Datang dan menuntunku, atau hanya menggenggam tanganku erat, menemaniku menyisiri jalan.
Kita sedang di hutan, gelap, tanpa petunjuk dan arah, tanpa apa-apa yang kita tahu akan berujung seperti apa.
Apa yang menanti kita kelak di ujung jalan sana, kita sama-sama tak tahu persis.
apakah itu akan serupa dermaga indah atau tempat yang bahkan lebih gelap dan mengerikan.
Maka aku hanya ingin di temani.
Sendiri bagiku terlalu sulit, bukan karena aku ingin kamu ikut terjebak di sana dan berdua mengarungi duka.
Tapi aku entah harus memberitahu bagaimana, seberapa sulit ini jika hanya di lalui sendiri meski aku tahu Tuhan selalu menonton dari atas sana.
Tapi aku butuh seseorang yang nyata, yang kulihat binar matanya, yang kurasakan hangat kulitnya, yang kudengar hembusan nafasnya, agar aku sedikit tenang.
Tuhan, kamu yang menciptakan maka kamu sendiri pasti faham, seberapa hutan gelap yang di huni berbagai binatang itu menyeramkan bagi seorang anak sepertiku.
Meski hampir 21, maka aku masih sama, masih anak-anak yang tak tentu arah, yang limbung dan bingung, yang penuh takut dan harus di tuntun.
Aku terlalu takut Tuhan untuk berjalan sendirian, maka biarkan aku memiliki seseorang yang menemaniku, sekali lagi bukan karena aku mehendaki ia ikut sakit bersamaku, bukan.
Tapi aku manusia yang tak mungkin bisa hidup tanpa yang lain.
Aku ingin berpegang pada satu, yang akan ku habiskan seluruhku bersamanya. Aku ingin Tuhan.
Banjarmasin, 15 Agustus 2011
Dengan harapan penuh pada Tuhan dan pada dia, maka aku menulis ini
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H