Memberi itu adalah aksi tenggang rasa. Artinya bahwa kita juga peduli pada keadaan dan kehadiran orang lain. Memberi juga membuat kita kian sadar akan status kita sebagai makhluk sosial.
Makhluk sosial itu adalah makhluk relasional. Selalu mengedepankan upaya menjalin keakraban yang penuh kasih dengan orang-orang yang ada di sekitar kita.
Memasuki era abad 21, kita mulai diperkenalkan dengan spirit individualisme. Orang-orang suka mementingkan diri. Permasalahan dari sikap ini ialah munculnya upaya saling menjatuhkan.
Ruang keakraban itu bukan lagi sesuatu yang murni. Selalu ada kepentingan yang kita susupi di dalamnya. Hal ini juga berdampak pada ketakutan di dalam memberi.
Kita lalu memikirkan untung-rugi dalam memberi. Kita merasa bahwa memberi hanya akan membuat aset kekayaan kita menurun.
Jika tidak ada tenggang rasa, kemanusiaan kita mati. Tidak ada lagi fungsinya. Apa yang ingin dibanggakan lagi dari ketidakpedulian kita ini?
Karena hal ini, maka istilah gereja menyebut diri sebagai persekutuan menjadi relevan.Â
Persekutuan artinya perjumpaan antara banyak orang, banyak pengalaman, banyak selera, dan banyak hal lainnya.
Mereka dipanggil dan diikat dalam satu identitas bersama yang mengusung spirit meneladani Yesus.Â
Yesus memberi apa yang sebenarnya menjadi milik diriNya sendiri. Tetapi, karena tenggang rasa, Ia beri diriNya bagi kita.
Ternyata memberi dalam iman Kristen punya akar atau landasan yang kuat. Tapi ingat, memberi harus dengan sukacita, bukan jadi ajang pencitraan. Awas terjebak hal ini.
Terakhir, memberi tidak serta-merta menyebabkan kita hilang aset, hilang pendapatan, hilang segalanya.Â
Banyak dermawan tetap punya apa yang sudah ia miliki meski banyak memberi. Beri apa yang ada pada kita, secukupnya, sesuai kemampuan yang kita punyai.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H