Pengantar
Tulisan ini terinspirasi dari dua model berita yang disampaikan oleh dua pewarta beda zaman yang saling kontras pikirannya.Â
Sebelum tiba pada pembahasan terkait kontroversi pemikiran kedua tokoh, penulis merasa perlu memaparkan suatu fakta bahwa sekarang kita hidup dalam era dimana informasi dengan mudah dapat kita akses.Â
Ada informasi melalui media cetak, media online, atau secara oral. Informasi atau berita itu bisa berdasarkan fakta di lapangan, teori dan juga melalui asumsi bahkan sentimen pribadi.Â
Ada berita benar. Ada berita hoax. Keduanya bertebaran. Teledor sedikit, tanpa meneliti kebenarannya, kita bisa menjadi korban atau pun pelaku penyampai berita bohong.Â
Benarlah pendapat Socrates yakni guna menguji suatu berita atau pesan, patutlah kita gunakan 3 indikator yakni benar, baik dan bermanfaat suatu berita atau pesan.Â
Tentu dengan mempertimbangkan 3 aspek di atas maka dengan sendirinya indikator itu menolong kita untuk tidak terjebak dalam berbagi penyampaian berita bohong.
1. Yohanes Pembaptis : Pemberita yang Membawa Kabar Selamat
Yohanes Pembaptis adalah salah satu tokoh sentral dalam Perjanjian Baru. Bagaimana tidak, setelah 400 tahun Israel vakum dalam hal tiada nubuat dan nabi.Â
Mereka berada pada masa sunyi, masa intertestamental. Tampilnya Yohanes Pembaptis di depan publik membawa warna tersendiri dalam corak pemberitaan.Â
Ia menghapus dahaga iman dalam penantian datangnya Mesias. Nubuat Perjanjian Lama mulai benar-benar Allah aktualisasikan (Yesaya 40:3-5).Â
Ia tampil menyerukan pertobatan sebagai upaya menyambut datangnya Mesias, Juruselamat yang dinantikan.Â
Terlepas dari polemik pemahaman Mesias di kalangan orang Israel dan dalam kacamata iman, warta tentang hadirnya yang dimaklumkan oleh Yohanes Pembaptis mampu menarik perhatian massa dan juga pemuka agama dan masyarakat (Yohanes 1:19-28).
Yohanes Pembaptis mewartakan berita apa adanya, tidak melebihkan dan juga tidak mengurangi informasi yang ia bawa.Â
Menanti kedatangan yang dinantikan itu benar-benar ia persiapkan secara matang. Dia sadar pada statusnya sebagai seorang utusan (Yohanes 1:6).
Dia juga punya banyak segudang teladan untuk bisa dicontohi. Selain memberitakan sesuatu apa adanya, ia juga hidup dalam kesederhanaan (Markus 1:6).
Yohanes Pembaptis ternyata tipikal ideal dari seorang utusan. Tidak mengedepankan kepentingan pribadi, tetapi juga dengan lapang mempersiapkan iman umat menyambut yang mereka nantikan.Â
Baik yang ia sampaikan, baik yang ia lakukan, bahkan gunakan apa adanya. Tidak mewah tetapi mendapat perhatian sejuta umat untuk diteladani.Â
2. Friedrich Nietzsche : Pewarta yang Meruntuhkan Iman Kristiani?
Â
Setelah ribuan tahun berlalu maka tampil pula seorang pemikir gagah berani yang secara terang-terangan menyiarkan warta kematian Tuhan.Â
Namanya Friedrich Wilhelm Nietzsche (1884-1900). Ia adalah pemikir asal Jerman yang berasal dari latar belakang Kristen Protestan aliran Lutheran yang dikemudian hari memilih menjadi atheis.Â
Sebenarnya fenomena adanya versi berita lain bukan hal baru sebab dalam banyak catatan Perjanjian Baru kita menemukan ada banyak sekali tampil guru-guru palsu yang mewartakan berita yang berbeda dari berita Injil.Â
Tapi kali ini, tampilnya Nietzsche sungguh mengguncang. Agamanya yang semula diserang habis-habisan.Â
Dia bahkan berani mewartakan Tuhan telah mati. Berita itu dia dibarui dari cerita Yesus yang tersalib.Â
Manusia yang membunuh Tuhan itu sendiri. Horizon baru kini tercipta. Manusia memegang kendali atas dirinya sendiri.Â
Kita lalu bebas melakukan ini dan itu. Inilah kehendak untuk berkuasa, representasi dari kerinduan terdalam manusia untuk menata dirinya sendiri.Â
Sebaliknya yang masih memilih dipasung dalam berbagai ideologi, agama hanya akan terus dicap bermental hamba.Â
Maunya tunduk terus pada bayang-bayang agama dan ideologi. Bahayanya disini ialah mentalitas untuk berkuasa akan membawa manusia pada sentimen.
 Manusia saling sikut-menyikut, mempertontonkan siapa yang lebih dominan. Peta pikiran Nietzsche ini kini telah marasuki warga gereja.Â
Pelan-pelan Tuhan dibunuh dengan kepentingan dan kuasa. Tak ada ruang rekonsiliasi.Â
Nietzsche ternyata tidak sepenuhnya mengantisipasi kemungkinan terburuk dari horizon baru yang ia gaungkan.Â
Mungkinkah dalam posisi seperti ini manusia merindukan warta pertobatan Yohanes Pembaptis dan kerinduan akan sentuhan kasih dari Ilahi dalam dunia yang makin kacau? Semoga saja!
3. Ruang Publik : Medan Adu Gagasan
Ruang publik adalah ruang terbuka. Ruang dimana manusia berjumpa secara fisik, berinteraksi dengan sesama, beradu gagasan tentang suatu hal.Â
Ruang publik adalah ruang milik bersama, yang tidak bisa diklaim sebagai milik pribadi.Â
Wajar jika kemudian di ruang publik itu, masing-masing orang memanfaatkannya dengan berbagai kepentingan.Â
Hal ini juga yang dilakukan oleh Yohanes Pembaptis dan Nietzsche. Mereka tampil di ruang publik.Â
Yohanes Pembaptis di padang gurun, berseru-seru meluruskan jalan bagi Tuhan.Â
Sedangkan Nietzsche, dengan tokoh imajinatifnya, Zarathustra bersabda tentang kematian Tuhan, melalui aksi gila seorang pembawa lentera di kerumunan pasar, di siang terik.Â
Aksi gila si pembawa lentera ini ditertawakan karena dalam imajinasi Nietzsche, orang-orang yang berada di pasar sudah tidak lagi percaya pada kehadiran Tuhan.Â
Perhatikan bahwa ruang publik jadi arena pertempuran kepentingan dan ideologi. Yang satu berharap adanya kesadaran menerima kehadiran Yang Ilahi, yang lain gigih menolak Yang Ilahi.Â
Inilah titik paradoks ruang publik. Tidak bisa ditampik keberadaannya. Massa yang ada di ruang publik jadi penilai, menerima atau tidak gagasan atau ideologi yang digaungkan para pembawa kepentingan.Â
Catatan Akhir
Pembahasan tentang kepentingan pemberitaan di ruang publik selalu berhadapan dengan banyak fakta kepentingan.Â
Yohanes Pembaptis dan Nietzsche adalah dua tokoh beda zaman yang memperlihatkan ruang publik jadi arena pewartaan.Â
Kendati demikian, harus kita garis bawahi bahwa benar keduanya ada dalam titik pemahaman yang berbeda, dengan ideologi yang berbeda pula.Â
Iman menjadi sasaran pendewasaan diri dan serentak kritik. Sulit untuk mempertemukan dua perspektif yang saling kontradiksi. Masing-masing dengan titik keberangkatan gagasan yang berbeda.Â
Benarlah kata Socrates, sebagai pendengar, baiklah kita saring benar-benar berita yang diperdengarkan.Â
Apa berita itu punya aspek kebenaran, kebaikan dan manfaat? Itu menjadi tugas massa sebagai penilai.Â
Selamat merenungkan masa Adven dalam kegelisahan iman. Semoga kita tampil apa adanya, menjadi umat penunggu yang setia di jalan-Nya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H