“Mulai muak aku mendengarkan perkataanmu ini!”
“Nah, tepatlah kan apa kataku Bang. Ada masalah yang tidak bisa abang pecahkan. Maksud hati saya sebenarnya ingin meminta abang buatkan harapan. Tapi ya apa daya kalau memang abang tidak bisa, bahkan muak mendengarnya, saya mohon diri Bang.”
Pintar sekali si brengsek ini bersilat lidah. Tahu benar dia kelemahanku yang tidak bisa menerima tantangan seperti ini.
“Kau keluarlah. Lalu kembali lagi satu minggu kemudian. Akan kuberikan kau solusinya.”
“Benar Bang?”
“Kalau aku sudah bilang iya ya iya. Bukan cuma harapan lagi yang kukasih nanti. Beserta cara-caranya juga! Tidak lagi dijual terpisah.”
Dengan langkah riang dia meninggalkan ruang kerjaku. Meninggalkan aku dengan perasaan gado-gado. Semuanya bercampur antara kesal, jijik, marah, tapi juga ada rasa antusias, tegang, dan tertarik untuk menyelesaikan masalah ini.
Akhirnya setelah 6 hari kuputar otak, ketemu juga jawabannya. Bagaikan Archimedes yang berkata “Eureka” saat menemukan prinsip hukum yang dinamai seperti namanya, aku jumpalitan kesenangan seperti anak kecil. Kutelefon si Sinda, untuk segera datang malam ini juga. Tidak perlu menunggu hari ke 7.
“Maaf Bang tadi jalanannya macet betul. Jakarta kalau malam selalu begini.”
“Makanya jadi kaya seperti saya dong, jadi tidak perlu naik mobil lagi. Naik helikopter saja.” Kataku sambil terkekeh.
“Ya siapa yang tidak mau Bang jadi kaya seperti Abang. Tapi kan kata abang prosesnya lama. Atau abang sudah menemukan cara yang instan bang?”