Mohon tunggu...
Rolly Toreh
Rolly Toreh Mohon Tunggu... Penulis -

merenung di atas gunung, terkucil dalam pensil, bergerak seperti ombak

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Kicau Betis Muda yang Berakhir Tragis

8 September 2015   12:34 Diperbarui: 8 September 2015   12:53 40
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

by. rollytoreh

Awalnya enggan bersebelahan, sebab tanganmu terus mengurut bagian selangkangan. 

Aku tatap, muka mu jatuh ke lantai. Bergidik tahu mengapa ku pegang tangan. Dan kau menolak ku pegang.

Kemudian ku lekatkan bibir membingkai kuping kecilmu, hendak cerita mengapa harus ringkih pada cadas batu yang biasa di gagahi anak muda sampai larut malam? 

Kau pasrah, tak cakap menjawab.

Lama-lama bibir pucatmu komat kamit menggamit lancang, lahap mencarut kacang, tangan gatal melenggang, memilih cacian pada gerombolan pemuda yang tunggang langgang tinggal cawat melekat di malam pekat, karena aparat berhasil menjebak adegan paksa mencincang kehormatan.

"Kau tahu, teriak dan caci maki ini tak mungkin memangkas najis gerombolan. Aku tak percaya penjara mencetak sadar. Penjara itu cengeng dan kita dipaksa tercengang. Penjara itu rawan bagi perawan manusia yang mengerti kebenaran. Dan banyak orang tidak bersalah terdampar disana. Diseret dengan mata terbungkus, enaknya cuma mendengus, sementara penjahat berkeliaran, berdampingan, di samping singgasana kekuasaan, atau angkatan kejahatan. Derajat penjara tak sebanding habisnya perawan oleh derasnya nafsu gerombolan." Katanya.

Penjara terlalu murah pada wanita yang habis oleh desah.

Mendidih darah melebihi dosis tercurah dengan watak norma yang cedera.

Ejakulasi telah mengeksekusi kehormatan diri, dan dia tidak perlu menunggu fatwa bagaimana menghabisi gerombolan pemuda.

"Menghabisi mereka gampang:

Tak perlu garnisun atau batalyon. 

Tak perlu cairan arsenik atau sianida.

Tak perlu referendum, separatis atau anarkis.

Tak perlu senjata Heckler Koch dengan peluru otomatis.

Tak perlu pedang Gladius Julius Cesar atau Mandau dari Kalimantan.

Tak perlu. Tak repot. 

Caranya:

Aku berdoa saja. Mohon Gusti Allah kirim gerombolan malaikat pencabut nyawa yang bukan Xoloti dari Astec.

Valkyrie dari Ragnarok.

Mercury dari Romawi.

Charon, Hermes, Thanatos dari Yunani.

Anubis dari Mesir.

Grim Reaper modern.

Semoga lebih dahsyat dari Raphael, mungkin Gabriel, mungkin juga Mikael, atau Lucifer, atau Uriel, Samael, Zakiel, dan Raziel.

Pokoknya gerombolan penjahat harus mati di tangan gerombolan malaikat.

Sebab kehormatanku telah mereka buat cindera mata yang berantakan karena rangsangan di antara selangkangan. Norma mereka sudah koyak memandang aku muda. Dengan menggertak tinju pada pelipis, akhirnya tragis, iblis datang membius betis.

Oh Tuhan, pokoknya gerombolan penjahat harus mati di tangan gerombolan malaikat.

 

Tagulandang,

7/9/2015

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun