Mohon tunggu...
Roisul
Roisul Mohon Tunggu... Guru - Kunjungi tulisan saya yang lain di roisulhaq.blogspot.com saat ini sedang menjadi Guru demi mendidik, mencerdaskan anak bangsa.

Menulis tak harus menunggu galau~

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Dilema Wali Kelas Muda: Galak Dibenci Siswa, Lembek Dicaci Orangtua

11 Juni 2020   14:33 Diperbarui: 11 Juni 2020   16:40 687
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pelajar memberikan ucapan selamat dengan memeluk gurunya seusai upacara peringatan hari guru nasional dan HUT Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) di MTsN Model, Banda Aceh, Aceh, Senin (25/11/2019). (ANTARA FOTO/IRWANSYAH PUTRA via KOMPAS.com)

Sebagai guru muda tentunya saya sadar akan banyak sekali tantangannya.

Pertama jelas saya harus cepat beradaptasi dari lingkungan kampus ke lingkungan sekolah. Kedua, tantangan dalam menjalankan tugas yang diamanahkan sekolah. Baik adaptasi maupun menjalankan tugas, semuanya tentu bermuara pada penilaian kinerja saya sebagai guru muda.

Memasuki akhir tahun pelajaran semester genap, tugas guru semakin banyak. Meski tak disibukkan dengan mengajar secara langsung, administrasi pembelajaran harus tetap dipenuhi.

Jika biasanya sibuk mengoreksi hasil pekerjaan siswa, kini setiap pertemuan harus membuka laptop untuk memberi tugas dan mengoreksinya. Belum lagi jika ada tugas tambahan dari sekolah. Sebagai wali kelas, akhir tahun ajaran menjadi waktu yang penuh dengan tantangan.

Tugas tambahan bagi guru merupakan tugas yang melekat pada pelaksanaan tugas pokok  sesuai dengan beban kerja sebagaimana ditegaskan dalam Permendikbud Nomor 15 Tahun 2018 tentang Beban Kerja Guru.

Berdasarkan Permendikbud tersebut salah satu tugas sebagai wali kelas adalah bertanggung jawab mengelola kelas, di samping masih ada tugas tambahan yang lain. Tugas wali kelas membantu kepala sekolah mengelola manajemen kelas sekaligus berperan sebagai pengganti orangtua di sekolah.

Apalagi menjadi guru yang masih muda, banyak tantangan dan cobaan dari siswa. Jika siswa melakukan kesalahan, emosi dan sikap marah dikedepankan.

Saya mengamati dan berpikir, bahwa dengan emosi dan marah tidak akan mengubah siswa itu menjadi baik dan sikap marah itupun tidak bagus ditunjukan di depan siswa. Hanya dengan keadaan tenang, nasehat, dan memasukkan humor lebih efektif daripada emosi dan marah-marah.

Personaliti seorang guru harus tegas! sayangnya siswa masih belum mampu membedakan antara tegas dengan galak (baca: sedikit-sedikit marah).

Bagaimana lagi kesalahan memang harus segera dibenahi entah seperti apa caranya. Menjadi guru ideal bagi sekolah dan bagi siswa adalah sesuatu yang hampir tidak mungkin. Di satu sisi dengan dicintai siswa maka kepercayaan diri sebagai guru muda akan meningkat. Famous di sekolah juga akan meningkatkan produktivitas kerja.

Sedang di sisi lain, jika kita lembek terhadap siswa maka mereka akan semaunya sendiri. Hal ini tentu tidak diinginkan baik oleh pihak sekolah maupun orangtua. 

Menjadi "pelindung" siswa adalah tugas tambahan bagi wali kelas. Masalah kenakalan, ketidakmampuan secara akademik, tugas yang kurang lengkap, menjadi masalah-masalah yang sering timbul.

Sebagai "pelindung" siswa, wali kelas harus benar-benar tahu permasalahan setiap siswa. Memosisikan diri sebagai pelindung siswa juga harus tepat, karena jika terlalu keras masalah tersebut justru tidak terselesaikan.

Di sisi lain jika terlalu abai akan membahayakan diri kita sendiri karena dianggap tidak mampu membina kelas dengan baik.

Saat akhir tahun pelajaran seperti ini, laporan hasil belajar (rapot) merupakan penentuan kenaikan kelas. Saat rapat pleno kenaikan kelas, wali kelas adalah hero bagi anak buahnya.

Dalam rapat siswa, yang tidak memenuhi kriteria kenaikan kelas harus tetap tinggal di kelas (tidak naik). Di saat seperti ini wali kelas mempunyai peran besar untuk menunjukkan bahwa anak didiknya masih pantas untuk naik kelas.

Kegagalan dalam membimbing siswa, juga akan berakibat pada ketidakpuasan orangtua. Seringkali indikator kegagalan siswa hanya dilihat dari segi akademik saja padahal krtiteria hasil belajar juga meliputi segi afektif. Tak jarang pula orangtua menyalahkan wali kelas karena sudah diberikan tanggung jawab sebagai orangtua pengganti selama di sekolah.

Tahun lalu, saat salah satu Sekolah Menengah Atas tidak menaikan siswanya karena merokok di kelas, wali kelas pasti mempunyai andil besar dalam kasus tersebut, dan banyak lagi cerita saat pengambilan rapot orangtua marah karena nilai anaknya jelek.

Menjadi wali kelas "sesuai dengan yang dicita-citakan" sekolah, siswa, dan orangtua bukanlah perkara mudah. Untuk mewujudkan cita-cita menjadi wali kelas ideal, dibutuhkan kemampuan dan kemauan yang sunguh-sungguh. Di samping itu perlu dukungan dari semua pihak.

Pada akhirnya saya harus sadar sebagai guru dan wali kelas ada suka dan duka dalam melaksanakan tugas mengasuh, membimbing, dan mengarahkan anak didik dan sekaligus berperan sebagai pengganti orangtua di sekolah.

Saya harap kesediaan orangtua untuk ikut berpartisipasi aktif dalam menghantar anak-anak kita mencapai tujuan pendidikan, demi menggapai masa depan yang lebih menjanjikan.

Sebenarnya menjadi wali kelas ideal, tidak sesulit yang kita bayangkan, justru terasa menyenangkan, membanggakan, dan menjadi kenikmatan tersendiri, ketika berhasil mengarahkan, dan membimbing anak didik kesatu tujuan.

Di situlah hakekatnya letak kebahagiaan seorang guru, yang tentunya menjadi dambaan hati setiap guru yang "dicaci tidak tumbang, dipuji tidak terbang".

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun