Mohon tunggu...
Cerpen Pilihan

Bodong

3 Januari 2016   18:01 Diperbarui: 3 Januari 2016   18:52 98
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

“Wah neng, kalau abang ini cari kerja yang halal-halal saja, tidak mau tipu-tipu hehehe.”

Aku berkata yang sebenarnya. Semua harapan yang kutuliskan dalam kartu khusus untuk pelangganku itu niscaya benar. Bukan benar sebenarnya kata yang tepat untuk menggambarkan sebuah harapan, tapi sesuai. Harapan tidak bisa dinyatakan benar atau salahnya karena baru akan terjadi di masa mendatang, itu pun kalau direalisasikan. Tapi, harapan bisa dilihat kesesuaiannya dengan kondisi saat ini. Misal, pasangan suami istri yang sudah menikah 12 tahun datang untuk membeli harapan “segera punya momongan”, tentulah sesuai. Namun jika seorang tukang becak membeli harapan “ingin tidur dengan artis ibukota yang seksi mandraguna.”, kita mulai geleng-geleng, bahkan mengatai si abang becak tidak tahu diri.

Perlu kutegaskan di sini, supaya kau yang mungkin adalah calon pembeliku, harapan yang tidak sesuai bukan berarti harapan yang tidak mungkin. Kita ambil lagi saja contoh si abang becak yang sudah kau sumpah serapahi tadi. Mari berandai-andai suatu hari si artis berbadan sintal ini sedang dalam perjalanan ke luar kota, lalu ban mobilnya kempes. Kebetulan sekali si abang becak lewat. Sambil menunggu bantuan datang, si abang becak menawari si artis untuk bermalam di rumahnya karena hari sudah larut. Lalu karena sudah membeli harapan “ingin tidur dengan artis ibukota yang seksi mandraguna” denganku, si abang becak nekat memperkosa si artis. Tercapai kan harapannya?

Iya, aku tahu, perkosaan itu adalah tindak kriminal. Tapi aku sebagai penjual tidak peduli dengan itu. Persetan dengan cara menggapai harapan, aku cuma menjualnya harapannya tok. Cara-caranya dijual terpisah. Atau, bisa-bisalah si pembeli berimprovisasi untuk tiba di harapan yang sudah dibelinya.

Makin hari usahaku makin besar. Omzet yang kuterima per bulannya bisa mencapai puluhan juta. Pembeli datang paling ramai di awal tahun. Melihat peluang pasar, kukemas harapan-harapan biasa yang kujual menjadi sebuah bentuk berbeda yang bernama “resolusi”. Dengan yang berbeda, didukung oleh trend  yang memang sedang naik-naiknya, harga penjualan bisa kukerek naik.

Orang-orang membutuhkan resolusi tahun baru sebagai tujuan hidupnya sepanjang tahun ini. Ada pembeli yang bilang kalau dia ingin membeli harapan untuk bisa naik eselon, karena di tahun sebelumnya dia merasa hidupnya terlalu datar dan hampa. Singkatnya, dia butuh harapan untuk menjalani hidup semaksimal mungkin. Ada juga yang membeli resolusi tahun baru hanya untuk difoto dan diunggah ke media sosial.

Di suatu titik, aku berubah dari seorang pedagang harapan eceran menjadi pedagang harapan grosiran. Yang membeli denganku bukan cuma perseorangan, tapi sudah naik ke level kelompok-kelompok tertentu. Kelompok yang kumaksudkan ini bukan seperti kelompok ibu PKK, tapi kelompok seperti serikat pekerja, partai politik, sekolah, bahkan perusahaan-perusahaan multinasional. Sekolah biasa membeli harapan dalam jumlah besar. Dekat-dekat ujian nasional dan ujian kenaikan kelas biasanya. Kata si kepala sekolah yang datang langsung kepadaku,

“Siswa pada stres  melihat kurikulum yang tak kunjung selesai berubah, lagi butuh suntikan harapan untuk bisa menghadapi ujian akhir.”

Kalau sekolah membeli harapan untuk warga sekolah, lain dengan partai politik. Partai politik punya tujuan lain saat memesan harapan denganku. Pemesanan biasanya dekat-dekat pemilihan kepala daerah atau pemilihan legislastif.

“Kami mau pesan harapan-harapan yang seperti biasa ya, Dong. Yang standar-standar saja seperti ‘sekolah gratis 12 tahun’, lalu ‘kenaikan upah minimum’ atau yang agak keren dikit ‘internet 24 jam di seluruh desa’.”

Tender pembuatan harapan dari partai-partai politik memang mendatangkan banyak uang. Begitu menggiurkan. Tapi, risiko yang harus dihadapi juga besar. Pernah suatu hari sekitar 30 warga datang menggedor kantorku sambil berteriak-teriak

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun