Jum'atan
Di Sholat Jum'at kapan itu, khutbahnya normatif. Bertema husnul khotimah dan beberapa usaha mengarah ke sana. Tetap ada norma "yang kalam terakhirnya adalah la ilaha illallah, sorga". Masih itu. Normatif, dan biasa. Tidak menyebut husnul khotimah di bagian "aksi terakhir", masih "kalam terakhir"
Ada banyak kisah tentang husnul khotimah berdasar khotimah dalam aksi. Misalnya, ini yang cerita normal
Ada kawan yang sedang deresan. Di kami, deresan merupakan kegiatan membaca al-Qur'an sampe khatam di sekali majlis atau setidaknya membacanya dalam banyak juz dari Qur'an. Kawan ini sedang nderes di majlis itu kemudian istirahat, tertidur, dan tidak bangun lagi. Sepertinya dia belum tahu kalau dia sudah meninggalkan dunia microphone, alamnya sudah berbeda. Tidak tahu kalau kawan-kawannya menyebut dia sudah meninggal. Nggak tahu, ini jenis husnul khotimah atau tidak. Terakhirnya dia tidur, bar nderes, bukan mengucap la ilaha illahhah. Satu
Kedua, kawan lain, bangun malam, tahajjud (tahajjudnya biasa juz-juzan, bukan qulya qulhu), nunggu subuh, leyeh-leyeh tiduran, bablass, nggak bangun lagi. Sama, dia belum tahu kalau sudah dipindahkan dari rumahnya ke pemakaman. Entah, ini jenisnya apa
Berikutnya, populer tentang mbak-mbak yang memberi minum guk-guk, dan sorga untuknya. Dianya nggak pernah diceritakan berucap tahlil itu di akhir kalamnya. Aksinya yang mengantarnya ke sorga. Entah, ini normal atau tidak
Ada lagi, lagi, dan lagi tentang aksi yang memberi banyak manfaat untuk liyan hingga pada kepergiannya orang menangisinya yang mungkin karena aksi kebaikannya berhenti sampe disitu sementara orang berharap lebih banyak lagi
Khotibnya yang tadi masih di narasi normal-normal
Kalau yang ini, agak disayangkan sebenarnya
Saat ngimami sholat Jum'at, bisa-bisanya si imam yang tadi khotib itu baca idza ja-a nasrullah di rokaat pertama dan sabbihis ma di rokaat kedua
Eman yang pertama. Kalau sudah disiapkan untuk imam Jum'atan, mbok ya ojo mung hasil hafalan ibtida'i atau pemula. Membaca yang nomer suratnya ratusan
Kalau tidak bisa menjangkau al-Jumu'ah dan al-Munafiqun seperti riwayat Sahabat Abu Hurairah, ya pake Sabbihis dan al-Ghasiyah seperti cerita Sohabat Nu'man ibn Basyir dan Samuroh ibn Jundub
Rumusnya juga di rokaat awal itu surat yang dibaca lebih panjang dari yang di rokaat kedua, yutowwilu fir rok'atil ula ma la yutowwilu fir rok'atis tsaniyah
Kalau idza ja-a kemudian sabbihis, yo menyelisihi banyak hal dari yang tersebut di atas. Termasuk yang ini:
Penempatan urutan surat-surat di mushaf itu penting diperhatikan untuk urutan membaca. Di dalam dan di luar sholat. Kalau rokaat pertama baca al-Falaq, rokaat kedua ya baca an-Nas. Kalau rokaat pertama an-Nas, rokaat kedua ya baca al-Baqoroh. Begitu
Kalau membacanya tidak urutan seperti urutan mushaf, bilang saja nyontoh sayyidina Umar yang rokaat pertama baca Kahfi dan rokaat kedua baca Yusuf, tidak memilih ikut Ibn Mas'ud dan mayoritas sahabat yang lebih senang membaca sebagaimana urutan di mushaf
Ibn Mas'ud saat diminta komentarnya tentang orang yang membaca terbalik dari urutan mushaf, dia berkata "dzalika mankusul qolbi, arek iku kuwalik atine"
Eman kedua, .... tapi khotib tadi, saya kira, belum (baca: tidak) tahu tentang pilihan Umar
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H