Indonesia adalah negara yang berdasarkan kepada hukum (rechtaat), hukum harus dijadikan panglima dalam menjalankan kehidupan bernegara dan bermasyarakat, sehingga tujuan hakiki dari hukum bisa tercapai seperti keadilan, kepastian dan ketertiban. Secara normatif hukum mempunyai cita-cita indah namun didalam implentasinya hukum selalu menjadi mimpi buruk dan bahkan bencana bagi masyarakat. Ketidaksinkronan antara hukum di dalam teori (law in a book) dan hukum dilapangan (law in action) menjadi sebuah perdebatan yang tidak kunjung hentinya.
Terkadang untuk menegakkan sebuah keadilan menurut hukum harus melalui proses-proses hukum yang tidak adil. Peraturan perundang-undangan merupakan pedoman utama dalam menegakkan hukum, hakim hanya sebatas alat penegakan hukum dan hukum harus dibuat dan disahkan oleh lembaga yang berwenang. Sistem hukum civil law dipengaruhi oleh Mazhab Filsafat Hukum Positivisme, menurut pandangan mazhab ini bahwa hukum diciptakan dan diberlakukan oleh orang-orang tertentu di dalam masyarakat yang mempunyai kewenangan untuk membuat hukum
Seiring dengan perkembangan zaman dalam pemikiran positivisme akan mendapatkan tantangan yang sangat besar dimana dengan munculnya berbagai pemikiran-pemikiran studi hukum yang tidak lagi melihat bahwa hanya peraturan perundang undangan saja yang menjadi sebagai acuan dalam penegakan hukum, akan tetapi hukum harus melihat secara menyeluruh dari berbagai aspek pendekatan ilmu-ilmu lain secara konfrehensif sebagai alat bantu dalam penegakan hukum sebagaimana yang tertuang dalam teori hukum inklusif.
Pemakaian positivisme hukum ini mengundang banyak permasalahan di kemudian hari, ketika masyarakat yang dinamis selalu berubah dan orang yang berwenang untuk membuat hukum tidak mempunyai kepekaan melihat perubahan yang tejadi dalam masyarakat. Hukum itu ada untuk masyarakat, begitupun tujuan dari hukum, yaitu untuk menciptakan ketertiban dan kenyamanan bagi masyarakat. Menjadi sebuah permasalahan yang besar ketika hukum yang seyogyanya melayani mayarakat tapi malah masyarakat yang dipaksa mengikuti kehendak hukum, dengan beralasan menegakakkan kepastian hukum, masyarakat dipaksa mengikuti apa yang diperintahkan undang-undang, para hakim, jaksa dan polisi menerapkan hukum secara harfiah saja dari muatan undang-undang tapi tidak mencoba untuk menginterpretasi peraturan itu dengan begitu rupa agar keadilan yang menjadi tujuan utama penegakan hukum.
Sebagain besar hukum yang berlaku di Indonesia adalah hukum bekas jajahan Belanda, banyak kaedah-kaedah dalam hukum tersebut tidak sesuai dengan nilai-nilai yang ada di tengah-tengah masyarakat dan tidak mencerminkan nilai-nilai keadilan. Hukum kolonial yang masih berlaku di Indonesia menganut ajaran Positivisme. Hukum menurut aliran ini adalah apa yang menurut undang-undang, bukan apa yang seharusnya. Atas dasar itu, hukum harus pula dibersihkan dari anasir-anasir yang tidak yuridis seperti etis (penilaian baik dan buruk), politis (subjektif dan tidak bebas nilai), sosiologis (terlepas dari kenyataan sosial).
KASUS
Amsira (33), warga asal Dusun Sokon, Desa Tamberu, Kecamatan Batumarmar, Kabupaten Pamekasan, Madura, dijatuhi vonis 3 bulan 24 hari, oleh majelis hakim Pengadilan Negeri setempat. Vonis, dijatuhkan atas kasus pencurian dua potong sarung. Putusan tersebut, oleh Rendra, dinilai cukup ringan dibanding dengan tuntutan yang dilontarkan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU), yang meminta agar terdakwa dijatuhi hukuman 4 tahun penjara.
Amsira, terjerat kasus hukum atas tudingan dari sang majikan, Hj. Mariyah. Di mana, terdakwa dituding telah mencuri dua buah sarung, yang kabarnya tergolong bekas, akhir Februari lalu. Sarung tersebut, dijual seharga Rp15 ribu per potong dan uangnya dibuat untuk memenuhi kebutuhan hidup.
Adanya perbenturan antara nilai-nilai keadilan pada kasus tersebut penulis tertarik menganalisa melalui aliran hukum Positivisme. Dalam kasus ini adalah bagaimana hukum memandang kasus tersebut dalam perspektif kepastian hukum atau positivisme hukum dan prinsip kemanusiaan?
Analisis Kasus
Sidang yang dipimpin Hakim Rendra Yusar, dengan anggota majelis Hakim Ni Luh Suantini dan Heru Kunjtoro, menyatakan bahwa terdakwa terbukti secara sah dan cukup meyakinkan, telah melakukan tindak pencurian sarung milik majikannya, sebanyak dua potong. Atas kasus tersebut, diputuskan terdakwa divonis 3 bulan 24 hari, karena cukup bukti,
Berbagai kasus pencurian yang melibatkan rakyat kecil selalu mendapatkan pembelaan oleh publik. Di sini akan menjadi perdebatan hebat dari substansi tujuan hukum itu sendiri antara kepastian hukum, keadilan dan kemanfaatan. Secara teoritis filosofis, rumusan tersebut sangat ideal, namun dalam tataran empiris, ketiganya sangat sulit diwujudkan secara bersamaan. Pembelaan publik selalu memakai pendekatan keadilan substansial, bukan sekedar prosedural dan mengedepankan alasan-alasan sosiologis. Dalam kondisi tertentu akhirnya muncul pendapat umum bahwa hukum hanya tajam jika berhadapan dengan orang lemah yang tidak memiliki akses ekonomi dan politik, namun tidak berdaya jika berhadapan dengan orang yang dekat dengan kekuasaan.
Dalam konteks penegakan hukum (law enforcement), perkara pencurian kecil yang melibatkan orang miskin akan selalu dihadapkan pada dilema yang sulit dicarikan jalan keluarnya. Di satu sisi, pencurian adalah perbuatan pidana yang menimbulkan korban dan hukum positif dengan ancaman pelanggaran Pasal 362 yang pelakunya dapat dikenakan pidana. Namun, di sisi lain, rakyat miskin yang melakukan perbuatan itu mungkin karena hanya faktor ketidaktahuan semata bahwa perbuatan tersebut adalah termasuk tindak pidana ataupun karena faktor keterpaksaan untuk menyambung hidup.
Pembelaan publik terhadap kasus pencurian kecil macam itu dapat diidentifikasi menjadi dua isu mendasar. Pertama, mengenai proses penanganan perkara bagi kaum miskin oleh aparat penegak hukum yang tidak profesional dan diduga melanggar norma penanganan perkara pidana. Kedua, publik mempersoalkan kenapa pencurian kecil oleh kaum miskin harus dimejahijaukan?
Dalam konteks dukungan publik, pada isu pertama, aparat harus selalu bertindak profesianal berdasarkan norma hukum yang ada. Namun, dalam konteks yang kedua, penulis kurang sependapat, jika aparat penegak hukum dipersoalkan apabila memproses tindak pidana pencurian kecil yang dilakukan oleh kaum miskin. Di sini perlu dibedakan mengenai kasus pencurian dan kasus pelanggaran hukum lainnya yang dilakukan oleh aparat dalam menangani perkara. Tentunya apabila ditemukan pelanggaran hukum, dua-duanya harus sama-sama ditegakkan.
Aparat penegak hukum pada kasus pencurian, dalam menjalankan fungsinya sangat terikat dengan ketentuan norma Pasal 362 KUHP dan dipaksa membunyikan dan menegakkan ketentuan itu. Jika tidak, aparat penegak hukum bisa kesalahan, dan dikira tidak profesional dalam menjalankan tugasnya. Di sinilah dilema yang dihadapi oleh aparat penegak hukum terutama polisi sebagai garda terdepan dalam proses penegakan hukum di Indonesia. Rumusan pencurian sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 362 KUHP sangat jelas. Jika polisi berani menangani perkara pencurian maka harus dapat memenuhi 4 unsur utama yang harus dibuktikan sesuai dengan rumusan delik pencurian.
