Kasus kekerasan seksual di Indonesia yang dilakukan terhadap anak semakin hari semakin menunjukkan peningkatan. Tidak hanya dari jumlah banyaknya kasus (kuantitas), namun juga jenis kekerasan yang dilakukan semakin beragam dan semakin parah (kualitas). Menurut American Psychological Association kekerasan seksual adalah segala aktivitas seksual yang tidak diinginkan, pelaku menggunakan kekuatan yang ada, melakukan ancaman ataupun mengambil keuntungan tanpa persetujuan korban. Sedangkan menurut Ricard J. Gelles dalam Noviana (2015), kekerasan terhadap anak merupakan perbuatan disengaja yang menimbulkan kerugian atau bahaya terhadap anak-anak (baik secara fisik maupun emosional). Pengertian anak menurut Undang-Undang adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Sehingga kekerasan seksual terhadap anak adalah segala perbuatan seksual yang disengaja dan dilakukan tanpa persetujuan kepada seseorang yang berusia dibawah 18 tahun.
Menurut Sekretaris Jenderal Komnas Perlindungan Anak Samsul Ridwan, yang dilansir dalam situs Liputan6.com mengatakan bahwa jumlah aduan kasus kekerasan seksual anak pada tahun 2010 sebanyak 2.046 kasus, di mana 42% di antaranya merupakan kejahatan seksual. Pada tahun 2011 meningkat menjadi 2.467 kasus, yang 52%-nya kejahatan seksual. Sementara pada tahun 2012, terdapat 2.637 aduan yang 62%-nya adalah kekerasan seksual. Pada tahun 2013 meningkat lagi menjadi 2.676 kasus, di mana 54% didominasi kejahatan seksual. Kemudian pada tahun 2014 sebanyak 2.737 kasus dengan 52% kekerasan seksual, lalu pada tahun 2015 terjadi peningkatan pengaduan sangat tajam, ada 2.898 kasus di mana 59,30% kekerasan seksual (Putra, 2015). Sedangkan apabila dilihat berdasarkan jenisnya, kekerasan seksual yang banyak dilakukan adalah pemerkosaan, pencabulan, dan pelecehan seksual. Tingkat keparahan dari kekerasan seksual pun semakin hari semakin brutal. Mulai dari mengancam korban jika tidak menuruti permintaan pelaku untuk memenuhi nafsu bejatnya, pemerkosaan yang dilakukan oleh belasan orang bahkan diakhiri dengan membunuh korban, hingga mencuatnya berita yang tak kalah sadis adalah pelaku yang memasukkan cangkul ke dalam alat kelamin korban.
Anak-anak rentan menjadi korban pelecahan seksual karena mereka memiliki kemampuan terbatas untuk melindungi diri, merupakan sosok yang lemah dan tidak berdaya, serta memiliki ketergantungan yang cukup tinggi pada orang dewasa (Noviana, 2015). Pelaku dari tindak kekerasan seksual anak tak jarang adalah orang-orang terdekat mereka, hal ini membuat kadang perbuatan tersebut menjadi tidak diketahui. Hanya kasus-kasus berat saja yang pada akhirnya muncul ke permukaan atau dapat diketahui. Padahal dampak dari kekerasan seksual pada anak sangatlah buruk. Seorang anak yang menjadi korban kekerasan seksual dapat mengalami trauma yang berpengaruh terhadap aspek fisik, psikis, bahkan sosialnya. Menurut Margaretha Rehulina, S.Psi., P.G, Dip.Psych., M.Sc, dosen ahli Psikologi Forensik Fakultas Psikologi UNAIR, anak yang telah mengalami persoalan seksual akan timbul perasaan rendah harga diri, merasa bersalah, dan memiliki persoalan derpresif lainnya. Anak juga akan memiliki persoalan dengan relasi intimnya kelak ketika ia dewasa (Masruroh, 2016). Selain itu Dra A. Kasandra Putranto, Psikolog Klinis dan Psikolog Forensik yang tergabung dalam Asosiasi Psikologi Forensik dan Asosiasi Psikologi Klinis, dalam sebuah diskusi publik mengatakan bahwa dampak fisik yang dapat terjadi di antaranya anak mengalami cedera pada tubuhnya, mengalami perdarahan, terjangkit infeksi dan penyakit seksual. Dampak trauma hebat yang akan dialami anak korban kekerasan seksual, yakni depresi, kecemasan, gangguan makan, menurunnya rasa percaya diri atau hilangnya self esteem, bahkan yang cukup ekstrem adalah melukai diri hingga bunuh diri (Septiani, 2015).
Maka dari itu, mengingat dampak yang ditimbulkan dari kekerasan seksual pada anak sangat buruk, akan lebih baik jika kita sebagai orang terdekat khususnya para orangtua melakukan usaha preventif dengan harapan kasus kekerasan pada anak tidak terjadi. Hal-hal yang dapat dilakukan adalah memberikan pendidikan seksual sejak dini oleh orangtua maupun guru. Orangtua dan guru memilih metode yang tepat dalam proses pendidikan seksual, sehingga anak akan merasa tertarik dan dapat menginternalisasi dalam dirinya (Astuti, 2015). Selain itu menurut Waskito dalam Noviana (2015) diperlukan sinergi antara keluarga, masyarakat dan negara untuk mencegah dan mengatasi kekerasan seksual pada anak. Keluarga diharapkan menciptakan kelekatan dan hubungan emosional sehingga terdapat keterbukaan pada setiap anggota keluarga, meningkatkan pola komunikasi yang efektif pada anak, serta penanaman nilai-nilai spiritualitas juga diperlukan. Selain itu orangtua diharapkan mengenali lingkungan bermain, teman-teman, dan orang-orang terdekat sang anak sehingga dapat memberikan pengawasan lebih optimal. Peran serta negara dapat berupa pembentukan hukum dan kebijakan yang mengatur mengenai kekerasan seksual serta pemberian informasi mengenai perlindungan anak. Selain itu masyarakat dapat bekerja sama dengan berbagai pihak seperti sekolah, media, ataupun komunitas-komunitas untuk menyosialisasikan bentuk-bentuk kekerasan ataupun pelecehan seksual serta penjelasan hukum bagi pelaku kekerasan seksual sehingga masyarakat lainnya menjadi lebih tahu, hal-hal seperti ini diharapkan dapat memaksimalkan usaha preventif tindak kejahatan kekerasan seksual pada anak.
Referensi :
APA. Sexual abuse. Dipetik Juni 20, 2016, dari American Psychological Association: http://www.apa.org/topics/sexual-abuse/
Astuti, H. P. (2015). “Selamatkan Generasi Bangsa dengan Membentuk Karakter Berbasis Kearifan Lokal". PADA ANAK USIA DINI (hal. 190-197). Semarang: Publikasi Ilmiah UMS.
Bahri, S., & Fajriani. (2015). SUATU KAJIAN AWAL TERHADAP TINGKAT PELECEHAN SEKSUAL DI ACEH. Jurnal Pencerahan , Volume 9, Nomor 1, Hlm 50-65.
Masruroh, B. Q. (2016, April 26). Kenali Risiko Kekerasan Seksual Terhadap Anak Sejak Dini. Dipetik Juni 21, 2016, dari UNAIR NEWS: http://news.unair.ac.id/2016/04/26/kenali-risiko-kekerasan-seksual-terhadap-anak-sejak-dini/
Noviana, I. (2015). KEKERASAN SEKSUAL TERHADAP ANAK: DAMPAK DAN PENANGANANNYA. Sosio Informa , Vol. 01, No. 1.
Komnas Perempuan. (2016, Maret 9). Lembar Fakta Catatan Tahunan (Catahu) 2016 – 7 Maret 2016. Dipetik Juni 20, 2016, dari KOMNAS PEREMPUAN : KOMISI NASIONAL ANTI KEERASAN TERHADAP PEREMPUAN: http://www.komnasperempuan.go.id/lembar-fakta-catatan-tahunan-catahu-2016-7-maret-2016/
Putra, P. M. (2015, Desember 22). Komnas PA: 2015, Kekerasan Anak Tertinggi Selama 5 Tahun Terakhir. Dipetik Juni 20, 2016, dari Liputan6.com: http://news.liputan6.com/read/2396014/komnas-pa-2015-kekerasan-anak-tertinggi-selama-5-tahun-terakhir
Septiani, I. Y. (2015, Maret 23). Mengerikan, Dampak yang Akan Dialami Anak Korban Kekerasan Seksual. Dipetik Juni 20, 2016, dari Tabloid Nova: http://tabloidnova.com/Keluarga/Anak/Mengerikan-Dampak-Yang-Akan-Dialami-Anak-Korban-Kekerasan-Seksual
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H