampak pada peluang Indonesia untuk memperkenalkan potensi olahraga dan infrastruktur olahraga ke dunia internasional
Di sisi lain, dari sudut pandang olahraga, pencabutan status ini merupakan pukulan berat bagi para pemain muda Indonesia. Tim nasional U-20 kehilangan kesempatan bermain di kompetisi internasional bergengsi di hadapan publik sendiri, yang menjadi momen penting bagi perkembangan karier mereka.
Persinggungan dengan Identitas Agama dan Radikalisasi
Penolakan partisipasi Israel juga mencerminkan bagaimana isu agama dapat membentuk opini publik dan keputusan politik. Dalam konteks ini, solidaritas terhadap Palestina, yang didukung oleh banyak kelompok Islam di Indonesia, menjadi faktor kunci. Namun, narasi ini juga membuka ruang bagi kelompok ekstrem untuk memanfaatkan isu tersebut sebagai alat mobilisasi.
Menurut laporan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), pada 2023-2024, terjadi peningkatan aktivitas kelompok radikal yang menggunakan isu-isu global, termasuk konflik Israel-Palestina, untuk merekrut anggota baru. Kelompok ini sering kali memanfaatkan sentimen agama untuk membangun dukungan dan memperkuat agenda mereka.
Laporan BNPT juga mencatat bahwa banyak anak muda, terutama di media sosial, yang terpapar oleh propaganda radikal yang menyasar perasaan solidaritas agama. Hal ini menjelaskan mengapa keputusan-keputusan terkait Israel bisa memicu eskalasi retorika ekstrem di kalangan sebagian segmen masyarakat.
Kontra-Radikalisasi sebagai Solusi
Pemerintah Indonesia telah mengambil langkah-langkah untuk menyeimbangkan situasi, terutama dengan mendorong moderasi beragama. Wakil Presiden Ma'ruf Amin menekankan pentingnya Islam Wasathiyah (moderat) sebagai landasan untuk mengatasi radikalisasi.Â
Hal ini dilakukan melalui program pendidikan toleransi dan kerja sama dengan ulama serta ormas Islam. Pemerintah juga aktif dalam mengedepankan nilai-nilai inklusivitas untuk menghindari polarisasi agama yang berlebihan.
Selain itu, melalui Perpres No. 7 Tahun 2021, pemerintah merancang Rencana Aksi Nasional Pencegahan Ekstremisme (RAN PE), yang mencakup pendekatan preventif berbasis masyarakat.Â
Strategi ini bertujuan untuk menciptakan narasi yang lebih inklusif dan menolak pandangan ekstrem, dengan mendorong penguatan nilai kebhinekaan dan persatuan dalam menghadapi perbedaan, terutama dalam konteks internasional yang sensitif seperti konflik Israel-Palestina.
Kesimpulan: Olahraga di Tengah Dinamika Global
Polemik Piala Dunia U-20 di Indonesia menjadi pelajaran penting tentang bagaimana olahraga dapat terpengaruh oleh politik dan agama. Keputusan ini memunculkan tantangan besar bagi pemerintah: bagaimana menjaga keseimbangan antara prinsip-prinsip keagamaan, identitas nasional, dan komitmen internasional.
Dengan memperkuat moderasi beragama dan memprioritaskan dialog, Indonesia memiliki peluang untuk memimpin dengan memberikan contoh tentang bagaimana perbedaan dapat dikelola dalam kerangka kebhinekaan. Di masa depan, harapannya adalah agar olahraga tetap menjadi ruang netral yang mempersatukan, alih-alih menjadi ajang konflik identitas.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI