Mohon tunggu...
Rolan Sihombing
Rolan Sihombing Mohon Tunggu... profesional -

Kita tidak perlu otak jenius untuk memulai perubahan. Kita hanya perlu hati tulus yang tergerak mengulurkan tangan kepada penderitaan anak-anak bangsa yang tidak seberuntung kita. -www.rolansihombing.wordpress.com-

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Kemana Perginya Semua Pemimpin-pemimpin Politik Yang Kristiani?

27 Oktober 2010   01:40 Diperbarui: 26 Juni 2015   12:04 618
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[6] Pdt. Emanuel Gerit Singgih juga mengatakan bahwa gereja-gereja di Indonesia—beserta elitnya—sering dijangkiti sindrom minority complex—menyadari keminoritasannya tetapi berlagak seolah-olah mayoritas karena lengket dengan penguasa, atau berusaha mengidentikkan diri dengan negara dan siapa yang kebetulan sedang memerintah. Bahkan lambang-lambang dan nilai yang ada pada pemerintahan dan negara cenderung diambil alih. Sebagai contoh, kalau negara dan pemerintah berbicara mengenai pembangunan, maka gereja juga berbicara mengenai pembangunan, tanpa menyadari bahwa konsep pembangunan itu sendiri sudah banyak disoroti pakar-pakar ekonomi pembangunan di Dunia Ketiga—lihat Iman dan Politik dalam Era Reformasi di Indonesia (Jakarta:Gunung Mulia, 2002), hal 5.

[7] Namun sudah menjadi rahasia umum, mereka yang aktif di politik cenderung merasa asing atau lebih tepat diasingkan dari gereja. Dan sebaliknya, mereka yang aktif di gereja cenderung terasing atau lebih tepat mengasingkan diri dari konteks sosial politik di sekitarnya. Alhasil, dunia kekristenan semakin kian apolitis, sementara dunia politik semakin kian akristiani. Dengan akibat yang fatal: yang satu menjadi kehilangan relevansinya, sementara yang lain kehilangan makna, arah, dan tujuannya yang pasti—seperti yang dikutip penulis dari kata sambutan Eka Darmaputera atas buku Saut Sirait.

[8] Karena semua agama pada dasarnya adalah relatif. Ia terbatas, parsial, dan tidak lengkap. Ia juga memiliki kesamaan nilai-nilai yang luhur yang terkandung dalam tiap-tiap agama Agama itu dapat diibaratkan seperti sebuah puzzle yang di saat terpisah-pisah tidak memiliki nilai estetika sama sekali. Tetapi ketika kepingan-kepingan puzzle itu disatukan, maka ia baru dapat membentuk sebuah gambar yang indah. Oleh karena agama dan doktrin-doktrinnya tidak lengkap, terbatas dan tidak cukup untuk melihat dunia, manusia, bahkan Tuhan secara menyeluruh dan komplit, maka menganggap suatu agama dengan pelbagai doktrinnya secara intrinsik lebih baik dari yang lain, merupakan sebuah sikap yang salah, ofensif, dan merupakan pandangan yang sempit (Hidayat, 2005:188-196).

[9]Salah satu tanda yang menunjukkan korupnya sebuah agama adalah ketika para pemeluk agamanya merindukan zaman ideal, yaitu zaman dimana manusia akan dibebaskan dari semua cacat dosa, kesombongan, kesia-siaan, dan akhirnya mengalami kebahagiaan yang paripurna. Visi semacam ini sebenarnya sah dan tidak membahayakan. Tetapi Charles Kimball memperingatkan, jika kerinduan agama tentang zaman ideal itu mulai direalisasikan pada masa kini; dan juga para pemeluknya meyakini serta membenarkan Tuhan sendiri yang menginginkan demikian, itu merupakan sebuah pertanda kala agama menjadi korup, jahat, dan berubah menjadi bencana (2002:15-22).

[10] Tetapi harus dibedakan antara legalitas dan moralitas. Menurut Kant, kesesuaian sikap dan tindakan lahiriah dengan norma-norma moral belum dapat disebut sebagai “moralitas”, melainkan baru “legalitas”. Karena yang menentukan kualitas moral seseorang adalah sikap batin. Nilai moral tidak terletak dalam tindakan fisik, misalnya mengembalikan uang negara yang dapat dikorupsikannya, melainkan dalam sikap batin yang mendasarinya, yaitu uang tersebut dikembalikan karena kesadaran akan kewajibannya.

 

 

 

 

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun