Mohon tunggu...
Roko Patria Jati
Roko Patria Jati Mohon Tunggu... Dosen - A Scholar Forever

A teacher plus scholar forever...

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Akankah Bakrie Lepaskan Ali Azhar (Penulis Lapindo)?

26 Juni 2012   00:27 Diperbarui: 25 Juni 2015   03:32 1179
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_197062" align="aligncenter" width="320" caption="Karni Ilyas di ILC (tvonenews.tv)"][/caption] Phobia, itulah perasaan awal yang muncul dalam memulai tulisan yang berkategori Sosial Budaya (Sosbud) namun menyinggung politik ini, terlebih ketika harus menyinggung nama-nama besar seperti keluarga Bakrie, SBY, Karni Ilyas, Ali Azhar Akbar (penulis buku "Lapindo, Konspirasi SBY-Bakrie"), dsb. Atau juga ketika harus menyinggung media-media ternama sekelas Metro TV, TV One, dan Kompas Grup (Kompasiana). Phobia Pertama adalah ketika pihak "yang merasa terganggu" kemudian melakukan upaya teror dan upaya-upaya konspirasi lainnya semacam "hilang"-nya Sdr. Ali Azhar Akbar (naudzubillahi min dzalik). Istilah "konspirasi atas hilangnya" (entah sementara atau permanen) dirasa lebih tepat daripada istilah "konspirasi penghilangan" atau "penghilangan" yang cenderung bermakna permanen seperti jaman orba. Apabila sementara, berarti ada saatnya si subjek (target) akan dilepaskan setelah sebelumnya dikondisikan. Dengan tidak bermaksud suudzon (ada baiknya dicek keluarga), tapi memang "konspirasi hilangnya seseorang" dikenal dalam dunia politik di Indonesia. Itulah mengapa dibentuk KONTRAS (Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan).

"Berita hilangnya Ali Akbar ini adalah sesuatu yang serius dan bukan main-main (apalagi permainan media). Dan apabila benar demikian adanya, maka hendaknya yang terdekat (keluarga) sesegera mungkin menindaklanjutinya dengan melapor ke KONTRAS."

Phobia Kedua, yaitu manakala bukan orang, melainkan tulisan ini yang coba dihilangkan, dipinggirkan, dan tidak diberi tempat yang semestinya oleh media, padahal setidaknya tulisan ini bisa menjadi perimbangan atas berserakannya tulisan dari "akun kloningan" tentang tema terkait (Lapindo) (Lihat tulisan Kompasianer Ira Oemar yang inspiratif). Hari Yang Aneh Selain Mbak Ira Oemar yang membongkar sekian banyak akun kloningan ber-"misi khusus", ternyata ada pula kompasianer lain yang dengan jelinya mengungkap keistimewaan akun dan kolom khusus Hidayat-Didik (Timses HNW) di Kompasiana. Lengkaplah sudah bahwa kemarin (Senin, 25 Juni 2012) memang benar-benar hari yang aneh dalam memahami media massa, tidak luput Kompasiana. Sebelumnya, sama sekali tidak ada kepekaan seperti Mbak Ira sehingga harus mengecek sampai pada latar kompasianer pemberi nilai dan komentar, tapi ternyata kejelian seperti itu perlu dan akhirnya menghasilkan tulisan analitik yang sampai sejauh ini paling bermanfaat/inspiratif terkait dengan Kompasiana. Atau mungkin saking cuweknya sehingga kolom baru bertajuk "Hidayat-Didik" bisa-bisanya terlewatkan. Akankah Bakrie Lepaskan Ali Azhar? Kata "lepaskan" untuk judul diatas sebenarnya tidak bermakna literal bahwa Bakrie saat ini dalam posisi "mengurung" dan kemudian dituntut untuk "melepaskan", bukan seperti itu. Bahkan, Bakrie pun bukan berarti dia sendiri yang harus "melepaskan", tetapi media massa miliknya-lah yang harus "melepaskan, merilis, mempublish, atau mem-blow up" perihal kasus yang menimpa Ali Azhar tersebut. Terlebih lagi terdapat satu program unggulan bernama "Indonesia Lawyers Club (ILC)", klub (kumpulan)-nya para pengacara tersohor yang selama ini ditonton ribuan orang dan dianggap mampu memberikan pencerahan hukum dan politik. Karni Ilyas dengan segenap reputasinya tentu tidak diragukan lagi dalam hal profesionalitas memilih dan memilah (menentukan) tema-tema ILC yang tayang setiap Selasa malam (hari ini). Tidak ada keraguan sebenarnya, namun untuk tema yang satu ini (LAPINDO), nampaknya Karni Ilyas perlu lebih didorong dan dikuatkan mentalnya. Karena walau bagaimanapun, Karni Ilyas hanyalah manusia biasa dan ILC juga buatan manusia yang terkadang memiliki muatan-muatan politis tertentu, entah disengaja atau tidak. PSSI misalnya, bahkan tidak bersedia menghadiri ILC lantaran menilai TV One dalam posisi yang tidak netral (berpihak). Semoga saja, entah edisi besok atau minggu depan atau secepatnya, ILC akan menangkap keseriusan kasus yang berimplikasi pada gugatan di Mahkamah Konstitusi (MK) tersebut. Perlu diketahui bahwa Ali Azhar adalah saksi kunci uji materi Pasal 18 UU Nomor 4 Tahun 2012 tentang APBN-P 2012 yang mengatur upaya penanggulangan lumpur Lapindo. Ali Azhar yang mengatakan bahwa Tragedi Lapindo adalah murni technical default (kesalahan teknis) pengeboran dan bukan bencana alam itu dikabarkan telah sepekan tidak bisa dihubungi ataupun menghilang. Baca selengkapnya disini. Setali Tiga Uang: TV One dan Metro TV TV One mungkin belum seberapa parah ketika berpihak dalam kasus perseteruan PSSI, disisi lain dia masih 'netral' dalam penyampaian berita politik mengenai "Politik Uang Nasional Demokrat (Nasdem)" di saat Metro TV gencar berkampanye Nasdem dan minim atau tidak sama sekali menyinggung politik uang Rp 5-10 M per Caleg Nasdem. Di saat Najwa Shihab takut diseret-seret namanya dalam Pemilihan Gubernur (Pilgub) DKI, Metro TV justru kentara dengan kampanye pencitraan pada calon gubernur tertentu. Quo Vadis Kompasiana? Nah, sekarang giliran kompasiana yang hari kemarin diketahui sedikit berpihak. Entah bagaimana besok hari dengan nasib kolom spesial "Hidayat-Didik", yang jelas keberadaan kolom tersebut telah digugat 2 (dua) kompasianer plus 1 (satu, penulis) dan mengusik serta mencoreng rasa keadilan dalam sebuah euphoria kehadiran Citizen Journalism. Profesionalisme tentu akan mengarahkan Admin pada sebuah klarifikasi, namun sampai saat ini belum sama sekali ditemukan tulisan berjenis itu. Bila dibiarkan, tentu kompasianer yang ribuan jumlahnya dan cerdas-cerdas ini akan terus melontarkan kritikan-kritikan atau setidaknya liar dalam terkaan tentang  Quo Vadis Kompasiana. Terakhir, sedikit mengunggah ulang puisi inspiratif karya Adhie Massardi untuk lebih mengingatkan media massa di sebuah negeri yang "bedebah" agar tidak ikut-ikutan menjadi media massa yang "bedebah". Media massa hendaknya tetap menjaga netralitas di tengah pertempuran politik negeri ini yang semakin lama semakin sengit dan brutal saja.

Puisi Negeri Para Bedebah

Karya:Adhie Massardi Ada satu negeri yang dihuni para bedebah Lautnya pernah dibelah tongkat Musa Nuh meninggalkan daratannya karena direndam bah Dari langit burung-burung kondor jatuhkan bebatuan menyala-nyala Tahukah kamu ciri-ciri negeri para bedebah? Itulah negeri yang para pemimpinnya hidup mewah Tapi rakyatnya makan dari mengais sampah Atau jadi kuli di negeri orang yang upahnya serapah dan bogem mentah Di negeri para bedebah Orang baik dan bersih dianggap salah Dipenjarakan hanya karena sering ketemu wartawan Menipu rakyat dengan pemilu menjadi lumrah Karena hanya penguasa yang boleh marah Sedang rakyatnya hanya bisa pasrah Maka bila negerimu dikuasai para bedebah Jangan tergesa-gesa mengadu kepada Allah Karena Tuhan tak akan mengubah suatu kaum Kecuali kaum itu sendiri mengubahnya Maka bila negerimu dikuasai para bedebah Usirlah mereka dengan revolusi Bila tak mampu dengan revolusi, Dengan demonstrasi Bila tak mampu dengan demonstrasi, dengan diskusi Tapi itulah selemah-lemahnya iman perjuangan

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun