Mohon tunggu...
Roko Patria Jati
Roko Patria Jati Mohon Tunggu... Dosen - A Scholar Forever

A teacher plus scholar forever...

Selanjutnya

Tutup

Politik

Jokowi "Dibela" Karena "Wong Cilik"

9 Juli 2012   04:16 Diperbarui: 25 Juni 2015   03:09 2174
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

"Kapan saya mendukung Jokowi? Saya tidak pernah mendukung Jokowi."

Itulah penuturan yang menurut pengamatan penulis telah menjadi sikap umum warga Solo (Wong Solo), Tidak mendukung 100% Jokowi maju sebagai The Candidate di DKI 1, toh juga tidak ber-KTP DKI, tapi kalau ada yang merendahkan apalagi melecehkan, maka ibarat kata "Lo Jual Gue Beli".

Sikap yang tidak mendukung, tapi tidak mau juga bila orang atau pihak lain merendahkan "Bapak"-nya itulah yang menghinggapi dan mewarnai masyarakat Solo saat ini, sehingga penulis istilahkan dengan "PEMBELAAN".

Mau menang di DKI ya sukuran, dan kalah pun tidak "pateken" (sempat dipopulerkan Soeharto). Mereka (masyarakat) cenderung tidak mau dipusingkan dengan politik praktis, itu semacam RULE #1 (Number One). Karena memikirkan kehidupan dan penghidupan hari ini jauh lebih penting dari gonjang-ganjing atau Kiamat Politik sekalipun.

Awalnya bahkan tidak sama sekali dihiraukan tentang berita pencalonan Jokowi menjadi Cagub DKI, "Ah, itu paling isu atau rumor". Baru ketika Jokowi benar-benar "diajukan" ke KPU pada Senin (19/3), hebohlah masyarakat Solo dibuatnya. Dengan tetap mengikuti RULE #1 (Number One), sebagian cerdik cendekia di Kota Bengawan kemudian merapatkan barisan, dengan tidak "grudukan" (rame-rame) memberi dukungan, tapi duduk manis untuk membincangkan fenomena politik yang bisa dibilang "unik" ini. "Kita itu masih "ngeman" (pengen terus memiliki) Pak Jokowi, tapi belum selesai masa jabatan sudah harus "diboyong" ke Jakarta, ada apa gerangan?" Baca Solo Pasca Jokowi: Antara 2 Diskusi, untuk lebih memberikan gambaran.

Waktu saya jalan-jalan pagi di Car Free Day (CFD), saya lihat tertampang di spanduk bertuliskan survey Jokowi bila ke Jakarta, Jokowi ke Jawa Tengah, Jokowi tetap di Solo, yang di Solo itu jumlahnya 90 % , yang di Jakarta sedikit dan yang di Jawa Tengah lebih banyak. Ini berarti rakyat Solo masih sangat mencintai Jokowi, data ini saya sampaikan dari yang saya baca di Car Free Day”, tutur seorang warga.

Terang saja dalam survey jalanan di ajang CFD mencapai 90%, cocok dengan hasil Pilkada kali keduanya, dimana Jokowi meraih 248.243 suara atau 90,09% suara, unggul jauh di atas pesaingnya Eddy Wirabhumi yang hanya mendapatkan 7.140 suara atau 9,91% suara. (DJ. Respati, 2012)

DIBELA KARENA "WONG CILIK"

"Orangnya kecil, tapi semangatnya besar. Yang penting itu kan?," ujar Shinta Nuriyah Wahid (17/6) yang sekaligus memberikan pemaknaan #1 (pertama) terhadap "Wong Cilik" itu sendiri. Wong cilik dalam pemaknaan pertama bisa diartikan sebagai orang yang kecil dari segi penampilan fisik (tubuh). Kecil tubuhnya, tapi gede semangatnya, kira-kira begitu. Dan pemimpin bertubuh kecil (kurus) kini mungkin sedang digemari setelah munculnya Presiden Obama yang juga bertubuh ceking, daripada pemimpin bertubuh besar dan tambun tapi tidak memiliki semangat yang mampu mengimbangi.

