“Bosen nggak sih, tiap tahun begitu mulu rencana kita”
“Ya bosen, tapi daripada ngandondi rumah saja, pa. Keliling-keliling kota sendiri sampai kucing bertanduk juga masih belum banyak perubahannya.”
“Emang kota lain banyak perubahannya?”
“Ya, tidak juga sih. Namun paling tidak kita enggakngeliat kota lain yang katamu tidak banyak perubahannya juga itu setiap hari.”
Memang pelik kalau sudah membicarakan soal mau ke mana liburan tahun ini. Baru saja 2 tahun menikah, sudah banyak sekali tempat wisata yang aku dan istriku lalap habis. Maklum, pasangan muda yang masih penuh gairah, ingin mencicipi setiap sudut bumi sebagai tempat berwisata dan bercinta. Dalam dan luar negeri. Dari titik nadir sampai titik nadirnya.
“Sebenarnya satu ya, sayang, yang membuatku malas itu. Tiap pergi, ke mana saja, mau sampai ke tempat liburan dengan biaya tur paling mahal sekalipun, yang kita lakukan selalu sama. Datang-datang, menikmati hotel. Baru sejenak, cari makan, wisata kuliner. Lalu pergi ke tempat-tempat eksotis, mengambil foto, membeli cinderamata, berkenalan dengan penduduk setempat, bermain sesuatu yang ekstrim dan hampir mencabut nyawa, lalu pulang lagi ke hotel. Beberapa hari, paket wisata sudah habis.”
“Ya itulah liburan, suamiku. Apa yang kamu sebutkan itu kan memang holiday in a nutshell.Masa kamu mau liburan yang nggabiasa? Misal, kamu libur lalu kamu disuruh membuat neraca atau laporan keuangan. Atau disuruh mengatur rencana perjalanan bisnis atasanmu. Itu bukan esensi dari liburan. Walaupun, harus diakui, emang tidak biasa sih.”
“Itu namanya kontra-liburan. Ya nggakyang begitu juga, sayang.”
“Jadi yang bagaimana?”
“Entahlah.”
Baru saja 2 tahun menikah tapi memutuskan soal mau liburan ke mana saja sudah sulit. Sudah mulai bosan. Apakah ini yang orang bilang after-marriage dullness?