Angka Psikologi covid-19 di negeri ini telah mencapai 1jt kasus. Astaga kaget saya lihat informasi itu menjadi headline dimana-mana, ya alloh.Â
Sebagai orang awan di bidang kesehatan saya hanya bisa menjadikan info tersebut sebagai patokan untuk bertindak setidaknya untuk tidak melanggar 3M yang digalakkan pemerintah, setelah itu terpikir di benak 2021 ini sepertinya tidak jauh dari 2020 dunia masih diselimuti pandemi yang tak junjung usai.Â
Namun, urusan ekonomi tidak bisa diganggu gugat harus tetap jalan, aktivitas warga yang dibatasi dengan Pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) tidak berpengaruh banyak terhadap angka positif covid-19. Justru angkanya terus meroket, di sini saya tidak menyalahkan siapapun.
Nyatanya, urusan perut memang harus didulukan tapi ingat ada puluhan juta siswa dan orang tua telah menggantungkan harapan pada pendidikan. Kalau sekarang banyak kenakalan remaja jangan salahkan guru dan orang tua
Jadi perut dan otak harus seimbang.
Oleh karenanya saya mencoba membuat analisis, setidaknya ada 3 alasan mengapa sekolah harus tatap muka di tahun ini
Dampak negatif pertama yang dikhawatirkan akan terjadi jika terlalu lama tidak melakukan pembelajaran tatap muka adalah putus sekolah. Risiko putus sekolah menjadi makin besar karena anak terpaksa harus bekerja membantu perekonomian keluarga di tengah krisis pandemi COVID-19.Â
Persepsi orang tua yang tidak bisa melihat peranan sekolah dalam proses belajar mengajar juga menjadi penyebab banyak orang tua memutuskan untuk menghentikan anak sekolah.
Butuh Sentuhan Guru
Kalau kita hitung setidaknya sudah hampir satu tahun siswa belajar dari rumah, seingat saya bulan maret tahun lalu mereka mulai BDR. Dengan tanpa ada sentuhan langsung akan menjadikan perbedaan akses dan kualitas membuat kesenjangan capaian belajar terutama untuk anak dari sosio-ekonomi berbeda. Hilangnya pembelajaran tatap muka secara berkepanjangan juga berisiko terhadap pembelajaran jangka panjang baik secara kognitif maupun perkembangan karakter.
"Sentuhan guru" di sini yang saya maksud bukan sentuhan secara langsung, macam sentuhan fisik, berupa pukulan atau cubitan saat mereka nakal. Tapi hadirnya sosok seorang guru dalam proses belajar.
Tekanan Batin
Minimnya interaksi sosial dengan guru, teman serta lingkungan, ditambah tekanan pembelajaran jarak jauh dapat menyebabkan anak tertekan dan stres. Tekanan dari sekolah yang harus tetap menjalankan tugas sekolah tanpa ada pendampingan khusus dari guru membuat mereka kurang diperhatikan sedang kurikulum harus tetap berjalan.Â
Meski kemendikbud sudah memberikan keluwesan dalam penyampaian materi, tapi d i lapangan tidak semudah itu, hambatan-hambatan dalam pembelajaran seperti kurangnya akses internet dan infrastruktur lain menjadikan pembelajaran makin susah.
Batin yang tertekan sudah pasti bukan hal baik bagi siswa yang masih dalam masa pertumbuhan, kecenderungan siswa yang mudah terpengaruh dengan lingkungan juga akan menjadi masalah baru bagi model pembelajaran daring seperti ini.
Orangtua Sudah Capek
Melibatkan orangtua dalam KBM adalah cara terbaik agar BDR tetap berjalan, orangtua juga memiliki kedekatan psikologis dengan anaknya, mereka tahu saat-saat anaknya sedang senang untuk belajar dan saat mereka mulai jenuh untuk belajar. Tapi, tidak semua orang tua mampu menjalankan tugas sebagai pengganti guru.
Tiga hal di atas tidak ada apa-apanya memang jika langsung kita bandingkan dengan semakin meningkatnya angka positif covid19, jika sektor ekonomi harus tetap jalan kenapa pendidikan jalan di tempat. Apa salahnya???
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H