Setiap manusia pada suatu titik, pasti pernah mencapai sebuah kesadaran tertinggi terhadap apa pun yang terkait dengan kehidupan. Beberapa orang untuk sampai pada titik itu mungkin mesti melewati perjalanan waktu yang penuh lika-liku. Bahkan beberapa orang ada yang mampu mencapai titik itu tanpa melalui proses yang berbelit-belit. Tipe orang seperti ini yang mungkin bisa dikategorikan sebagai manusia super tangguh. Namun intinya untuk bisa mencapai sebuah kesadaran tinggi—cepat atau lambat—menyadari kesalahan, legowo menerima kenyataan hidup, dan berusaha sekuat tenaga bangkit dari keterpurukan, adalah bukti dari tangguhnya sosok manusia.
Saya sendiri bisa dikategorikan sebagai orang yang lambat rebound dari keadaan terpuruk. Butuh proses berpikir dan membesarkan jiwa yang terbilang lama bagi saya untuk terbangun dari tidur panjang dalam penyesalan, self pity, menyalahkan diri sendiri atau orang lain, dan legowo mengatakan, “Ya sudahlah.” Tetapi pada akhirnya, entah kekuatan apa yang mendorong saya di suatu pagi untuk mengatakan, “Ayo Lan, bangkit sekarang. Fokuskan pandangan ke depan lagi. Berpikir luas lagi. Miliki hati yang besar lagi. Jadi inspirasi lagi. Senyum lagi. Optimis. Mimpi lagi.”
Sejujurnya saya tidak cukup bangga dengan hidup saya, pada beberapa hal tertentu saja. Banyak keputusan yang telah saya ambil yang tidak cukup bangga atasnya. Beberapa keputusan tersebut mengarahkan hidup saya pada keadaan yang saya alami sekarang. Misalnya salah menjatuhkan pilihan terhadap bidang studi. Jauh sebelum kelulusan SMU, saya membulatkan tekad untuk masuk sekolah teologi dan mengesampingkan tawaran tes masuk di sebuah PTN yang bereputasi baik. Meskipun tidak ada jaminan pula saya pasti diterima di PTN tersebut, tetapi alasan masuk sekolah teologi tanpa mencoba opsi-opsi lain membuktikan kurang bijaknya saya dalam berkeputusan.
Alasannya pun kala itu cukup klise dan naïf, yaitu karena terpanggil. Padahal setelah masuk sekolah teologi, justru banyak kekecewaan dan luka yang saya terima seperti misal mengalami skorsing dan divonis tidak dibutuhkan di organisasi gereja yang menaungi sekolah teologi itu. Bahkan rektor saya kala itu dengan arogan menyatakan kalau dia TIDAK PEDULI jika saya mendirikan GEREJA SETAN sekalipun. Sedangkan saya masuk sekolah teologi tentu saja bukan untuk melayani setan atau bahkan mendirikan gereja setan. Saya menampik tawaran PTN yang bisa dikatakan lebih “menjamin hidup” didorong oleh satu keyakinan yang naïf dan klise, yaitu “panggilan.” Semakin miris terasa ketika Pendeta yang mendorong saya masuk sekolah teologi bahkan di kemudian hari gencar berkhotbah bahwa panggilan melayani Tuhan itu tidak hanya di mimbar gereja tetapi dalam semua aspek kehidupan ini. Jargonnya kala itu, “Tidak ada yang lebih sakral ataupun yang lebih sekuler. Semuanya sakral jika dilakukan untuk Tuhan.” Huh!!! Jika dari dulu beliau menyatakan itu, saya pasti memilih tawaran tes di PTN itu.
Anda bisa memahami betapa menyesalnya saya? J
Keputusan lain yang cukup saya sesali adalah tidak bijak dalam mengelola keuangan. Meski sejak saya lulus kuliah penghasilan saya memang selalu pas-pasan ditambah saya juga ikut membantu uang saku adik saya yang sekolah di Bandung, tetapi jika ada orang yang mengajari saya cara mengelola keuangan dengan baik mungkin keuangan saya bisa lebih baik.
Ketika saya menyodorkan riwayat gaji saya pada salah seorang perencana keuangan, ia mengatakan—terlepas dari terlambatnya saya memasuki tahapan berpenghasilan dikarenakan skorsing yang saya alami, dan juga karena struktur gaji di dunia pelayanan sosial yang tidak sebesar industri lainnya—seharusnya saya bisa belajar menyisihkan minimal 20 persen dari gaji saya untuk ditabung. Tetapi karena saya tidak cukup baik untuk menunda kesenangan, dan ditambah juga kewajiban saya sebagai tulang punggung keluarga maka akhirnya penghasilan yang saya miliki amblas begitu saja tiap bulannya. Borosnya saya semakin parah ketika saya mulai memasuki masa pubertas dan mengencani seorang gadis. Pengeluaran saya semakin bertambah dengan biaya rutin berkencan di luar seperti makan di resto, nonton di bioskop, dan pengeluaran-pengeluaran pacaran lainnya. Akibatnya yang bisa saya tabungkan tidak pernah mencapai 500 ribu rupiah tiap bulannya.
Parah kan keputusan pengelolaan keuangan saya? L
Keputusan lain yang sangat saya sesali adalah mengizinkan seorang teman untuk menjadi rekanan kerja dalam pengadaan tes foto karakter di proyek-proyek pengembangan anak yang saya tangani. Saya tahu bahwa saya akan mendapat uang terima kasih darinya, tetapi karena ini merupakan sesuatu yang diharamkan di tempat saya bekerja maka saya urung melaporkan kepada atasan saya. Namun tidak ada terbersit sedikit pun di benak saya untuk mengambil keuntungan dari uang terima kasih yang ditransferkan teman saya tersebut. Saya berpikir kala itu, karena proyek-proyek pengembangan anak yang saya tangani sudah cukup banyak mengeluarkan duit untuk pelaksanaan tes foto karakter maka sedianya uang tersebut akan saya gunakan untuk biaya penginapan dan transportasi rekan saya selama melakukan tes foto karakter tersebut.
Kemudian terjadilah bencana itu. Saat itu saya sedang berada dalam kondisi fisik yang lelah dan juga dilematis karena harus memutuskan kerjasama dengan salah satu proyek pengembangan anak. Teman saya yang merasa saya tidak memfasilitasi pelaksanaan tes foto karakter, meskipun sebenarnya itu sudah merupakan domain dari teman saya sebagai vendor dan pimpinan proyek pengembangan anak, mengancam akan menghentikan proses tes foto karakter. Saya tersinggung dengan ancaman dia ditambah penghentian sepihak tersebut akan merugikan proyek-proyek pengembangan anak yang saya tangani, maka saya menghardik teman saya untuk meninggalkan Medan dan mengembalikan semua biaya tes foto karakter yang sudah ditransferkan kepada mereka. Karena sepeser pun uang terima kasih dari teman saya tidak saya gunakan untuk kepentingan pribadi, saya akan dengan mudah mengembalikan uang tersebut kepada kas kecil dari salah satu proyek pengembangan anak dan kemudian tinggal dilakukan penyesuaian anggaran.
Keputusan saya untuk berseteru dengan teman saya berbuntut pada proses pemberhentian saya dari pekerjaan yang saya cintai. Teman saya mengadukan jika saya menerima uang terima kasih, dan semua bukti komunikasi saya dengan dia, baik berupa email, BBM dan SMS dilaporkan secara tertulis kepada atasan saya. Meski hampir sebagian besar dari komunikasi tersebut bersifat candaan, tetapi saya pasrah menerima kenyataan bahwa saya telah gagal sebagai pemimpin yang seharusnya memiliki integritas. Setelah menyelesaikan semua proses administrasi terkait pengunduran diri saya, saya pun pulang melangkah dengan lunglai. Dengan menahan tangis, saya melihat empat keponakan saya yang sudah tertidur di kamar. Saya tak tahu hidup saya ke depan L…
Terbukti kan betapa vitalnya sebuah keputusan? Jika kita salah memutuskan, celaka tigabelas…
Hari ini saya sudah belajar mensyukuri kegagalan demi kegagalan yang saya alami. Pahit memang, apalagi jika membandingkan pencapaian beberapa teman saya. Ada yang sudah memiliki pekerjaan yang mentereng, penghasilan yang wah, rumah yang baik, mobil pribadi, investasi yang berjumlah besar, keluarga yang harmonis dan bahagia, dan sebagainya. Bahkan suatu kali ketika saya hendak mengurus perpanjangan KTP di sebuah kantor kelurahan di Jakarta Timur, saya hanya menundukkan kepala saat di jalan karena saya takut jika ada teman yang mengenali saya di jalan. Betapa malunya saya jika setua ini saya masih miskin dibanding teman-teman saya. Selama di bis, saya duduk diam menyesali dan mengutuki semua orang-orang yang sudah berkontribusi pada kegagalan hidup saya.
Saya hampir menyerah. Semua lamaran pekerjaan yang saya layangkan ke beberapa NGO, ditolak mentah-mentah, dan bahkan beberapa tanpa ada penjelasan tentang alasan penolakan mereka. Sampai suatu saat seusai mengantarkan keponakan saya ke sekolah, saya tersadar. Sebuah mobil mewah bersisian dengan motor saya saat itu. Lalu sebuah pemikiran pun muncul dalam benak saya. Penumpang dalam mobil mewah itu terlihat nyaman sekali, dan anehnya saya yang sedang mengendarai motor merasakan kenyamanan seperti yang ia rasakan. Hembusan angin pagi yang menerpa wajah saya terasa seperti belaian hangat yang menentramkan. Sinar matahari pagi tidak terasa menyengat di kulit, tetapi begitu lembut menghangatkan tubuh saya.
Saya pun mulai berpikir lebih dalam lagi tentang rasa nyaman yang saya rasakan. Bahwa kenyamanan hidup tidak pernah terkait dengan fasilitas yang kita miliki dalam hidup. Kita akan merasa nyaman saat bersyukur. Bahkan saat terpuruk sampai titik nadir sekalipun, ketika kita mensyukuri hidup maka lembah terkelam sekalipun tidak akan menakutkan lagi. Bersyukur atas hidup karena kita masih masih diberkahi kesempatan untuk hidup, merupakan sebuah sikap yang dibutuhkan oleh orang-orang yang tengah terpuruk dalam kegagalan seperti saya.
Mungkinkah bersyukur ketika hidup dalam kesusahan besar? Sangat mungkin! Karena rasa syukur yang bersumber dari fasilitas adalah rasa syukur yang semu. Tetapi rasa syukur yang bersumber dari kebesaran hati untuk menerima semua riak kehidupan sebagai kesempatan untuk belajar lagi tentang hidup, adalah rasa syukur yang otentik yang akan jadi titik tolak dan kebangkitan dari kegagalan.
Apa yang saya syukuri? Saya bersyukur karena saya gagal memutuskan dalam beberapa kali kesempatan, dan justru lewat kegagalan itu saya jadi belajar lagi untuk bijak memutuskan.
Saya bersyukur karena saya gagal dalam karir yang saya cintai yaitu melayani orang-orang miskin, karena saya diberikan kesempatan untuk mengetahui titik lemah saya saat bekerja. Pasti suatu hari nanti ketika saya berada di antara orang miskin lagi, saya tidak akan tersandung lagi karena kelemahan individu saya.
Saya bersyukur karena gagal dalam urusan cinta. Itu bukan salah saya ataupun salah orang lain. Kegagalan itu sebuah kesempatan bagi saya untuk mengenal cinta sejati yang pantas saya dapatkan.
Saya bersyukur karena saya bangkrut saat ini. Saya jadi mengetahui pelajaran penting untuk menunda kesenangan. Bahkan saya jadi mengerti bahwa uang sungguh-sungguh tidak bisa membeli segalanya. Uang bukanlah indikator yang sahih untuk sebuah identitas sejati.
Saat tulisan ini nyaris selesai, saya masih berjibaku dengan kesulitan hidup. Sesekali saya masih memutuskan secara keliru. Bahkan belum ada sejumlah uang di dompet atau rekening saya. Apalagi soal cinta; masih jauh panggang dari api. Tapi saat tulisan ini dibuat dan mendekati tanda baca terakhir, saya masih hidup dalam rasa nyaman yang sejati, yaitu bersyukur karena masih hidup untuk bisa belajar hidup lebih baik lagi. Selamat bersyukur, teman…
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H