Pertama, ada perbuatan mengambil. Kedua, yang diambil harus sesuatu barang. Ketiga, barang itu harus seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain. Dan, keempat, pengambilan itu harus dilakukan dengan maksud untuk memiliki barang itu dengan melawan hukum (melawan hak). Jika aparat penegak hukum menyakini 4 unsur itu terpenuhi maka sah untuk diproses sampai di pengadilan. Apabila sampai akhirnya hakim meyakini unsur itu terbukti dan memvonis bersalah, tentunya publik harus bisa menerima. Jika sekiranya putusan tersebut tidak adil tentunya harus disalurkan dalam mekanisme hukum yang benar, yaitu melalui banding dan kasasi. Sehingga dalam hal ini perbuatan terdakwa terbukti secara sah dan cukup meyakinkan, telah melakukan tindak pencurian sarung milik majikannya, sebanyak dua potong.
Pandangan Positivisme Hukum Pada Putusan Perkara
Menurut paham positivisme, setiap norma hukum harus eksis dalam alamnya yang obyektif sebagai norma-norma yang positif, serta ditegaskan dalam wujud kesepakatan kontraktual yang konkret antara warga masyarakat atau wakil-wakilnya. Disini hukum bukan lagi dikonsepsikan sebagai asas-asas moral metayuridis yang abstrak tentang hakikat keadilan, melainkan ius yang telah mengalami positivisasi sebagai lege atau lex, guna menjamin kepastian mengenai apa yang terbilang hukum, dan apa pula yang sekalipun normative harus dinyatakan sebagai hal-hal yang bukan terbilang hukum.
Dalam menjawab persoalan itu, sebagai negara yang menganut aliran positivisme, mau tidak mau cara berpikir aliran positivisme itulah yang harus diterapkan. Inilah yang disebut dengan tertib berpikir. Dengan kata lain, terlepas dari serba keburukan-keburukan yang melekat pada aliran hukum positivisme ini, cara memandang persoalannya harus dengan kacamata positivisme. Bukan dengan dasar filosofis lainnya.
Dalam perspektif positivisme hukum, hukum harus secara tegas memisahkan antara hukum dan moral. Sehingga hakim harus meletakkan undang-undang atau peraturan sebagai dasar utama penafsiran dalam putusan. Dalam perkara diatas, hakim secara positif memberikan putusan bersalah kepada Amsira (33) bahwa terdakwa terbukti secara bersalah melakukan tindak pidana pencurian. Dimana secara logis yuridis, adanya kausalitas antara suatu perbuatan hukum dengan akibat hukum (kerugian yang diderita majikan).
Kasus Amsira (33) menurut aliran positivis adalah sebuah perbuatan yang harus dihukum, tanpa menghiraukan besar kecil yang dicurinya. Penegakan hukum terhadap Amsira (33) harus dilepaskan dari unsur-unsur sosial serta moralitas, karena menurut kaca mata aliran ini tujuan hukum adalah kepastian, tanpa adanya kepastian hukum tujuan hukum tidak akan tercapai walaupun harus mengenyampingkan rasa keadilan.
Menurut Austin, hukum terlepas dari soal keadilan dan terlepas dari soal baik dan buruk. Karena itu, ilmu hukum tugasnya hanyalah menganalisis unsur-unsur yang secara nyata ada dalam sistem hukum modern. Ilmu hukum hanya berurusan dengan hukum positif, yaitu hukum yang diterima tanpa memperhatikan kebaikan atau keburukannya. Hukum adalah perintah dari kekuasaan politik yang berdaulat dalam suatu negara.
Dalam proses pembuktian pada persidangan ini, hakim melakukan penafsiran melalui teori pembuktian berdasarkan undang-undang secara negatif (negatiief wettelijk). Dimana didasarkan pada Pasal 184 KUHAP, bahwa Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang, kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia peroleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.
Sistem pembuktian secara negatif harus menjadi pedoman bagi hakim, karena selayaknya hakim harus ada keyakinan tentang kesalahan terdakwa untuk menjatuhkan suatu hukuman pidana. Model pembuktian ini menurut Wirjono bermanfaat jika ada aturan yang mengikat hakim dalam menyusun keyakinannya, agar ada patokan-patokan tertentu yang harus diturut oleh hakim dalam melakukan peradilan.
Apabila hakim menggunakan kacamata positivisme saja, jelas bahwa terdakwa Amsira (33) telah bersalah melakukan tindak pidana pencurian, dimana terbukti adanya kausalitas perbuatan melawan hukum dengan adanya akibat hukum. Dalam hal ini hakim menjalankan kapasitasnya sebagai penjamin kepastian hukum. Begitupula justifikasi Hans Kelsen dalam "The Pure Theory of Law" bahwa hukum tidak boleh terkontaminasi anasir non hukum
Namun apakah kepastian hukum telah memenuhi rasa keadilan (khususnya dalam persoalan ini), bagaimana hubungan antara kepastian hukum dan keadilan? mana yang harus didahulukan? Karena disatu sisi apabila mengedepankan rasa keadilan saja maka hakim tentu telah menisbikan kepastian hukum.
Menurut hemat penulis hakim tetap harus berpegang teguh pada prinsip keadilan. Dalam proses pembuktian, faktor keyakinan hakim harus tetap dipertimbangkan. Sebagaimana pembuktian pada prinsip hukum acara pidana, yakni hakim dituntut bersifat aktif untuk mendapatkan kebenaran materiil.
Oleh karena itu, dengan didorong kebebasan yudisial pada hakim untuk menggali dan mendapatkan kebenaran materiil, hakim harus tetap berpegang teguh pada keadilan substantif. Yakni keadilan yang memberikan sentuhan nurani dan kemaslahatan.
Argument Penulis
Secara Prinsip Kemanusiaan dalam Amar Putusan atas penentuan hukuman pada Amsira (33) tidak menegakkan keadilan, Â 2 potong sarung bekas yang dijualnya lima belas ribu rupiah masing-masing potongnya tidak sebanding atas hukuman yang didapat oleh terdakwa dengan vonis 3 bulan 24 hari yang mana ini telah mendapat keringanan jika dibandingkan dengan tuntutan yang dilontarkan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU), yang meminta agar terdakwa dijatuhi hukuman 4 tahun penjara. Mirisnya keringanan itu diperoleh terdakwa bukan masalah nilai barangnya namun sebab terdakwa sopan selama masa persidangan dan tidak berbelit-belit saat dimintai keterangan.
Kasus hukum ini menggunakan Paradigma Positivisme, ontologinya adalah sebuah realitas (hukum). Hukum yang dipaparkan adalah Pasal 362 KUHP. Epistemologi yang bersifat dualis-objektif, pihakpihak yang independen,tidak saling memengaruhi (antara hakim dengan kasus hukum yang diperiksanya). Tidak ada yang melibatkan nilai di sana karena hukum atau realitasnya berada di luar diri hakim. Metodologinya, selalu adanya verifikasi atau uji empiris. Hakim melakukannya dengan menghadirkan saksi-saksi dan adanya alat bukti yang dicocokkan dengan keterangan Amsira (33) sebagai terdakwa. Ketika semua unsur Pasal 362 terpenuhi, maka Amsira (33) diputus bersalah dan harus dihukum. Singkatnya, Paradigma Positivisme selalu menekankan objektivitas.
Paradigma Positivisme yang memayungi aliran Legal Positivisme, menjelaskan tidak ada hukum di luar undang-undang, hukum identik dengan Undang-Undang. Bagaimana pun hukum harus ditegakkan yang keadilannya adalah keadilan menurut Undang-Undang. Hukum harus dipisahkan dari nilai kemanusiaan dan moral demi kepastian hukum. Itulah sebabnya Amsira (33) tetap harus dihukum terlepas dari seberapa besar kerugian yang diderita PT Rumpun Sari Antan, karena terbukti secara sah melakukan pencurian sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 362 KUHP.
Demi kepastian dan penegakkan hukum Indonesia di masa kini dan mendatang, sudah seyogyanya menjaga konsistensi putusan hakim antara putusan yang satu dengan putusan hakim lainnya dalam kasus serupa yang telah diputuskan, apabila untuk kasus serupa terjadi perbedaan yang besar antara putusan pengadilan satu dengan lainnya, dalam kurun waktu yang tidak terlalu berbeda tetapi yang satu telah memiliki kekuatan hukum yang tetap, hal itu akan menimbulkan ketidakpastian hukum. Inilah yang harus dihindari dalam upaya mempertahankan kepastian hukum.
Rois Wicaksono (222111137) 5D.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H