Pemaknaan #2 (kedua) dan justru lebih penting dari sekadar bentuk fisik adalah bahwa Jokowi memang "Wong Cilik" yang sebenarnya, bukan sekadar "jargon politik" apalagi gembar-gembor belaka. Ia berasal dari orang kecil dan tidak merasa jumawa (gumede) setelah dirinya sekarang menjadi orang besar. Dia tidak sama sekali meremehkan orang lain, bahkan menghargai dan mengangkat derajatnya.

Tidak lantaran sudah besar kemudian mau menang sendiri berebut seat pesawat, tidak, atau tidak pula ketika sudah bergelar Doktor-Inc (incumbent, pen) misalnya, kemudian mengatakan yang lain "beda posisi atau tidak berpengalaman" (baca komentar Mario Teguh, tentang perilaku NDESO tersebut).


"Bapak justru lebih senang duduk di seat pesawat paling belakang, atau kalau tidak ada juga di depan, asalkan dekat pintu sehingga bisa cepat keluar dan tetap pesan kelas ekonomi, karena menurut Bapak toh  sampainya juga barengan. Sampai di Bandara juga sering naik taksi saja ke tempat tujuan."

Disamping itu, melengkapi pemaknaan "Wong Cilik" #2 (kedua), Jokowi memang benar-benar cilik dari segi dukungan politik dan organisasi. Bila dibandingkan dengan partai pengusung kandidat DKI 1 lainnya semisal Demokrat dan PKS, maka partai pengusung Jokowi ini masih dibilang kecil di Jakarta. Jokowi juga tidak memiliki almamater organisasi sekalipun selain dulu pernah 2 tahun di Asosiasi Mebel, itu saja, sementara calon lain berlatar belakang HMI, GMNI, PMII, dan seabrek lagi.

Di PDIP sendiri siapa sih Jokowi, selain seorang kader "dadakan" yang maju dalam Pilkada Solo 2005, yang kebetulan menang dan berprestasi. Perlu diketahui bahwa Jokowi bukanlah kader tulen PDIP, bahkan sebelum maju pencalonan AD 1 (walikota Solo), Jokowi pernah melakukan penjajakan maju dari jalur lain,  Partai Amanat Nasional (PAN). Singkat cerita, Jokowi lebih memandang "strategis" PDIP di kota yang memang berbasis politik merah, itu saja.

Meski Solo bisa dikatakan berbasis merah, namun Jokowi (dan Mudrick Sangidoe, tokoh "Mega-Bintang") lah yang mampu "mempersatukan" Solo, menjembatani serta membuat hubungan mesra antara massa merah dan hijau, bahkan pada mereka yang berpemikiran radikal dan konspiratif sekalipun.

Aneh dan kurang kerjaan bila istrinya kemudian dikait-kaitkan dengan Yahudi, Dahlan Iskan juga Yahudi, atau jangan-jangan mereka yang melempar isu itu sendiri yang adalah orang Yahudi. Katanya berdasar pada penempatan istri Jokowi sebagai anggota kehormatan Rotary Club. Memang kerjaan Rotary Club itu merekrut para pejabat (& istri) menjadi anggota kehormatan. Dan bila ada organisasi lain yang menginginkannya menjadi anggota kehormatan juga sah-sah saja, tinggal merekrut saja, jadi tidak ada dasar kuat untuk itu.

Kalangan agamis di kota Bengawan terkenal independen dan tidak mudah takluk oleh bujuk rayu politik praktis, apalagi dengan iming-iming uang. Tapi, bagaimana mereka bisa tidak takluk mendengar cerita Jokowi yang justru memposisikan diri tidak mau menodai agama berikut ini (baca selengkapnya).


“Jika saya datang tepat waktu, paling saya disuruh ke mimbar untuk ngasih sambutan, kan? Saya tak mau menodai pengajian dengan politik, apalagi menjelang Pilkada,” ujarnya.

Dengan demikian, tokoh yang "beda posisi dan tidak berpengalaman" ini memang layak untuk "dibela" dan mendapatkan pembelaan yang semestinya dari para pencintanya, siapa saja, tak hanya merah, hijau, putih, kuning, kelabu, tak hanya dari yang sekampung halaman, tapi seluruh "Wong Cilik" dan pendamba "Wong Cilik" untuk menjadi pemimpin serta memberi warna baru bagi politik Indonesia ke depan.

Menang kalah itu urusan lain, toh juga tidak pateken. Salam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun