Pendahuluan
Minggu, 04 Agustus 2024 malam, saya duduk berbincang ria bersama teman sebaya tentang potret masa kecil hingga masa remaja.Â
Maklumlah karena setelah tamat SMA, kami jarang berjumpa karena kesibukan kerja. Ada juga yang memilih merantau ke tanah orang.Â
Dalam perbincangan itu kami bernostalgia kembali akan kondisi alam kami. Kala itu, gadget atau smartphone masih menjadi barang langka. Imbasnya kami terbiasa dengan beraktivitas secara bersama.Â
Biasanya setelah pulang sekolah, kami istirahat sejenak lalu mulai berkumpul dan menjelajahi alam di sekitar kami. Waktu itu, masih banyak lahan kosong yang ditumbuhi oleh banyak pepohonan.Â
Mata air juga masih begitu melimpah. Seluruh kegiatan-kegiatan kami berhubungan dengan alam, bahkan permainan-permainan masih juga kami ambil dari alam.Â
Misalnya, mencari gagang ketapel di hutan, bermain perang-perangan dengan menggunakan bambu kecil, dan lain-lain.Â
Kami larut dalam kegembiraan yang penuh makna kala itu, sekalipun kami hidup di wilayah perkotaan (Kota Kupang) yang dalam hemat banyak orang, kota kerap dilihat sebagai daerah yang pembangunnya lebih pesat ketimbang di desa.Â
Sungguh waktu itu alam nasih begitu asri. Biar kamu hidup di wilayah yang orang suka beri julukan "Kota Karang", tetapi masih ada harapan hidup dan keceriaan kala itu karena alam masih terpelihara.Â
Alamku Kini Telah Berubah
Harus diakui bahwa pembanguan kini makin masif. Tetapi pesatnya pembangunan yang ada saat ini seringkali tidak ramah lingkungan.Â
Pepohonan dibabat habis, mata air mengering, kali yang dulu menjadi tempat kami berjumpa kini telah dialih fungsi menjadi area pemukiman warga. Interaksi sosial pun kian luntur.Â
Memasuki musim kemarau jangan heran jika banyak masyarakat Kota Kupang yang mengeluh karena kepanasan dan kelangkaan air bersih.Â
Banyak yang memilih untuk kemudian juga keluar rumah, mencari pohon yang rindang untuk menghindari hawa panas.Â
Lahan tidur makin banyak. Misalnya di wilayah Oepura terdapat sawah yang dulunya melimpah dengan air tetapi kini air sangat susah.Â
Kali mengering, petani lalu mulai malas bercocok tanam. Siapa yang harus disalahkan karena keadaan ini? Ya tentu manusia itu sendiri.Â
Karena ingin berkembang, maka kebijakan yang diambil tidak didasarkan pada proyeksi potensi kerusakan lingkungan. Harusnya hal ini harus diperhatikan.Â
Apa yang Harus Dibuat?Â
Pertanyaan ini penting sebagai suatu upaya melakukan resiliensi lingkungan. Pembanguan harus ramah lingkungan.
Tanah harus dijaga, air harus dipastikan kebersihannya, mata air pun harus dilindungi agar tidak menjadi korban pembanguan. Bahkan cara kita melihat alam juga harus ditransformasi.Â
Alam bukan lagi objek tetapi subjek. Ini memang kelihatan sedikit aneh karena pemahaman kita interaksi itu hanya ada antara manusia dengan manusia.Â
Padahal alam punya sumbangan nyata bagi keberlangsungan hidup manusia. Masyarakat Timor pun memahami alam sebagai ibu. Ibu yang memberi makan bagi anak-anak.Â
Alam menangis, harusnya kita juga ikut menangis. Alam rusak, kita juga merasakan imbasnya. Lihat saja sekarang orang-orang mau mencari suasana teduh harus lari ke desa, di kota nyaris tidak lagi kita temui.Â
Jika kurang yakin, coba dengar kebisingan kota waktu pagi, apakah masih ada burung berkicau? Mustahil itu ada.Â
Malah masih pagi benar, kita sudah dikagetkan dengan bunyi mesin. Karena itu, lihat dan jaga alam agar kehidupan yang permai bukan menjadi utopis.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H