Mohon tunggu...
Cerpen Pilihan

Bodong

3 Januari 2016   18:01 Diperbarui: 3 Januari 2016   18:52 98
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kata orang, jika kau melakukan suatu hal dengan sangat baik, sampai-sampai kau disebut ahlinya, maka jangan lakukan hal tersebut dengan gratis. Manfaatkan keahlianmu itu agar bisa diubah menjadi uang. Seperti itulah yang aku, Bodong, lakukan semenjak disadarkan temanku.

“Boleh juga kau ini, Dong. Bisa sekali kau memberikan aku motivasi. Sudah macam motivator-motivator kawakan di tivi itu.”

Semenjak SMA memang aku sering dicurhati oleh teman-teman. Kasarnya, jadi keranjang sampah, menampung semua unek-unek mereka. Bedanya, aku keranjang sampah yang punya kemampuan untuk mendaur ulang sampah, mengubahnya menjadi sesuatu yang lebih berguna. Harapan.

Separah apapun masalahmu, Bodong selalu bisa melihat sisi baik dari masalah tersebut. Prinsipku cuma satu, selalu ada harapan. Sepesimis apapun juga kondisi yang sedang dihadapi, bagiku selalu ada celah untuk bangkit. Hematnya, aku ini orangnya kelewat positive thinking. Bukannya tiba-tiba saja aku mendapatkan ilham untuk selalu berpikir positif seperti ini. Hidupku yang miskin melarat semenjak kecil menuntut aku untuk selalu melihat harapan dalam kesusahan. Kesempatan dalam kesempitan. Kalau tidak begitu, bisa-bisa aku sudah gila semenjak kecil.

Berkat saran temanku, aku pun memanfaatkan keahlianku untuk memberikan harapan ini untuk menghasilkan uang. Aku tiba-tiba bertransformasi menjadi penjual harapan. Pedagang cita-cita. Pialang masa depan. Awalnya aku membuka sesi konsultasi. Mekanismenya, seorang klien datang untuk menumpahkan keluh kesahnya kepadaku, lalu aku tinggal mengolah keluh kesah tersebut menjadi suatu harapan baru untuk dia pegang, untuk dia imani. Orang-orang rapuh seperti itu memang butuh pijakan yang solid agar tidak ambrol bersama tanah di bawahnya.

Namun ada kelemahan dari mekanisme ini. Duitnya tidak berputar dengan cepat. Datangnya lambat. Lambat karena satu orang bisa berkonsultasi sampai setengah hari. Harga yang kupatok pun tidak terlalu tinggi. Maklum, masih pemula kupikir. Alangkah kurang ajarnya jika masih pemula sudah berani memasang harga yang mencakar langit. Jadilah pelangganku setiap hari cuma 2, maksimal 3 lah. Alhasil, waktuku habis, uang yang didapat juga tak seberapa. Mending aku berdagang teh botol. Habisnya cepat, uang berputar cepat.

Akhirnya kuputuskan untuk berdagang teh botol. Bukan, maaf, maksudku kuputuskan untuk berdagang harapan dengan prinsip teh botol. Tidak pakai sesi konsultasi, langsung jual saja. Tentunya tidak pernah bukan kalian melihat pembeli teh botol yang berkonsultasi terlebih dahulu dengan pedagangnya?

Dengan mekanisme penjualan tersebut, aku memanggil diriku sendiri penjual harapan eceran. Masih eceran, belum grosiran, karena aku menjualnya per unit ke setiap orang. Biasanya satu orang membeli satu. Jarang sekali membeli dua atau lebih, mungkin takut harapannya terlalu banyak, lalu kalau tak kesampaian, tambah menjadilah sakit yang sudah ada.

Langkahku untuk banting setir menghilangkan sesi konsultasi terbukti efektif. Uangku lebih banyak masuk setiap harinya. Waktupun tidak banyak habis. Untuk satu pelanggan aku cukup menghabiskan sekitar 1-2 menit. Waktu itu hanya digunakan untuk berkenalan, mengetahui status sosial, dan membangun rapport antara pembeli dan penjual. Untuk apa mengetahui status sosial? Ya, bukankah jelas, untuk memberikan harapan yang tepat. Masa aku memberi harapan untuk naik pangkat kepada siswi SMP yang sedang galau diputuskan pacar? Bisa-bisa aku dibilang tidak profesional.

Ngomong-ngomong soal siswi SMP, aku harus berterima kasih banyak dengan mereka. Kelabilan jiwa yang masih ranum tersebut membuat mereka menjadi target pasar yang sangat potensial. Banyak sekali yang putus harapan karena masalah-masalah sepele seperti dimarahi orang tua, tidak naik kelas, takut tidak lulus UN, pacaran beda agama, pacaran beda kota, pacaran beda usia, sampai pacaran beda spesies. Beberapa siswi SMP juga sering menggodaku dengan bertanya :

“Bang Bodong, ini jual harapannya harapan palsu bukan?”

“Wah neng, kalau abang ini cari kerja yang halal-halal saja, tidak mau tipu-tipu hehehe.”

Aku berkata yang sebenarnya. Semua harapan yang kutuliskan dalam kartu khusus untuk pelangganku itu niscaya benar. Bukan benar sebenarnya kata yang tepat untuk menggambarkan sebuah harapan, tapi sesuai. Harapan tidak bisa dinyatakan benar atau salahnya karena baru akan terjadi di masa mendatang, itu pun kalau direalisasikan. Tapi, harapan bisa dilihat kesesuaiannya dengan kondisi saat ini. Misal, pasangan suami istri yang sudah menikah 12 tahun datang untuk membeli harapan “segera punya momongan”, tentulah sesuai. Namun jika seorang tukang becak membeli harapan “ingin tidur dengan artis ibukota yang seksi mandraguna.”, kita mulai geleng-geleng, bahkan mengatai si abang becak tidak tahu diri.

Perlu kutegaskan di sini, supaya kau yang mungkin adalah calon pembeliku, harapan yang tidak sesuai bukan berarti harapan yang tidak mungkin. Kita ambil lagi saja contoh si abang becak yang sudah kau sumpah serapahi tadi. Mari berandai-andai suatu hari si artis berbadan sintal ini sedang dalam perjalanan ke luar kota, lalu ban mobilnya kempes. Kebetulan sekali si abang becak lewat. Sambil menunggu bantuan datang, si abang becak menawari si artis untuk bermalam di rumahnya karena hari sudah larut. Lalu karena sudah membeli harapan “ingin tidur dengan artis ibukota yang seksi mandraguna” denganku, si abang becak nekat memperkosa si artis. Tercapai kan harapannya?

Iya, aku tahu, perkosaan itu adalah tindak kriminal. Tapi aku sebagai penjual tidak peduli dengan itu. Persetan dengan cara menggapai harapan, aku cuma menjualnya harapannya tok. Cara-caranya dijual terpisah. Atau, bisa-bisalah si pembeli berimprovisasi untuk tiba di harapan yang sudah dibelinya.

Makin hari usahaku makin besar. Omzet yang kuterima per bulannya bisa mencapai puluhan juta. Pembeli datang paling ramai di awal tahun. Melihat peluang pasar, kukemas harapan-harapan biasa yang kujual menjadi sebuah bentuk berbeda yang bernama “resolusi”. Dengan yang berbeda, didukung oleh trend  yang memang sedang naik-naiknya, harga penjualan bisa kukerek naik.

Orang-orang membutuhkan resolusi tahun baru sebagai tujuan hidupnya sepanjang tahun ini. Ada pembeli yang bilang kalau dia ingin membeli harapan untuk bisa naik eselon, karena di tahun sebelumnya dia merasa hidupnya terlalu datar dan hampa. Singkatnya, dia butuh harapan untuk menjalani hidup semaksimal mungkin. Ada juga yang membeli resolusi tahun baru hanya untuk difoto dan diunggah ke media sosial.

Di suatu titik, aku berubah dari seorang pedagang harapan eceran menjadi pedagang harapan grosiran. Yang membeli denganku bukan cuma perseorangan, tapi sudah naik ke level kelompok-kelompok tertentu. Kelompok yang kumaksudkan ini bukan seperti kelompok ibu PKK, tapi kelompok seperti serikat pekerja, partai politik, sekolah, bahkan perusahaan-perusahaan multinasional. Sekolah biasa membeli harapan dalam jumlah besar. Dekat-dekat ujian nasional dan ujian kenaikan kelas biasanya. Kata si kepala sekolah yang datang langsung kepadaku,

“Siswa pada stres  melihat kurikulum yang tak kunjung selesai berubah, lagi butuh suntikan harapan untuk bisa menghadapi ujian akhir.”

Kalau sekolah membeli harapan untuk warga sekolah, lain dengan partai politik. Partai politik punya tujuan lain saat memesan harapan denganku. Pemesanan biasanya dekat-dekat pemilihan kepala daerah atau pemilihan legislastif.

“Kami mau pesan harapan-harapan yang seperti biasa ya, Dong. Yang standar-standar saja seperti ‘sekolah gratis 12 tahun’, lalu ‘kenaikan upah minimum’ atau yang agak keren dikit ‘internet 24 jam di seluruh desa’.”

Tender pembuatan harapan dari partai-partai politik memang mendatangkan banyak uang. Begitu menggiurkan. Tapi, risiko yang harus dihadapi juga besar. Pernah suatu hari sekitar 30 warga datang menggedor kantorku sambil berteriak-teriak

“Bodong! Keluar kau! Kami tahu kau ada di dalam, tak usah sembunyi! Atau harus benar kami bertindak anarkis?”

