Kami kemudian tertawa ngakak (dan itulah destinasi wisata kami) sementara si penanya tadi bingung nggak paham si bapak, yang sepertinya, ahlul-terminal (bisa petugas terminal, calo tiket, kondektur, copet, atau apa lah) itu ngomong apa.
Di Bungur, turun dari bis, langsung ke masjid. Sholat ? Tidak dong. Di situ biasanya sekitar jam 10 pagi. Di samping masjid ada warung makan dimana kalo aku yang pesen menu dengan kosakata bahasa Madura selalu dijawabi dengan bahasa Jawa, dan kalo kawanku yang request dalam bahasa Jawa Solo justru dijawabi Meduroan. Iya, mother tongue-ku asli Jawa Sragen, dan mother tongue kawanku itu Madura kabupaten Gresik
Pulang dari Surabaya, selepas wisata budaya di Bungurasih dan seringkali sambung ke TP (Tunjungan Plasa), JMP (Jembatan Merah Plaza), atau tempat lain di Surabaya, mesti selepas Ashar. Itu, hanya untuk ngepasno bisa ikut bis bumel Ak*s dengan mesin mersi dan suara seruling rem anginnya yang aduhai. Sekarang bis itu sudah entah kemana. Sudah purnatugas sepertinya.
Kali ini, tidak seperti itu lagi. Pulang ke Jombang, ngebis ikut yang trayek Surabaya - Blitar full tol dengan bis medium. Bagaimanapun, tetep lebih nyaman bis tronton: gede luegaa tanpa goncangan. Ini mbelani ikut yang medium untuk bisa komparasi. Karena, ini yang pertama kali. Eh nggak ding. Karena trayek yang medium itu lewat depan rumah dan full tol. Total 12:35 Bungur dan 13:55 Cukir Jombang. Sekali naik, nggak pindah moda angkutan, sampe di tujuan
Di tol, lihat angka stabil di 80 kpj sadja. Jan rasane, ihhh...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H