Legenda ini berasal dari Desa Tegalrejo, Kecamatan Tempursari, Kabupaten Lumajang
Salah satu desa di Kecamatan Tempursari, Kabupaten Lumajang yaitu, Desa Tegalrejo. Â Desa Tegalrejo memiliki pegunungan yang membentang dari arah Utara ke Selatan. Pegunungan tersebut memiliki panjang sekitar satu setengah kilometer dan ketinggian sekitar 350 mdpl. Pegunungan itu dimanfaatkan untuk menanggulangi banjir dari luapan lahar Gunung Semeru.
Selain memiliki pegunungan yang indah, Desa Tegalrejo juga memiliki cerita-cerita yang dipercayai secara turun-temurun oleh masyarakat. Salah satu cerita yang masih melekat hingga saat ini adalah legenda Gunung Kursi. Adanya legenda tersebut menyebabkan nama pegunungan berubah menjadi Gunung Kursi.
Asal nama Gunung Kursi diambil dari seorang pemimpin yang bertapa di pegunungan tersebut. Pertapaan dilatarbelakangi oleh adanya penjajahan yang terjadi di Indonesia, khususnya daerah Mataram Yogyakarta. Bahkan sebelum Jepang menjajah Indonesia, pemimpin tersebut telah merasakan bahwa kehidupannya selama ini sia-sia dan seolah-olah tidak ada maknanya. Demi mencari makna kehidupan, pemimpin tersebut mulai mengembara untuk bertapa dalam kurun waktu yang sangat lama.
Beliau memulai perjalanannya dari Mataram Yogyakarta ke arah Timur. Akhirnya sampailah di salah satu daerah yang sekarang dikenal dengan nama Desa Tegalrejo, Kecamatan Tempursari, Kabupaten Lumajang. Beliau menemukan bukit yang ia rasa cocok untuk melakukan tempat bertapanya. Kemudian beliau mendaki bukit tersebut untuk bertapa. Setelah itu, beliau menemukan sebuah batu dan ia jadikan sebagai tempat duduk untuk bertapa.Â
"Kayaknya ini adalah tempat yang cocok untukku melakukan pertapaan. Aku akan duduk di atas batu itu untuk memperdalam makna kehidupanku," ujar pertapa dalam hati. Pertapa itu kemudian duduk di atas batu untuk mulai mengarungi alam bawah sadar.Â
Dalam hati, beliau memiliki niat untuk memperdalam makna kehidupannya sehingga beliau menemukan arti spiritualitas. Hal itu bertujuan untuk mencari makna hidup dan koneksi spiritual. Pertapa tersebut meyakini bahwa bertapa dapat menjadi cara untuk mendekatkan diri pada keagungan atau Tuhan, dan untuk mencapai pemahaman yang lebih dalam tentang diri sendiri dan alam semesta.
Pertapa tersebut duduk bersila di atas batu besar yang ia temukan. Ia memejamkan mata dan mulai memfokuskan pikirannya untuk bertapa. Dengan tenang ia mengatur napasnya, menarik napas panjang dan menghembuskannya perlahan. Suasana sunyi senyap di puncak bukit membantu sang pertapa untuk semakin fokus dan tenggelam dalam bertapanya.
Sang pertapa berhasil memasuki alam bawah sadarnya. Ia merasakan ketenangan dan kedamaian luar biasa. Secara perlahan pikirannya mulai terbebas dari segala kekhawatiran duniawi. Ia semakin menyadari bahwa hidup ini memiliki makna spiritual yang dalam, jauh melampaui kehidupan materi yang selama ini dijalaninya.Â
Dalam kondisi meditasi mendalam itu, sang pertapa merasakan hubungan yang erat dengan alam semesta. Ia seolah menyatu dengan segala makhluk hidup dan lingkungan di sekitarnya. Sang pertapa merasakan kasih sayang yang besar pada semua ciptaan Tuhan ini. Ia pun semakin menyadari bahwa hidupnya hanyalah bagian kecil dari kebesaran alam semesta ini.
Demikianlah sang pertapa menjalani hari-harinya dengan penuh kedamaian dan kebijaksanaan. Ia semakin menemukan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan besar kehidupan yang selama ini menggelitik batinnya. Berkat pertapaan panjangnya, ia pun akhirnya menemukan makna spiritualitas dan tujuan hidupnya.