“Ada apa ini ramai-ramai, bapak dan ibu?” Kataku saat akhirnya memberanikan diri untuk menghadapi massa dadakan ini.

“Lihat harapan ini, kau kan yang menjualnya? Kami diberikan ini oleh bapak bupati saat kampanyenya di pilkada 2 tahun lalu. Tapi apa? Harapan ini sama sekali belum terwujud. Di sini tertulis ‘bebas banjir dalam 1 tahun’. Kenyataannya, masih saja banjir di sana-sini. Kami jauh-jauh dari dusun datang ke sini untuk menuntut ganti rugi atas harapan palsu yang sudah kau dan perusahaan kotormu ini jual!.”

Aku ingat sekali wajahku saat itu langsung pucat. Mana ku tahu kalau akhirnya si Bupati itu tidak menepati janjinya? Sudah kubilang, aku cuma tahu cara membuat dan menjual harapan, tapi tidak dengan cara untuk mencapainya. Harus berapa kali aku bilang kalau cara-caranya dijual terpisah?

 

Terbebas dari berbagai masalah yang kuhadapi selama berjualan harapan, akhirnya aku tiba di titik yang bisa kubilang titik tertinggi. Aku bagaikan tak tersentuh. Telah kubangun imperium bisnis penjualan harapan yang aku pun sadar telah kubangun dari titik nol. Bukan lagi partai politik yang sekarang memesan harapan denganku, negara ini pun sudah terang-terangan datang sowan hanya untuk minta dibuatkan harapan. Awalnya aku sangsi, trauma berurusan dengan dunia politik semenjak aku digebuki warga yang tidak puas dengan bupatinya. Tapi karena Bapak Presiden langsung yang datang, hatiku melunak.

Kukerahkan semua pekerja yang aku punya untuk mencetak beratus-ratus juga harapan untuk masyarakat Indonesia. Keuntungan yang kudapat dari proyek tersebut betul-betul menjadikan aku konglomerat yang tak tersentuh. Aku bahkan memutuskan untuk tidak lagi terjun langsung di dunia penjualan, cukup bekerja di balik layar. Lebih banyak menghabiskan waktu dengan keluarga, pergi berlibur ke tempat-tempat yang bahkan tidak sempat kuimpikan di saat miskin dulu.

Terus terang lama-lama membosankan juga menjalankan konglomerasi seperti ini. Tidak ada tantangannya. Semua masalah sudah kutemukan pasangan harapannya. Hal itu terus berlangsung sampai suatu hari seorang artis ibukota datang berkunjung. Dia memaksa bertemu langsung denganku sekalipun penjaga kantor sudah melarang. Alasannya, dia punya suatu masalah yang bahkan aku tak tahu cara pemecahannya.

“Saya merasa terhormat, Bang Bodong, bisa bertemu dengan anda.”

“Tidak perlu merasa begitu. Saya memang sengaja menyuruh anda masuk karena saya tertarik dengan pernyataan anda di luar tadi. Harap anda jangan mencewakan saya.”

“Jangankan kecewa, merasa waktu anda terbuang barang sedetik pun tidak.” Tukasnya dengan penuh keyakinan.

“Saya tahu kalau Bang Bodong tahu hampir semua masalah dan juga harapan untuk memecahkannya.”

Aku tertarik dengan kata “hampir”

“Saya katakan hampir karena ada satu masalah yang menurut saya Bang Bodong tidak tahu pemecahannya.”

“Katakan, saya orangnya paling tidak suka dibuat penasaran, apalagi ditantang seperti ini.”

“Sabar sedikit Bang Bodong. Saya tahu anda memulai usaha dari nol. Sedikit demi sedikit sampai anda menjadi salah satu orang terkaya di Indonesia saat ini. Tapi sayang sekali, proses panjang yang anda jalani itu membuat anda menjadi tidak tahu tentang solusi untuk sebuah masalah.”

“Tidak usah bertele-tele!”

“Dan itu adalah masalah saya. Saya ingin cepat kaya. Saya ingin kaya instan. Tidak mau banyak proses. Apalagi kalau prosesnya berbelas tahun seperti anda. Saya mau mulai usaha hari ini, lalu minggu depannya sudah bisa beli mobil sport cash.

Aku tertegun.

Apa yang dia bilang? Kaya instan? Dia pikir kaya itu semacam kopi atau mie?

“Saya sudah berpikir, Bang, berhari-hari, sampai saya putus asa. Saya butuh harapan bang. Harapan yang mengatakan kalau saya akan kaya instan dalam satu minggu. Ah, terserah abanglah mau berapa waktunya, asalkan cepat. Saya sudah tidak kuat lagi hidup biasa-biasa. Saya ingin kaya instan!”

Bah! Lancang sekali nyerocos nya si artis ini. Yang sebenarnya bikin aku kesal adalah kata-kata “cepat” , “instan” dan “satu minggu” yang sedari tadi diulang-ulangnya. Tepat sekali dia bilang kalau aku tidak tahu solusi akan masalah yang satu ini. Aku tidak pernah mengalaminya, tersenggol sedikit pun tidak. Aku sampai ke titik ini dalam kurun waktu kurang lebih 20 tahun, sedangkan dia bilang mau dalam waktu 1 minggu?

“Mulai muak aku mendengarkan perkataanmu ini!”

“Nah, tepatlah kan apa kataku Bang. Ada masalah yang tidak bisa abang pecahkan. Maksud hati saya sebenarnya ingin meminta abang buatkan harapan. Tapi ya apa daya kalau memang abang tidak bisa, bahkan muak mendengarnya, saya mohon diri Bang.”

Pintar sekali si brengsek ini bersilat lidah. Tahu benar dia kelemahanku yang tidak bisa menerima tantangan seperti ini.

“Kau keluarlah. Lalu kembali lagi satu minggu kemudian. Akan kuberikan kau solusinya.”

“Benar Bang?”

“Kalau aku sudah bilang iya ya iya. Bukan cuma harapan lagi yang kukasih nanti. Beserta cara-caranya juga! Tidak lagi dijual terpisah.”

Dengan langkah riang dia meninggalkan ruang kerjaku. Meninggalkan aku dengan perasaan gado-gado. Semuanya bercampur antara kesal, jijik, marah, tapi juga ada rasa antusias, tegang, dan tertarik untuk menyelesaikan masalah ini.

Akhirnya setelah 6 hari kuputar otak, ketemu juga jawabannya. Bagaikan Archimedes yang berkata “Eureka” saat menemukan prinsip hukum yang dinamai seperti namanya, aku jumpalitan kesenangan seperti anak kecil. Kutelefon si Sinda, untuk segera datang malam ini juga. Tidak perlu menunggu hari ke 7.

“Maaf Bang tadi jalanannya macet betul. Jakarta kalau malam selalu begini.”

“Makanya jadi kaya seperti saya dong, jadi tidak perlu naik mobil lagi. Naik helikopter saja.” Kataku sambil terkekeh.

“Ya siapa yang tidak mau Bang jadi kaya seperti Abang. Tapi kan kata abang prosesnya lama. Atau abang sudah menemukan cara yang instan bang?”

“Tindakanmu mencari aku satu minggu yang lalu itu sudah cepat, Sin. Otakku yang cemerlang ini sudah merumuskan suatu mekanisme sakti. Ini, kartu harapan yang perlu kau simpan. Di situ tertulis ‘Saya akan kaya instan kurang dari 1 minggu.’ “

Diterima Sinda kartu harapan dari tanganku. Memang tidak ada yang berbeda dari kartu yang berisi harapan lainnya. Tapi yang baru akan kukatakan berikutnya inilah yang akan membuat kartu tersebut bagaikan cek senilai 100 triliun rupiah.

“Biasanya aku hanya menjual harapan. Cara menggapai harapannya dijual terpisah. Tapi, kali ini aku memberikannya spesial untukmu. Harapan plus cara-caranya. Biasanya harapan kuubah kemasannya menjadi bentuk lain seperti resolusi. Yang satu ini, kunamai ‘Investasi’.”

Kulihat binar mata Sinda menyala-nyala. Artis berbuah dada besar itu makin terlihat rakus saja nafsunya menunggu paparan strategiku untuk membuatnya kaya instan. Malam itu kami saling berdagang, saling tukar menukar. Strategi investasiku ditukar dengan tubuh moleknya. Nafsu akan uangnya bertempur dengan nafsu berahiku.

Sinda kaya instan. Bermodalkan tipu sana sini, jual diri sana sini, dia berhasil menjalankan praktik investasi yang kami namai “investasi bodong”, sesuai dengan namaku. Aku sendiri sudah jarang bertemu dengan Sinda. Biarlah dia dan bawahan-bawahannya saja yang banting tulang meneruskan warisan jeniusku ini.

Suatu hari kulihat Sinda dengan seorang teman laki-lakinya di televisi. Mereka sedang digiring beberapa polisi dan tampak berusaha menutupi wajahnya. Terbaca di tagline berita “Artis cantik SN tipu masyarakat dengan investasi bodong.”

Naas sekali nasib Sinda. Baru saja menikmati kekayaan instannya, eh malah masuk penjara. Beberapa kali kudengar isu dia membocorkan namaku sebagai dalang utama di balik semua penipuan ini, tapi tetap saja polisi, jaksa, dan hakim tidak percaya.

Sudah kubilang kan, aku tak tersentuh.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun