(Tanggapan atas artikel, Ahmad Syafii Maarif yang berjudul “Pembunuh Itu Bernama Nikotin”, Kompas 19 Januari 2016)
Kita barangkali tak habis pikir terhadap pendapat Buya Ahmad Syafii Maarif yang lebih percaya kepada Tara Singh Bham, seorang konsultan tembakau asal Nepal, yang menemuinya bersama tim Muhammadiyah Tobacco Control Center, daripada mempercayai keyakinan anak-anak negeri sendiri dan pengetahuan lokal yang telah teruji ratusan tahun. Tentu hal ini terkait nikotin (tembakau; rokok) yang disimpulkannya sebagai ‘pembunuh’.
Kesimpulan Buya Syafii Maarif diambil setelah pertemuan dengan Tara Singh Bham pada 14 Januari 2016. Dalam pertemuan tersebut, rupanya Tara menujukkan data di antaranya tak kurang Rp11 triliun dikeluarkan untuk penanggulanan kesehatan akibat rokok dan diungkapkan pula terdapat 235.000 orang angka kematian akibat rokok.
[caption caption="bungkus rokok siyem"][/caption]Tetapi, data-data tersebut patut dicurigai. Biaya kesehatan itu apakah sama dengan penelitian lain yang mengaitkan rokok dengan aspek kesehatan terdahulu, yang memandang rokok dengan kacamata kuda? Artinya, semua penyakit degeneratif disebabkan oleh satu faktor; rokok.
Tarikan kesimpulan itu, rokok sebagai penyebab tunggal dari berbagai penyakit, barangkali terlalu gegabah. Sebab, ada berbagai faktor yang menyebabkan timbulnya suatu penyakit, yang kemudian terakamulatif dalam tubuh si penderita. Baiklah, kita abaikan siapa yang memberi donor dari penelitian yang dilakukan oleh peneliti asing tersebut. Tetapi ada pertanyaan besar lain, kenapa hanya rokok yang dipersoalkan? Bukannya makanan cepat saji semacam Mc Donald’s, KFC, dan semacamnya yang berisiko besar bagi kesehatan?
[caption caption="orang merokok"]
Penelitian manipulatif tersebut dibongkar oleh dua peneliti, Robert A. Levy dan Rosalind B Marimont dalam Lies, Damned Lies & 400.000 Smoking Relating Deaths. Penelitian tersebut membongkar penelitian mengada-mengada dalam penetuan angka kematian akibat rokok. Menurut kedua peneliti tersebut, prosedur penelitian tersebut memiliki celah ilmiah. Di antaranya ialah, angka kematian akibat rokok merupakan estimasi yang digeneralisasi melalui program komputer SAMMEC (Smoking Associated Mortality, Morbidity, and Economics Cost).
Program tersebut mengategorikan penyakit-penyakit yang memiliki hubungan dengan rokok adalah jika risiko kematian bagi perokok melebihi risiko kematian untuk yang tidak merokok. Risiko relatif sekali pun, yang berrasio 1 disimpulkan menunjukkan hubungan antara rokok dengan kematian. Padahal, standar rasio bisa diterima secara ilmiah di angka rasio minimal 2.
Baiklah, sekali lagi, sebaiknya kita berbaik sangka dengan tidak perlu mempertanyakan peneliti asing yang dipercaya Buya Syafii Maarif mendapatkan pendanaan darimana dan mengusung kepentingan apa. Tetapi melalui prosedur ilmiah, data yang dikutip oleh Buta Syafii Maarif tidak dapat dipercaya.
Kesimpulan yang diajukan oleh Buya Syafii Maarif yang menyatakan nikotin sebagai pembunuh orang merokok tidak bisa diterima, bahkan cenderung menyesatkan.
Nikotin (C10H14N2) memang merupakan zat yang identik dan secara alamiah terkandung dalam tembakau. Tetapi, jangan salah, nikotin alamiah lain juga hadir dalam kehidupan sehari-hari karena zat ini juga terkandung dalam kembang kol (3,8 gram nikotin), terong (10 gram nikotin), kentang (15,3 gram bagian isi dan kulit 4,8 gram), dan tomat (42,8 gram nikotin). Barangkali Buya Syafii Maarif juga mengkonsumsi ‘pembunuh’ itu, tapi tak apa, kami tetap berharap berharap Buya Syafii Maarif sehat selalu.
[caption caption="rokok"]
Penjualan nikotin yang dikemas dalam bentuk rokok di Indonesia memang tumbuh dan berkembang seabad terakhir. Dan berhasil menjadi industri yang mampu menjadi sokoguru perekonomian nasional, yang skala industrinya terbesar, dari Aceh hingga Papua. Terkait keuntungan dari negara dari industri nikotin ini sebaiknya tidak perlu dirinci lebih jauh, cukup saja kita nilai dari setoran cukai tahun lalu yang mencapai Rp 139,81 triliun.
Lebih dari itu, dari industri yang digdaya tersebut, terciptalah lapangan pekerjaan bagi anak-anak negeri sendiri. Mereka yang selama ini menanam tembakau dan cengkeh di ladang-ladang, juga para buruh di pabrik yang setiap hari melinting tembakau, serta para pekerja yang selama ini mempertahankan hidupnya dari pekerjaan yang memiliki kaitan dengan industri hasil tembakau.
[caption caption="orang merokok"]
Jawaban cak Nun singkat saja, namun memberi pencerahan dan ketentraman bagi para petani tembakau, orang-orang bersahaja itu.
“Saiki ngene, sing nyiptane mbako kui sopo?” tanya balik Cak Nun, kepada ribuan petani tembakau di Alun-alun Temanggung, 15 April 2015. Artinya, sekarang begini, yang menciptakan tembakau itu siapa?
“Kanjeng pangeran (Sang pencipta),” jawab para petani tembakau itu.
Cak Nun kemudian membesarkan hati para petani tembakau, yang hasil kerja mereka dianggap merusak kehidupan, bahkan ‘membunuh’. “Ora mungkin Gusti Allah, Kanjeng Pangeran, nyipta’ne sesuatu sing elek, sing ana dielek-elekne.” (Tidak mungkin Gusti Allah, Kanjeng Pangeran, menciptakan sesuatu yang jelek, yang ada dijelek-jelekan).
“Tembakau itu biasa disebut mbako’, dari kata dalam bahasa Arab baqa’ artinya abadi, tembakau itu pohon keabadian,” jelas Cak Nun. Kemudian ia menyampaikan pesan, “teruslah menanam tembakau, suburkan ladang-ladangmu.”
Dan dari apa yang mereka kerjakan, bergelut dengan lumpur dan ibu bumi, untuk tembakau semoga senantiasa memberikan penghidupan bagi mereka dan anak keturunan mereka. Juga bagi petani cengkeh, buruh pabrik rokok, dan para pekerja yang terlibat dalam industri nikotin.
Foto oleh : Eko Susanto
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI