Memang tidak perlu dan tidak harus dibubarkan, tetapi kejayaan dan keunggulan “stabilitas” dalam suatu kepemimpinan nasional merupakan modal utama. Sejalan dengan itu, beberapa pemikir GOLKAR (termasuk sang arsitek Akbar Tanjung ??), mendorong hadirnya kembali suatu kepemimpinan yang stabil dengan membidani kelahiran “Partai Demokrat”, dengan diawali tatanan politik multi partai untuk memenuhi sebagian tuntutan reformasi.
ERA Soesilo Bambang Yoedoyono (SBY)
Tidak bisa dipungkiri, lebih dari 80% (mutlak), kader-kader GOLKAR mendapat tempat yang baru diberbagai Partai Politik yang baru lahir untuk menyalurkan kemampuan dan pengalaman selama 3 dekade dalam kekuasaan pemerintahan Orde Baru. Tentunya dengan perbaikan dan penyempurnaan sana sini, dan belajar dari pengalaman selama ini, maka kehadiran Partai Demokrat menjadi pilihan utama karena dapat menampung aspirasi kaum nasionalis yang selama ini tidak mendapatkan tempat yang layak.
Kenyataan ini berhasil mendorong SBY menuju kursi RI–1, dan masa pemerintahan 5 tahun pertama merupakan periode yang menjadi pilihan sang Presiden SBY untuk mempertaruhkan semua kemampuan yang dimiliki dan dengan mempelajari pengalaman dan track record pemimpin nasional sebelumnya, serta latar belakang militer yang disandangnya maka pilihan “stabilitas” lagi-lagi menjadi pilihan unggulan untuk SBY dalam kepemimpinannya, sehingga terbuka kesempatan untuk periode 5 tahun berikutnya sejak 20 Oktober 2009.
Drama untuk mempertahankan “stabilitas” seakan terus menjadi pilihan utama karena telah teruji dari berbagai pengalaman pemimimpin Nasional selama ini. Banyak pihak menilai bahwa pemerintahan SBY tidak ada oposisi, dan menjadi mayoritas tunggal, sehingga nyaris tidak banyak kritik dan atau koreksi yang berarti dalam mengawal jalannya pemerintahan. Disatu sisi, banyak pihak yang tetap berpikir pragmatis bahwa dewasa ini bangsa Indonesia harus mengejar berbagai ketinggalan pembangunan di semua sektor. Dibawah payung stabilitas, SBY melakukan konsolidasi politik dengan melakukan perbaikan terutama pendekatan kepada lawan politik, harus berbeda dengan gaya dan cara-cara yang dilakukan Soeharto di jaman Orde Baru. Payung stabilitas yang diusung SBY dengan cara merangkul semua kalangan termasuk lawan politiknya sehingga relatif tidak ada oposisi.
ERA JOKOWI
Lebih dari setahun pemerintahan JOKOWI, sejak 20 Oktober 2014, kita menyaksikan drama terakhir dengan tampilnya Aburizal Bakrie (ARB) sebagai Ketua Umum GOLKAR, yang baru saja menggelar RAPIMNAS dengan dihadiri oleh wakil-wakil resmi pemerintahan JOKOWI, yaitu: Wapres Jusuf Kalla, Menkopolhukam RI Luhut B. Panjaitan, Mendagri RI Tjahjo Kumolo dan Menkumham RI Yasona Laoli, dengan menghasilkan "Deklarasi" mendukung pemerintahan "Jokowi - JK",
disertai pernyataan penting bahwa ARB tidak bersedia maju sebagai Kandidat Ketua Umum dalam agenda Munas Luar Biasa Partai Golkar yang akan dilaksankan dalam waktu dekat, bahkan memohon kepada Wapres (baca: Pemerintah) untuk "membujuk Agung Laksono" sang rival (hasil Munas Ancol), maka dengan sendirinya "PAYUNG STABILITAS" menjadi energi baru bagi pemerintahan JOKOWI - JK dalam melanjutkan pembangunan nasional, terutama skala prioritas bidang Infrastruktur, maritim (toll laut), dan yang tidak kalah penting adalah pembangunan Sumber Daya Manusia dalam menghadapi persaingan global, secara khusus berlangsungnta MEA diawal tahun 2016 ini.
Eksistensi koalisi saat PILPRES yaitu KMP dan KIH, seakan tidak akan pernah terdengar lagi dimasa mendatang, sehingga fokus sisa 4 tahun pemerintahan JOKOWI-JK, tentunya akan semakin terarah untuk kepentingan Bangsa dan Negara, dengan harapan bahwa Kedaulatan Ekonomi Nasional mendapat porsi yang dominan sesuai dengan cita-cita para pendiri NKRI, tanpa mengurangi pentingnya kemitraan dengan pihak asing karena tuntutan globalisasi. Sekalipun demikian, Partai GERINDRA dibawah komando Prabowo Subijanto sangat diharapkan tetap menjadi "oposisi" sebagai kontrol terhadap jalannya pemerintahan JOKOWI-JK.