Mohon tunggu...
Cerpen Pilihan

The Social Wall

27 Desember 2015   20:21 Diperbarui: 27 Desember 2015   21:16 111
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption caption="Social Wall. Sumber:picsfromsomewhere.wordpress.com"][/caption]“Mama, mama, kenapa di tembok muncul mata? Dan mata itu selalu mengikuti ke mana saja aku pergi mama.”

“Tidak apa-apa sayang, tembok itu baru mama beli dari toko di pusat kota, mahal harganya. Tembok dengan mata itu sedang trend-trend nya di seluruh penjuru kota, bahkan negeri, bahkan dunia. Kita yang di perdesaan, dan beruntung masih punya uang lebih, ikutan saja”.

Iris kecil bingung dengan apa yang tiba-tiba terjadi pada tembok-tembok di rumahnya, semenjak beberapa petugas dengan seragam bertuliskan “Sungsang Cell and Electronic” di punggung datang membenahi tembok-tembok. Tidak semua tembok memang, hanya tembok di dalam kamar ayah ibu dan tembok di kamarnya. Iris sempat mencuri dengar alasan kenapa tidak semua tembok saja sekalian dibenahi oleh petugas-petugas itu.

 “Bu, ini mau semua tembok dipasangi Social Wall?”

“Oh, tidak, tidak mas. Mana cukup uang saya mau pasang di seluruh tembok, kecuali ada bonus dari toko mas hehehe. Cukup di kamar saya dan kamar anak saya saja, di tembok yang sejajar dengan posisi pintu ya mas, jangan yang sejajar jendela, nanti sempit ruang gerak saya buat maen Social Wall dengan ibu-ibu sebelah.”

Social Wall, Iris kecil juga tidak mengerti apa itu yang dimaksud dengan Social Wall. Iris masih kelas 2 SD, bahasa inggrisnya belum terlalu baik. Baru bisa menghitung 1 sampai 20 dalam bahasa inggris, dan menyebutkan beberapa nama buah dan hewan. Iris memang tidak suka menghapal nama sayuran, karena sayuran itu tidak enak baginya. Namun yang pasti bagi Iris, yang masih polos dan putih seperti tembok di rumahnya sebelum diotak-atik, Social Wall tidak lebih dari sekedar tembok dengan mata yang terus mengikuti gerak-gerik manusia yang berada satu ruangan dengannya.

Perlahan-lahan Social Wall makin dikenal di desa kecilnya Iris. Hampir setiap Sabtu dan Minggu, Iris bisa melihat petugas-petugas “Sungsang Cell and Electronic” ,dengan seragam hitam-hitamnya, mondar mandir keluar masuk beberapa rumah secara bergantian. Apalagi yang mereka lakukan kalau bukan melakukan instalasi Social Wall di rumah-rumah penduduk. Rumah juragan emas, Koh Ahau, yang terkenal paling kaya satu kampung, tampaknya memesan pemasangan Social Wall hampir di setiap tembok di sudut rumahnya.

“Oe kan olang kaya oo, pasang-pasang beginian masih mulah banget lah buat oe. Oe pasang 3 di kamal oe, 2 di kamal anak oe, dan 2 di kamal mandi.”

Pak Kades sepertinya tidak mau kalah dengan Koh Ahau yang dari kemarin terus menyombongkan jumlah temboknya yang dipasangi Social Wall. Pak Kades memasang  delapan Social Wall sekaligus, satu buah lebih banyak dari jumlah tembok Social Wall di rumah Koh Ahau. Warga yang lain--bukan karena tidak mau ikut menyombong, tapi karena tidak punya duit—Cukup memasang barang dua tiga buah saja.

Bertahun-tahun berlalu semenjak Social Wall nge-hits di kampungnya Iris, Iris kecil telah bertumbuh jadi seorang gadis yang cantik jelita. Di usianya yang menginjak 12 tahun, ia menjadi seorang kembang desa yang tak terperikan indah wajahnya. Tidak hanya Iris yang bertumbuh kembang dengan pesat, Social Wall yang disaksikan langsung oleh Iris “proses kelahirannya” di kampungnya itu juga telah menjamur keberadaannya. Hampir di setiap rumah bisa ditemukan Social Wall, dengan jumlah yang terus bertambah setiap tahunnya. Malah terkadang lebih mudah menemukan rumah dengan Social Wall daripada menemukan rumah dengan pesawat telefon.

Iris kecil tidak lagi kecil. Ia sudah mulai bisa memahami dan mencerna apa yang sebenarnya terjadi di kampungnya ini. Ia sudah mengerti apa sebenarnya maksud dari pemasangan tembok-tembok dengan mata ini di rumah-rumah. Bahkan Iris tidak hanya sekedar mengerti, ia juga telah menjadi bagian dari keluarga besar pengguna Social Wall di seluruh negeri. Iris sudah mulai tergila-gila pada Social Wall.

Kalau dilihat-lihat, Social Wall yang dulu cuma di satu sisi tembok  kamar Iris, sekarang sudah beranak pinak menjadi tiga. Tiga sisi tembok kamar Iris disulap menjadi tembok dengan mata. Awalnya memang cuma sebuah tembok dengan mata. Namun, semakin sering digunakan, tidak hanya mata yang akan timbul. Telinga dan mulut, akan segera muncul seiring waktu Iris menggunakan tembok itu. Ada banyak fitur yang bisa digunakan, dan semua fitur itu berakhir ke satu tujuan yang sama, memberitahukan pada dunia apa yang sedang kita lakukan dan mengetahui juga apa yang orang lain lakukan karena kita adalah bagian dari dunia itu.

Setiap hari, sepulang sekolah Iris langsung masuk ke dalam kamar, tidak makan siang dulu, tapi langsung memencet-mencet beberapa tombol yang sekarang sudah tersedia di masing-masing tembok.

“Aku sudah pulang di rumah, sekarang aku mau makan siang dulu”. Suara iris diterima oleh tembok yang ber-“telinga”, gambaran Iris yang masih terbungkus seragam sekolah lengkap tertangkap oleh tembok dengan mata besar di tengahnya. Melalui serangkaian satu proses canggih, informasi-informasi tersebut ditransmisikan ke seluruh tembok Social Wall yang ada di seluruh belahan dunia.

 “The World Deserves to Know It All” atau “Dunia berhak mengetahui segalanya” adalah slogan yang dimiliki oleh perusahaan Social Wall. Visi pendirian perusahaan ini adalah untuk menghubungkan satu orang dengan orang lainnya di seluruh dunia. Dunia berhak tahu tentang apa saja yang sedang, akan, atau baru saja dilakukan oleh makhluk yang mendiaminya. Dan slogan tersebut sudah benar-benar tertancap kuat-kuat di dalam hati Iris. Diimaninya slogan tersebut bagai syahadat.

Karena kuat nya iman Iris, dia tak akan pernah lega mengerjakan sesuatu kalau belum memberi tahu dunia lewat Social Wall. Mau belajar, Social Wall dahulu. Mau tidur, ucapkan salam dulu pada tembok. Bangun pagi hari, yang dicari tentu saja tembok-tembok kamarnya. Mau sarapan pun Iris wajib memberi tahu dunia makanan apa yang akan menjadi santapannya pagi ini. Jangan bayangkan Iris harus mengambil piringnya yang berisi makanan, lalu kembali ke kamar untuk memperlihatkannya pada tembok-tembok ajaibnya. Saat ini, Social Wall sudah terpasang hampir di seluruh ruas dinding yang ada di rumah. Maklum, status ekonomi keluarga Iris sudah semakin meningkat semenjak bapaknya diangkat menjadi kepala staff cabang di salah satu bank pemerintah.

“Ibu, Iris pergi dulu ya.” Tidak ada jawaban.

“Ibuuu, Iris pergi dulu ya”. Kali ini Iris setengah berteriak. Namun masih saja Ibu nya diam.

“IBUUU IRIS PERGI DULU YA, POKOKNYA IRIS PERGI DULU”.

“Iya iya nak! Kalau mau pergi, ya pergi saja! Ibu sedang ngobrol sama Tante Jah ini di Wall Chat!”

Bukan cuma satu dua kali hal ini terjadi. Pemandangan tersebut bisa kita lihat setiap pagi di rumah Iris. Tidak, bukan hanya rumah Iris. Rumah Koh Ahau juga begitu. Bahkan urusannya boleh jadi lebih runyam. Tapi serunyam-runyamnya keributan di rumah Koh Ahau, tentu saja lebih runyam di rumah Pak Kades. Seperti yang sudah dikira, tingkat kerunyaman ini berbanding lurus dengan jumlah tembok yang terpasang Social Wall.

Social Wall memang membuat komunikasi jarak jauh menjadi lebih mudah. Fitur-fitur canggihnya membuat kita bisa tahu masak apa Bu Kades untuk makan malam, berapa ukuran sepatu Pak Kades, atau bagaimana kelanjutan hubungan Mirna, Anak Pak Kades, dengan bujang kampung sebelah yang katanya pengangguran itu. Istilah ringkasnya, Social Wall mendekatkan yang saling berjauhan. Namun herannya, tembok-tembok itu justru menjauhkan yang sudah dekat. Suasana ruang makan Iris yang dulu selalu hangat oleh perbincangan remeh temeh keluarga kampung, kini menjadi dingin karena semua sibuk memperlihatkan makanannya pada mata-mata di tembok.

Koh Ahau rusuh dengan istrinya karena tertangkap basah mengirimkan pesan mesra untuk Amei, janda kembang yang saat ini tinggal sendiri 3 rumah dari rumah Koh Ahau. Memang di Social Wall kita bisa melihat aktivitas masing-masing pemilik tembok, seperti berkirim pesan (tembok yang memiliki telinga akan menerima pesan, dan pesan tersebut akan disampaikan ke tembok tujuan lewat tembok yang bermulut). Tampaknya Koh Ahau tidak cukup lihai untuk memilih cara berselingkuh yang lebih aman dan rahasia.

Masalah-masalah yang ditimbulkan Social Wall makin hari makin meresahkan saja. Tidak hanya sebatas di kampungnya Iris saja. Di kampung-kampung lain, bahkan di ibu kota, timbul masalah yang sama. Runyamnya, bukan cuma masalah remeh temeh seperti Koh Ahau yang ketahuan “main api” oleh istrinya, tapi masalah yang sudah melibatkan orang-orang penting dan dunia hukum.

“Pa, sudah papa lihat belum itu kasus seorang pemuda di Ibukota yang dituntut seorang pembesar atas tuduhan pencemaran nama baik?”

“Yang di headline koran pagi tadi? Sudah ma. Dasar tolol juga itu orang, sembarangan komentar saja dia di Social Wallnya. Tak tahu etika lah orang-orang seperti itu. Dipikirnya bisa menumpahkan apa saja unek-uneknya secara langsung di Social Wall.”

“Tapi kan memang belum ada peraturan resminya pa. Mana bisa harusnya asal tuntut?”

“Namanya juga orang besar. Kalau belum ada peraturannya, tinggal dia bengkokkan saja peraturan yang ada. Habis itu cepat-cepat dibuat peraturannya biar publik tidak banyak yang sangsi.”

Kasus terus bermunculan. Undang-undang yang mengatur penggunaan Social Wall dan media komunikasi dalam jaringan lainnya dirampungkan dengan cepat. Tunggu, media komunikasi dalam jaringan lainnya? Namanya juga ada gula ada semut. Kesuksesan Social Wall sebagai pionir media komunikasi daring, atau yang awamnya disebut media sosial, membuat beberapa perusahaan media sosial lain ikut menyemarakkan persaingan. Tidak semuanya menelurkan produk yang sama persis seperti Social Wall, hanya saja berpijak pada satu fondasi yang mirip-mirip. Produk-produk baru melakukan diferensiasi agar tidak membosankan di hadapan publik. Mereka mengisi ruang-ruang kosong nan potensial yang masih tidak bisa dipenuhi oleh keberadaan Social Wall. Seperti media sosial “Red Street” yang hampir sama dengan Social Wall, namun dapat digunakan di jalan atau tempat-tempat umum untuk berbagi foto, dan lokasi saat ini.

Iris berusia 17 tahun di saat ia menggunakan hampir semua media sosial yang ada. Teman-temannya di Red Street, Blue Chirp, Polargram, dan tidak lupa Social Wall, sudah menjadi pengganti teman-teman manusia sungguhan di dunia nyata. Bahkan pacarnya pun dikenal dari media sosial. Berawal dari sekedar permintaan pertemanan yang diterima, berlanjut ke obrolan ngalor ngidul, sampai ke tahap pengungkapan perasaan. Sesudah Iris jatuh hati, mulailah si pria melancarkan siasat keparatnya.

“Iris, bosen nih lihat foto kamu yang begitu-begitu terus. Boleh abang minta foto yang lebih terbuka nggak?”

Atas nama cinta, Iris yang masih hijau mau saja mengirimkan foto bugilnya kepada pria hidung belang yang dipanggilnya “Abang Glen” ini. Abang Glen lebih tua 5 tahun dari Iris, mengaku bekerja sebagai manager salah satu perusahaan asuransi ternama di ibukota provinsi kampungnya Iris.

“Ris, abang jadi pengen lihat kamu langsung. Gemes abang liat foto kamu barusan. Kita ketemuan yuk?”

Lagi-lagi mudah saja bagi Abang Glen yang sudah berpengalaman dengan wanita untuk mendapatkan apa yang dia mau dari Iris. Tanpa restu dari orang tua, Iris bertemu dengan Abang Glen yang baru pertama kali dilihatnya di dunia nyata. Lumayan ganteng pikir Iris, tapi kok tampangnya tidak seperti manager perusahaan ya. Lebih seperti penjaga warnet dekat rumah Iris. Tapi tak apalah, mungkin dia rendah hati.

Sedikit demi sedikit lama-lama menjadi bukit. Berawal dari bertemu untuk makan siang, lalu nonton, lalu main arcade, karena kemalaman akhirnya Iris diajak bermalam di kos Abang Glen. Terpaksa Iris harus berbohong dengan mama papanya, bilang kalau dia menginap di rumah temannya, Tania. Karena ranjang di kos Abang Glen hanya ada satu, terpaksalah Iris mau tidur bersebelahan. Dengan Iris di sebelahnya, lengkap sudah rencana licik si abang untuk merenggut keperawanan Iris. Lewat tipu muslihatnya sekali lagi, Iris mau saja diambil kehormatannya oleh pria yang baru ditemuinnya.

2 bulan berselang, Iris hamil. Abang Glen tidak tahu ke mana. Identitas di Social Wall pun palsu. Tidak ada Abang Glen yang manager perusahaan asuransi. Foto-foto bugil Iris tersebar di seluruh media sosial. Malu sudah mama dan papa. Hancur sudah masa depan Iris. Cepat sekali semuanya berubah!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun