Pasca menyelesaikan pemilihan umum untuk memilih Presiden dan anggota legislatif, sekarang kita bersiap diri menuju pemilihan kepala daerah (gubernur, walikota serta bupati).Â
Memang pemilihan baru akan dilaksanakan pada bulan November yang akan datang. Beberapa partai politik masih menimbang-nimbang siapa calon yang akan diusung. Ada pula yang telah mengusulkan nama calon gubernur, walikota, bupati.Â
Sebagai masyarakat, saya melihat fenomena ini sebagai strategi para elit partai politik untuk meraup suara signifikan di daerah-daerah yang akan menyelenggarakan pemilihan kepala daerah.Â
Di samping upaya pemimpin partai politik menimbang-nimbang nama calon yang diusung, para calon pun mulai bergerilya di masyarakat akar-rumput, mencari dukungan untuk meningkatkan elektabilitas diri.Â
Meski begitu, kadang saya kerap merasakan ada yang janggal ketika masing-masing mulai mengusung tagline. Dalam tagline itu ada semacam komitmen untuk membangun daerah.Â
Selain komitmen, dalam tagline itu ada juga maksud terselubung dalam membeberkan kinerja yang telah mereka buat.Â
Di sinilah letak kejanggalan itu bagi saya. Alih-alih ingin mendapatkan dukungan, calon hanya mau memperlihatkan semua kebaikan yang ia telah lakukan.Â
Apa ada soal dengan cara ini? Bukannya cara ini sah-sah saja dalam konstelasi politik? Ini adalah sanggahan dari mereka yang telah melek dengan politik. Memang tidak salah jika cara ini ditempuh.Â
Tapi, coba perhatikan yang mengikuti pilkada di suatu daerah itu kerap lebih dari 2 calon. Secara otomatis, ada jual-beli serangan kebaikan yang dipertontonkan di depan masyarakat.Â
Syukur jika kemudian jasa baik yang sudah dilakukan itu tetap dipertahankan pasca terpilih, tapi jika kemudian jasa itu hanya menjadi alat puja diri, maka masyarakat bisa kemudian kecewa.Â
Dengan mengemukakan argumentasi ini, saya tidak sedang mengatakan tidak setuju dengan cara itu, melainkan lebih pada pemberian peringatan untuk nantinya yang akan bersaing dalam pilkada saling bersaing secara sehat.Â