Euforia masyarakat begitu besar ketika memasuki bulan Desember. Di sana-sini masyarakat sibuk mempersiapkan banyak pernak-pernik Natal guna menghiasi rumah menjadi indah dan elok dipandang.
Tidak hanya itu, dentuman petasan, bisingnya jalanan karena banyak anak muda memodifikasi knalpot motor mereka dari biasa ke yang racing juga kerap disimbolkan sebagai Natal sudah di depan mata.
Perayaan Natal kini telah dijajah oleh spirit konsumerisme, kapitalis. Bagi yang bermodal, fasilitas Natal tersedia begitu rupa.
Melalui anggapan ini, mungkin para pembaca akan sedikit terusik dengan gambaran keberatan ini, tetapi bagi penulis perayaan Natal bukan soal euforia tetapi pada bagaimana Natal itu membekas dalam diri yang mendorong aksi nyata.
Euforia sifatnya sementara. Ia meletup tiba-tiba, lalu seketika kembali hening. Jangan sampai kemudian perayaan Natal juga sifatnya musiman saja.Â
Jelang Desember hingga akhir Desember gempita, lalu kemudian kembali redup.
Prasangka ini hidup dalam kebiasaan masyarakat.Â
Natal tidak lagi bicara soal kasih dan kepedulian yang paripurna, tetapi sekadar pengisi kalender hari raya gerejawi.
Jika demikian duduk masalahnya, maka bagaimana seharusnya kita merayakan Natal?Â
Sehari sebelum tulisan ini diterbitkan, Ketua Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia, Pdt. Jacky Manuputty menegaskan bahwa esensi perayaan Natal adalah kesederhanaan.
Konsep hidup sederhana atau dalam istilah teologisnya ugahari telah lama diperbincangkan.Â
Gereja dan para pemimpinnya banyak bersuara untuk jangan terjebak dalam spirit euforia tetapi hasilnya selalu nihil.
Ada apa dengan hasil yang nihil ini? Banyak dugaan bisa muncul. Jangan sampai seruan itu tidak dihiraukan oleh yang menyerukan.Â
Atau jangan sampai kecenderungan umat mengekspresikan Natal dengan cara mereka?
Penulis tidak mau terjebak dalam dugaan yang belum terbukti di atas. Penulis justru lebih tertarik pada dampak langsung dari merayakan Natal.
Semakin merayakan Natal, semakin pula kita insaf bahwa Natal itu adalah peristiwa kasih yang paripurna, yang sesungguhnya terimplementasi dalam spirit apa adanya.
Bayi itu lahir di tempat yang minim fasilitas mewah, jauh juga dari gempita. Dari ruang kelahiran yang sederhana itu, berita kesukaan kini tersiar atas seluruh negeri.
Cerita ini menyadarkan kita bahwa tidak selalu yang lahir dari kehidupan mewah bisa berguna. Toh nyatanya yang sederhana saja punya kesan.
Alangkah lebih baik lagi dalam perayaan Natal ini, umat memilih tinggal di rumah, berdoa bersama, merenungkan kasih yang besar bagi dunia.
Setelah itu, silakan mengunjungi sesama, memberi salam kasih, mungkin sesekali diselingi bincang sederhana, mencairkan suasana tegang jadi bahagia, maka Natal punya dampak. Selamat siap diri hadir ada dalam malam Natal, Imanuel.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI